Jam dinding dengan lesunya berusaha menunjukkan angka 09.00. Para perangkat OSIS datang, mulai dari Ketua sampai wakil Bendahara. Berjumlah 8 orang. Ada 5 laki-laki dan 3 perempuan. Mereka memberi pengarahan tentang pelaksanaan MOS dan juga memperkenalkan diri. Serta fungsi dari jabatan masing-masing. Beberapa pertanyaan mereka lontarkan pada kami. Alhamdulillah, tanpa kendala kami bisa menjawabnya. Mereka menyuruh kami bernyanyi, dan bisa kompak juga akhirnya.
Tiba giliran MPK yang masuk ke kelas kami berjumlah 6 orang. 3 laki-laki dan 3 perempuan.
Semua terkejut, ada yang berbisik kemudian berisik karena banyak yang bilang pernah melihat orang itu. Ketua MPK, namanya Lendra Dika. Kemarin, dia menghampiri kami dengan seragam Putih Biru, ketika kami berbaris di depan kelas. Celananya 5 cm diatas tumit, tidak pakai kaos kaki.
"Banyak melanggar aturan sekolah, baru masuk aja udah cari masalah. Ini kenapa lagi, sepatunya beda-beda. Sebelah kanan warna putih, sebelah kiri warna abu-abu," kak Wika mengoceh, raut wajahnya menampilkan ekspresi marah. Kami diam-diam menyembunyikan suara tawa. Aku heran melihat orang yang di depan kami.
Kak Wika lalu bertanya kepada kami, apakah mau menerima dia atau tidak. Semuanya bilang tidak dan aku hanya ikut-ikutan. Akhirnya, dia mencari kelas lain yang mau menerima.
Setelah perkenalan singkat dan menjelaskan fungsi dari MPK. Mereka pun melanjutkan ke kelas berikutnya.
Sambil tertawa kak Wika berkata, "Kalau dari awal kalian tau kalau dia ketua MPK, pasti diterima di kelas. Pasti semua rebutan, nyesel kan."
Mungkin itu bagi mereka. Tapi maaf ya kak, aku nggak gitu. Mau dia siapa, anak siapa aku biasa saja. Tidak peduli.
Lagian, kenapa juga harus disesali. Kalau menyesal, gunanya apa. Iya kan. Aku memberi argumen di dalam hati.
Setelah beberapa menit bungkam, kami pun melanjutkan aktivitas biasanya.
30 menit berlalu, ada seorang guru yang masuk ke kelas kami. Para senior menunggu di luar kelas dan lama-kelamaan hanya 1 atau 2 orang yang berdiri di sana. Kak Galih juga tidak bertahan lama untuk menunggu. Kemudian menyusul teman-teman dia yang sejak pertama kali saat guru masuk ke kelas kami, mereka pergi. Lenyap tanpa bekas. Aku lihat keluar kelas untuk kesekian kalinya. Kosong. Guru yang berada di kelas kami namanya Ibu Dian Sastra. Beliau adalah guru BK di sekolah baru ku.
Tingginya 155 cm, berkulit sawo matang, bentuk wajahnya bulat dan memakai kerudung simpel berwarna coklat. Sangat serasi dengan seragam resmi para guru disini. Suaranya mengalun-alun hingga ada beberapa siswa menguap berkali-kali.
Materi yang disampaikan guru BK ini ingin mengetahui kekompakan kami dengan contoh 4 orang laki-laki dan tentunya salah satu dari sampel itu adalah ketua grup, Daffa. Beliau juga menyampaikan tentang materi yang akan kami pelajari sesuai jurusan masing-masing.
Kelompok IPA materinya adalah Biologi, Fisika, dan Kimia.
Kelompok IPS materinya Ekonomi, Geografi, Sejarah, dan Astronomi. Program lintas minat pun dijabarkan.
Contohnya, Kelompok IPA akan mempelajari satu atau dua materi dari kelompok IPS dan begitupun sebaliknya. Penjelasan guru BK itu berhenti dan keluar ruangan setelah melirik di pergelangan tangan. Adzan Dzuhur mulai berkumandang dan terdengar, saling sahut-menyahut. Kemudian berkumpul dan menyatu di udara, berpencar ke seantero angkasa. Beberapa orang bergegas menuju tempat yang memanggil jiwa untuk bertemu Sang Pencipta Langit, Bumi dan seisinya. Mengatur semuanya, begitu tertata dan berjalan sesuai koridor. Di depan Mushola, sandal-sandal berjejeran rapi. Separuh dari sandal tersebut tertempel lambang sekolah dalam berbagai ukuran. Juga terpasang di atas bagian strap sandal mereka, termasuk sandal ku juga.
Setelah selesai sholat Dzuhur, hanya aku yang berada di Mushola ini. Merapikan mukena dan berjalan ke luar hendak memakai sandal ku masih di sana. Timbul pertanyaan dalam hati, "sandal ku tadi sepasang, sekarang kok beda."
Sebelah kanan bernomor 9 sebelah kiri tertulis nomor 8 (ukuran sandalku). Sama-sama ada lambang SMADA, cuma beda ukuran. Heran, tentu saja, curiga apalagi.
Pasti aku dikerjain nih. Aku pikir, dengan wajah yang biasa saja. Berpikir positif. Tidak ada senior yang mengerjai aku. Ternyata dugaan ku salah besar!
Aku melihat beberapa senior cowok (belum ku kenal) berdiri tidak jauh dari tempat aku meletakkan sandal, berjumlah empat orang. Salah satu dari mereka melihat ku. Dengan mulut sedikit terbuka, seperti mengangumi sesuatu dan kami sempat memandang satu sama lain. Melihat dahi ku terlipat dan telinganya menangkap suara, dia menyuruh teman yang tertawa sedari tadi untuk diam.
"Bisakah kamu diam, dari tadi tertawa terus. Heran," dia protes.
"Iya, dari tadi kerjanya tertawa. Bahkan sebelum kita nyampe di sini," ujar teman satunya menimpali.
"Hahahaha, lucu aja. Lihat ekspresinya, sampai kebingungan gitu," temannya mengklarifikasi.
"Ya, jangan gitu juga," tegasnya.