Memori Shania

Suci Adinata
Chapter #15

Memori 14 : Takdir

Aku kembali mengetik kata demi kata. Sambil mengingat-ingat peristiwa masa lampau. Bahkan, semakin ingin aku lepaskan. Memori di kepala malah semakin menjauh. Ada juga beberapa memori yang bersembunyi. Seolah tidak mau dibaca. Apalagi dipelajari. Hal ini selalu terjadi, ketika mengetik. Aku mengalah. Melepaskan tarian jari diatas keyboard. Berhenti sejenak. Menghirup udara, lalu menghembuskannya perlahan. Kemudian, memori yang aku inginkan. Tanpa perlu dirayu ataupun diminta. Hadir sendiri. Banyak yang hadir. Tapi, aku menyimpan untuk privasi. Memilih serta memilah, layak atau tidaknya. Karena ada beberapa hal tidak bisa dipublikasikan.

Setelah sekian lama aku memilih hiatus. Aku beruntung, hanya melanjutkan tulisan ini. Karena beberapa cerita sudah lama aku tuliskan. Filenya masih ada.

Menurut beberapa penulis, menulis itu mudah. Tapi bagiku, menulis adalah suatu proses yang membuatku tidak bisa tidur.

*****

Setelah pengenalan guru yang akan mengajar di kelas hari ini. Termasuk Ibu guru mata pelajaran Ekonomi peminatan dan lainnya. Masih banyak jam-jam kosong yang bisa kami pakai untuk beradaptasi dan juga mengenali satu sama lain. Minimal kenal dengan teman terdekat. Lucu kalau lebih mengenal atau dikenal kelas lain.

Aku hafal betul siapa orang yang berada di belakang meja saat itu. Baris nomor dua. Kami saling berhadapan, tepatnya aku dan Feren yang mengubah posisi duduk.

Kedua kaki kami menyamping di kursi. Sedangkan tubuh kami, menghadap mereka.

Wajah yang mirip orang Cina, rambutnya terurai panjang dan lurus. Berkacamata, kurus dan tinggi serta berkulit kuning langsat.

Berada tepat di belakang Feren, sekilas mereka seperti adik kakak. Namanya Sandra.

Sedangkan yang sama posisinya dengan ku, namanya Eva. Aku mengira dia anak yang pendiam. Tapi setelah kami berempat terlibat dalam sebuah percakapan kecil. Akhirnya aku mengerti.

Teman kami di bangku barisan kedua memiliki latar belakang yang berbeda.

Sandra merupakan alumni dari sebuah sekolah yayasan pendidikan non muslim. Ketika berbicara, logat dan bahasanya campur aduk. Kadang memakai bahasa Indonesia, Melayu Bangka dan bahasa yang sering dipakai etnis Cina seperti yang ada di kota ku. Sementara Eva berasal dari desa Bencah, Kecamatan Air Gegas. Bangka Selatan.

Saat cerita ini ku tulis. Desa itu belum sempat aku kunjungi. Aku berharap, suatu hari nanti. Bisa mengunjunginya. Entahlah bagaimana esok lusa takdir mungkin memberikan ku izin. Dengan syarat harus bekerja keras.

Setelah hampir satu jam kami menghadap meja belakang. Aku mulai bosan.

Feren masih sibuk membicarakan banyak hal dengan Sandra, membahasnya begitu seru. Ada juga perdebatan terjadi dan akhirnya tertawa bersama.

Aku memilih untuk merebahkan kepala di atas meja. Tangan yang menjadi bantalnya. Menguap berkali-kali dan mata ku terasa berat. Kemudian berusaha memejamkan mata.

Bosan saja rasanya. Haruskah aku berkeliling dan melambaikan tangan ke semua orang yang ada di kelas X IPA 1 sambil berkata 'say hay?'

Senyum tipis terukir ketika membayangkan itu. Aku rasa hal itu tidak perlu dilakukan.

Tangan ku lalu disentuh dan tubuh ku ada sedikit guncangan perlahan yang dilakukan seseorang. Tentu aku tahu siapa pelakunya. Sudah pasti teman sebangku, Feren Widyasari nama lengkapnya. Teman yang masih tergambar jelas bagaimana bentuk wajahnya. Semoga dia tidak memudar.

"Hei... hei... hei Shania, aku tahu kamu tidak tidur. Pura-pura tidak mendengar suara ku. Shania... hei." Guncangan itu semakin lama semakin cepat. Aku kesal.

"Ck, kenapa? Ada apa Feren?" Aku mengangkat kepala ku dan kembali ke posisi duduk. Feren diam sejenak, memberi waktu untuk ku mengucek kedua mata.

Entah berapa lama kesunyian menemani kami tanpa ada yang menyuruh dia pergi. Feren lalu membuka suara.

"Tadi kenapa kamu tidak mengangkat tangan, waktu di suruh ibu Rihan," tanyanya bingung.

Aku memilih untuk tidak memberitahu Feren alasannya.

"Bu Rihan tidak akan tahu kalau kita beneran berminat atau tidak." Feren menatapku. Kemudian menundukkan pandangan.

"Jujur itu lebih baik daripada harus berbohong untuk kepentingan pribadi," kilah ku.

"Terserah lah, tapi aku juga awalnya tidak ada keinginan untuk bersekolah di sini. Pengennya ke SMA Negeri 1 di kota kita." Matanya seolah membuat imajinasi. Lalu terlihat bahu Feren naik dan turun perlahan.

"Lalu, mengapa kamu tadi mengangkat tangan?"

"Awalnya memang tidak ada keinginan untuk menimba ilmu di sini. Setelah di pikir-pikir, bersekolah di tempat yang tidak kita inginkan dan bayangkan sebelumnya bukanlah pilihan yang buruk..."

"...Hanya kita 'mungkin' tidak mengetahui kelebihan dan juga keunggulannya. Berpikir bahwa pilihan kita lah yang terbaik, padahal belum tentu kan?"

Seperti di tampar wajahku oleh kalimat Feren barusan.

Selama ini, aku berpikir bahwa keputusan bersekolah disini sia-sia. Karena bukan keinginan murni dari ku. Saat ini aku sedang sibuk bertengkar dengan diri sendiri.

"Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, Shania." Feren mengingatkan.

Kalimatnya seolah bisa membaca pikiran dan menjawab semua pertanyaan ku.

Lonceng pulang terdengar begitu jelas pada awalnya dan seketika, suara riuh sorak sorai menutupi suara lonceng. Berganti dengan lagu Gelang Si Paku Gelang. Matahari mensejajarkan posisi bayangan kami. Hari semakin panas. Mungkin sekitar jam satu lebih.

Ruangan kelas ini kembali kosong, lenggang. Penghuninya meninggalkan memori hari ini. Besok, mereka yang menciptakan. Mereka pula yang melepaskan.

Di depan koridor, kak Dhery membidik sebuah objek dekat lapangan upacara. Kamera yang selalu ada, tidak pernah lepas. Membawa benda itu kemanapun dia pergi. Tersenyum ke arah ku, mengangkat kameranya dan aku buru-buru menghindar. Menundukkan wajah. Sambil menyelipkan helaian rambut di belakang telinga kanan dan kiri dengan kedua tangan bersamaan. Kemudian mempercepat langkah kaki.

Kak Dhery menurunkan lensa kameranya itu dan menunggu. Kami berseberangan. Jaraknya dekat.

Ketika melintas tepat di sampingnya. Aku berjalan melewati koridor sekolah sambil menatap sekitar, dan tentu saja pada akhirnya mata kami saling bertemu.

*****


Lihat selengkapnya