Aktivitas kami tidak begitu padat, seperti hari-hari sebelumnya. Setelah ini, akan ada jadwal mengerjakan tes untuk penentuan jurusan. Kami hanya duduk-duduk santai dan bebas berbicara kepada siapapun. Bagi sebagian orang, ini adalah cara untuk mengenal teman sebelum penentuan jurusan. Jarum panjang di jam menunjukkan angka 10 dan jarum pendeknya bergerak ke angka 3.
Arni menolehkan kepalanya ke arah ku. Hendak menyapa, namun aku hanya tersenyum melihatnya. Cuma sebentar, lalu kembali bercerita dengan teman-teman yang ada di dekatnya. Sejak kecil, aku lebih nyaman sendiri ketimbang bermain dengan teman-teman. Bagi ku, tempat yang paling aman adalah rumah dan kamar ku sendiri.
Aku menatap bangku kosong itu, Ariel beberapa jam tidak ada di kelas. Akhirnya, hanya aku sendiri yang duduk di bangku. Kemudian menenggelamkan wajah di meja dan lengan yang menjadi alasnya.
Rasa sakit di kepalaku tiba-tiba muncul. Aku sempat melihat ke depan kelas. Beberapa senior berdiri di sana. Kak Habibi dan Kak Dhira tidak terlihat memasuki ruangan ini.
Kepala ku terasa nyeri. Aku merasakan leher yang tiba-tiba kaku. Denyutan di kepala semakin terasa ketika menoleh sedikit.
Penglihatan mulai kabur.
Aku menetap ke depan sambil memegang kepala. Berusaha untuk bertahan di dalam kelas. Tes penentuan jurusan itu penting bagi ku. Sejak kemarin, aku mempersiapkan segalanya. Ayo bertahan lah, aku berusaha memberikan sugesti. Tidak ingin hal buruk terjadi.
Namun, rasa sakit ini. Jika dibiarkan. Bisa merusak hasil jawaban ku. Seketika, pengumuman dari senior yang bernama Kak Rima, berada di kelas kami dan seangkatan dengan kak Dhira juga kak Wika. Untuk wataknya, berbeda 180 derajat. Kak Rima terlihat elegan dan kalem.
Terhitung pada hari ini, dia hanya dua kali masuk kelas kami. Kak Rima sepertinya memberikan sebuah kabar ke kakak senior yang sedang bertugas.
"Siapa yang sakit? Angkat tangannya untuk izin keluar kelas." Pengumuman itu segera diberikan.
Aku awalnya yakin bisa bertahan. Namun, rasa sakit di kepala ku tidak bisa diajak kompromi. Akhirnya aku mengangkat tangan dan berkata, "Kak."
Lalu, dia menghampiri dan aku terus memegang kepala.
"Kau harus ke UKS sesegera mungkin," katanya. Tangan kak Rima sigap memegang tangan ku. Berinisiatif untuk mengantar ke ruang UKS, tapi aku menolak tawaran baiknya itu. Setelah pamit dengan kak Rima serta para senior panitia MOS kelas ini. Aku beranjak dari kursi, berjalan sendirian keluar kelas.
Tiba-tiba mata ku melihat bayangan gelap dan semakin gelap. Kak Rima ternyata menyusul ku. Setelah itu...
Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tiba-tiba saja mataku buram, nafasku tak beraturan. Wajah ku terasa panas lalu berubah menjadi dingin. Pandangan mataku semakin sempit dan semakin redup. Setelah itu, semuanya gelap.
Tapi, entah berapa lama waktu berlalu. Samar-samar ku dengar seseorang memanggil namaku. Mata ini begitu berat saat aku memaksanya terbuka.
Merasakan tenaga ku yang terkuras habis, hanya mampu membuka mata seperempatnya saja.
Kemudian terpejam kembali. Namun, aku sudah bisa mendengar suara. Meskipun tidak begitu jelas.
"Jangan kamu paksakan Shania, aku menjaga mu disini," bisiknya lembut. Aku kembali berada di ruangan gelap itu.
Entah berapa lama, akhirnya tenaga ku berangsur-angsur membaik. Mulai berusaha membuka mata tapi ku urungkan.
"Bagaimana ini, apa kita bawa dia ke Rumah Sakit?" suara kak Nisa memecah kesunyian.
"Lebih baik begitu, mobil bapak kepala sekolah kan ada. Bisa kita pinjam." Kakak perempuan yang berompi PMR berkata dengan cemas.
"Bukannya, mobil kepala sekolah sudah dipinjamkan grup 5 ya?" Kak Habibi berkata.
"Iya juga?" Beberapa dari mereka berseru. Kemudian masing-masing berpikir dan mengambil langkah jika dugaan mereka benar.
Seketika menjadi sunyi. Tidak ada jawaban sama sekali, aku tahu kalau kak Nisa menunggu jawaban dari mereka. Dia khawatir dan takut jika ada hal buruk yang menimpa ku. Perlahan tapi pasti, aku membuka mata dan terasa silau.
Tertulis namanya di rompi PMR. Vania. Berdiri tepat di depan ranjang ku. Sedang memeriksa peralatan medis. Kemudian melihat ku membuka mata. Wajahnya cerah seketika. Langsung berteriak senang.
"Hei, semuanya. Dia sudah bangun," teriak kak Vania.
Kerumunan manusia mulai memenuhi sekelilingku. Termasuk kak Nisa.
Udara di ruangan ini seketika pengap. Aku mulai merasakan rongga dada terasa sempit.
Salah satu kakak kelas yang berada di ruangan ini mendekat sambil membawa segelas air dan obat. Berjalan ke arahku dan memakai rompi warna merah berlambang PMR.
Sebenarnya ada beberapa orang yang memakai rompi berwarna merah ini.
Seingat ku ada tiga orang, dua perempuan dan satu laki-laki. Salah satu dari mereka, ada wajah campuran Jepang dan Indonesia.
Kakak perempuan berompi, entahlah siapa namanya. Dengan sigap mengambil nampan dan menyuruhku meminum obat dengan raut wajah yang begitu khawatir. Tangannya juga sedikit gemetar ketika membawa nampan itu. Ada obat, gelas yang berisi air putih dan juga satu bungkus roti.
Aku enggan membuka mulut, dia terus memaksaku.
"Batalkan puasamu dek. Kamu tuh lagi sakit, nanti tambah parah lho," dia memberikan alasannya. Meyakinkan aku atas tindakannya itu. Aku malah memalingkan wajah dan menutup mulut ini rapat-rapat.
Kakak itu terus saja menyodorkan gelas yang berisi air putih ke mulut ku.
"Jangan dipaksa kalau nggak mau. Taruh saja obatnya ke kotak," perintah kak Nisa kepada orang yang di sampingnya itu.
"Tapi bagaimana kalau terjadi apa-apa?" tanyanya khawatir.
Semua orang terdiam dan kakak yang membawa nampan itu, menyerah. Kemudian pergi ke ruangan belakang UKS.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" sambil menggosokkan minyak angin di kepala ku.
"Masih pusing, mual dan mau muntah rasanya." Aku menjelaskan kondisi tubuh ku dengan jujur.
Kak Nisa mengangguk dan menyuruh aku untuk istirahat. Memahami kondisi ku sekarang ini.
Mereka berkumpul di luar ruangan UKS. Membiarkan aku istirahat. Terdengar suara kak Dhira menyapa kawan-kawannya.