Sebelum usiaku tiga puluh tahun, aku pernah berkunjung ke Puraseda dari Pekanbaru. Kota yang kini sudah menjadi kampung halamanku.
Mami dan Nenekku mungkin tidak pernah secara resmi berbaikan. Namun jarak yang tercipta di antara kami, memperjelas kerinduan kami pada satu sama lain. Beberapa jenis cinta barangkali membutuhkan bentangan jarak untuk tumbuh subur dan berbunga.
Hal pertama yang telah kurindukan sejak keluar dari mobil Nopal yang memberiku tumpangan dari Ciputat, adalah Sungai Puraseda. Setelah aku melepas rindu dan menyelesaikan basa-basi seperlunya pada kerabatku, aku meniti jalan mungil dan undakan berbatu sejauh sepelemparan baru dari rumah nenekku ke tepian sungai.
Aku meninggalkan sepatuku di atas hamparan kerikil kering. Menggulung pipa-pipa celanaku hingga selutut, lalu duduk di batu yang sama tempat aku dan para sepupu main adu melempar batu di hari-hari panjang Libur Sekolah.
Di pangkuanku terbuka sebuah novel yang kupikir telah kuhilangkan bertahun-tahun yang lalu. Di Tepi Sungai Plum karya Laura Ingals. Aku menemukannya di rak buku di rumah salah satu sepupuku. Dia bilang, dia bahkan tak sadar buku itu ada di sana. Seolah-olah memang menunggu pemiliknya kembali menemukannya.
Di atas batu itu, aku membuka-buka halamannya yang berjamur dan menguning, namun kondisinya kurang lebih masih sama saat aku meninggalkannya dua puluh tahun yang lalu. Ketika aku memastikan penjilidannya masih kokoh, sebuah lipatan kertas terjatuh di atas bebatuan.
Aku tidak ingat pernah menyimpan apapun di dalamnya. Tapi Kertas itu adalah sebuah potret yang dilipat dua bagian. Potret tiga anak laki-laki yang samar-samar kukenal. Berdiri riang di halaman rumah masa kecilku. Saling menautkan lengan di bahu satu sama lain. Dengan senyuman terkembang secerah matahari minggu pagi.
Aku, Leo, dan Sigi.
Leo mengenakan jersey Bulls warna merah tanpa lengan. Sigi mengenakan kemeja polo Rodeo Junior yang dibelikan ibunya pada lebaran tahun sebelumnya. Aku mengenakan kaos putih bersablon Metal Hero Jiban yang kala itu tengah kami gandrungi.
Papi memotret kami bertiga dengan tustel milik pamanku.
Puraseda, 1998. Begitu bunyi tulisan di belakangnya.
Dengan tulisan tangan huruf sambung yang kukenali dengan baik. Tulisan tangan Almarhum Ayahku. Ditulis menggunakan pulpen pilot warna biru yang warna tintanya sudah mengering selama bertahun-tahun dan menyatu dengan permukaan kertas bagian belakang foto itu.
Dasar sungai berpasir yang kupijak terasa rebah dan menenggelamkanku dalam perasaan yang begitu dalam. Seperti dalam mimpi-mimpi yang kualami. Ketika aku terjatuh dari suatu tempat, melayang-layang diudara, ke sebuah tempat tak berdasar.
Hingga aku menulis kalimat ini, aku kehilangan jejak dua sahabatku itu.
Ketika mengantarkanku kembali ke bandara, Nopal berkata bahwa Leo dan ibunya sempat pindah ke Sukabumi. Mengikuti jejak abangnya yang kini telah berkeluarga. Dari Faris, aku mendengar hal lainnya. Setelah keluarga Sigi hengkang dari Puraseda, keluarganya berpindah-pindah ke Lebak, Depok, dan Bandung. Hingga yang terakhir kudengar, Sigi dan ibunya kini menetap di daerah pesisir Lampung. Walau tak ada seorangpun yang bisa menjamin kebenarannya. Dalam kunjungan singkat itu, aku juga sempat mencari-cari Aprilia. Namun anehnya, sebanyak apapun orang menunjukkan arah padaku, rumahnya tak bisa kutemukan.
Ketika aku kembali mengenakan sepatuku, menyusuri tepian sungai, dan meloncati batu-batu yang dulu menjadi pijakkan kaki-kaki telanjang kami saat berenang. Aku memikirkan Leo, Sigi, dan kepergian Anin, dan belakangan wafatnya Papi dalam hidupku. Perlahan-lahan aku sadar, bahwa apa yang berusaha kupahami dari perjalanan itu mulai tampak jelas.