Memori Shania

Suci Adinata
Chapter #5

Memori 4 : Selasa, 8 Juli 2014

Hari Minggu, aku sedang membersihkan tempat penyimpanan buku. Berapa diantaranya harus aku buang, karena sudah tidak terbaca lagi dan sebagian halamannya sobek. Ada sebuah buku tulis yang rasa-rasanya tidak asing. Perlahan-lahan aku membuka lembaran halaman di buku itu.

Aku tersenyum ketika membaca catatan lama dari buku SMA dulu. Ternyata masih ada.

Beberapa pengertian dan hal yang berkaitan dengan MOS. Aku catatkan disini.

Organisasi : Sekelompok orang yang memiliki tujuan yang sama.

Anak OSIS : Kami tidak takut rintangan karena kami satu tubuh.

Apabila satu sakit, maka semua akan merasakan sakit.

Forum : Tidak ada teman, tidak ada belas kasihan. Jika benar dianggap benar. Jika salah dianggap salah.

Pasal Senior

Pasal 1 : Senior selalu benar

Pasal 2 : Tidak boleh mengganggu laki (laki-laki) atau bini (perempuan) senior. Maksudnya, gebetan atau pacarnya senior.

Jika terjadi kesalahan. Kembali ke pasal 1.

Pasal Junior

Pasal 1 : Junior selalu salah

Pasal 2 : (Duh, aku tidak mencatatnya. Juga lupa isi pasal tersebut apa.)

Jika terjadi kekeliruan. Kembali ke pasal 1

Setidaknya, melalui buku catatan ini. Aku bisa memanggil memori yang telah lama terlupakan. Dulu, saat aku bosan. Buku catatan MOS akan ku buka. Termasuk membaca beberapa tulisan-tulisan iseng ketika jam pelajaran kosong. Aku memang tidak bisa kembali ke masa lalu. Seperti portal. Melalui buku ini, aku bisa mengingat potongan memori yang paling kuat. Walaupun aku tidak kuat ketika memori itu muncul kembali.

*****

SELASA, 8 JULI 2014

Hari kedua MOS. Aku naik angkutan umum dan duduk di pojokan. Sambil menyandarkan kepala ku di jendela yang tertutup.

Selang 2 menit kemudian, kakak itu datang lagi.

"Akhirnya, aku bisa duduk di sampingmu." Entah itu hanya perkataan atau ungkapan hatinya. Setelah berkata, dia menarik nafas. Menghembuskannya. Terdengar lega.

Aku tentu saja terkejut, orang ini muncul lagi. Tidak bisakah takdir berbaik hati pada ku? Sudah cukup kejadian tempo hari. Aku tidak mau berlanjut lagi mengenalnya.

Mataku meliriknya begitu tajam. Namun aku berusaha untuk tidak menatap secara langsung.

Dengan alis tebal. Bentuk mata yang tidak terlalu sipit, juga tidak terlalu besar dan ada garis lipatan pada kelopak mata namun tidak menonjol. Rambutnya lurus dan tertata dengan rapi. Wajah orang Asia Timur.

Tatapan matanya membuatku sedikit takut, aku juga kesal. Gerak gerik dia seperti orang psikopat. Dia sempat menyebutkan nama. Aku malas mengingatnya. Kami terdiam hingga delapan menit kemudian. Hanya suara kendaraan yang menemani perjalanan kami.

Tiba-tiba dia bertanya, "Kemarin kamu dihukum nggak sama senior?"

Aku menoleh, "Nggak, kenapa?" jawab ku ketus. Lawan bicara ku tertawa, terlihat barisan giginya yang rapi dan putih. Tentu saja, bagian tubuh favorit ku adalah matanya. Namun hari ini, aku suka ketika dia tertawa. Tanpa disadari aku ikutan tersenyum. Namun berusaha menyembunyikannya.

"Jika ada yang bantu kalau lagi kesusahan, harus bilang apa?" Laki-laki itu perlahan mendekatkan wajahnya ke arah ku. Menargetkan sesuatu. Mengambil posisi duduk di sebelah kiri.

Tentu saja hal yang dia lakukan membuatku terkejut dan aku menatap matanya yang lembut itu. Sambil menghela nafas panjang. Lalu perlahan menjauhkan wajahku darinya.

"Makasih." Dengan membentuk sebuah senyuman.

Aku memang sudah paham maksudnya, dia berusaha mengungkit kejadian kemarin. Aku langsung melemparkan pandangan ke depan. Berusaha menenangkan diri sendiri.

"Kepada siapa ucapan terima kasih itu?" Melihat ku tidak nyaman, dia bertanya sambil menarik tubuhnya. Mundur perlahan.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Lalu menghembuskannya. Kesal.

"Ke orang yang menganggap dirinya pahlawan karena sudah menolong aku terhindar dari hukuman," kata ku dengan suara yang agak meninggi.

Mata kami saling bertatapan.

"Shania, catat ini baik-baik. Setiap perbuatan baik akan dibalas hal yang baik bukan?" ujarnya memastikan. Tubuhnya kembali mendekat.

Aku mengernyitkan dahi. Bingung. Ini orang apa maunya sih, maksudnya belum jelas. Aku lama-lama risih. Apalagi desahan nafasnya saat ini terdengar jelas di telingaku.

"Nanti, aku akan datang untuk menerima balasan kebaikan ku. Ingat."

Mata kami seolah tak ingin berpisah hari itu.

"Dek... kita lah sampai." teriak si sopir angkutan umum. Suaranya mendayu-dayu. Tentu saja, ucapan dari sopir angkot ini memiliki nada yang dibuat-buat. Nama sopir angkot langganan ku. Sering dipanggil bang Jack, tapi nama aslinya Putra.

Kami pun turun dan melangkah bersama menuju gerbang sekolah. Sepanjang jalan, dia melihat ku beberapa kali.

"Nama ku Dhery," katanya sambil menyamakan langkah kaki dengan ku.

"Kenapa memberitahukan itu padaku?"

"Karena kamu berhak tahu," jawabnya.

Kami berdua terdiam. Lalu.

"Kamu itu banyak yang suka, tapi kamu selalu nggak peka," pancingnya.

Aku tak begitu mendengar perkataan dia. Banyak hal yang aku pikirkan hari ini.

Tapi aku meresponnya.

"Kenapa? Wajahku tidak cantik. Aku rasa sekolah ini tidak akan kekurangan gadis cantik kan?" Aku bertanya sambil menoleh ke arah kak Dhery. Memastikan.

"Cantik itu relatif. Aku yakin setiap perempuan diciptakan begitu indah dan cantik. Tergantung sudut pandang laki-laki yang memandangnya.

Entah dari fisiknya atau hatinya, bisa juga karena kedua hal tersebut. Fisik yang cantik ditunjang dari perawatan, make up, pakaian dan perhiasan.

Hati yang cantik itu tercermin dari akhlak, perilaku, ilmu, dan pemahaman baik dari segi agama, sosial, dan juga intelektual.

Laki-laki yang beruntung adalah mencintai dan dicintai perempuan yang cantik secara fisik dan hati. Bukan berarti harus mencari pasangan yang sempurna. Saling melengkapi kelebihan dan kekurangan masing-masing itulah kesempurnaan."

Lihat selengkapnya