Memori Shania

Suci Adinata
Chapter #16

Memori 15 : Perayaan 17 Agustus

DESEMBER, 2021

Bulir-bulir air dari awan, perlahan turun. Bersamaan, saling menyusul satu sama lain. Dingin menyapa tubuhnya ku. Jaket yang aku kenakan hanya membantu sedikit. Justru, kebersamaan menjadi tubuh ini terasa hangat.

Aku membawa secangkir coklat panas. Uapnya berebutan keluar. Menyapa udara sekitar. Berbaur, kemudian menghilang. Sebuah kursi santai menjadi tempat ku untuk berdiam diri. Basecamp ini tidak terlalu besar. Namun, disinilah tempat yang membuat aku nyaman. Everything.

Ini sudah kunjungan kesekian kali. Tempat yang membuat aku merasa bebas menceritakan apa saja. Dengan ditemani rintik hujan, aku memangku laptop. Membiarkan isi kepala mendikte kata-kata yang terbaca oleh mata. Namun, karena ini karya pertama dan ingin terlihat sempurna. Ratusan kali aku mengetik. Ratusan kali pula, kata-kata itu terhapus. Cuma satu kalimat yang tertera di sana. Memori 17 Agustus. Tentu saja, hal itu membuat aku frustasi. Apalagi, saat ini. Otak ku benar-benar mengunci memori masa lalu. Mungkin saja, aku merasa tidak seharusnya memindahkan memori ini dalam bentuk tulisan. Tapi, aku hanya ingin menemukan tempat yang aman untuk bercerita.

"Setiap orang memiliki sudut pandang, pengalaman dan cara bercerita setiap orang berbeda. Menurut ku, manusia punya perjalanan kehidupan masing-masing." Laki-laki itu tiba-tiba muncul di belakang ku. Wajahnya tidak asing. Ah, iya. Lelaki Kopi. Julukan yang disematkan oleh Dita. Aku meneruskan pengetikan naskah.

"Akhir tahun ini, selalu hujan ya."

"Iya," jawabku singkat.

"Mungkin saja mewakili perasaan yang tersakiti," sambungnya.

Aku tidak meresponnya lagi. Mungkin saja dia saat ini memang sedang patah hati. Atau dia memang sengaja menyindir ku. Untuk sekarang, aku tidak peduli. Aku sedang fokus menyelesaikan cerita ini.

Suara hujan terdengar jelas. Turun begitu deras. Kami bertiga sepakat untuk masuk ke bagian dalam basecamp. Tempat berkumpul. Kurang lebih seperti ruang tamu. Namun, lebih besar dan tanpa sekat. Ada beberapa kamar tidur yang biasa digunakan. Area ini selalu dipantau CCTV. Aku tidak mengetahui persis, siapa pemilik tempat ini. Tapi laki-laki itu yang menyambut kami dengan ramah ketika pertama kali berkunjung. Teman-teman disini memanggilnya Kak Opi. Begitulah julukannya. Berawal dari kekesalan Dita, karena sering disuruh-suruh Lelaki Kopi untuk membuat Kopi.

"Gorengan siap, ayo bapak-bapak dan ibu-ibu. Silahkan dicicipi." Sambutan dari gadis paling muda, membuat kami tertawa sejenak. Dita menjadi bagian keluarga ini. Meski begitu, dia bisa menyesuaikan. Aku hanya tersenyum melihat Dita bertingkah seperti itu. Kami semua sayang padanya. Dita merupakan anak yang begitu hebat. Sulit aku jelaskan kepada kalian.

"Chef Dita, ada apa saja?"

"Oh, saya bukan chef-nya pak. Disini saya berperan sebagai Marketing makanan," jelas Dita sambil terkekeh. Tentu saja yang memasak mereka semua.

"Kopi kak Opi mana Dita?" Opi memang selalu begitu.

"Itu, sudah tersedia. Pak CEO yang baik hati," jawab Dita.

"Kopi buatan Dita memang yang terbaik. Nanti kalau aku nikah. Istri ku dikasih resepnya ya." Setelah berkata demikian. Opi meneguk kopinya.

Aku kemudian ikut bergabung. Melihat hidangan yang telah disediakan.

"Dit, ini gorengan Cempedak?" Aku memegang sebuah gorengan yang sudah terbelah sedikit.

"Eh, iya. Jangan dimakan Mbak!" Tangannya berusaha mencegahku.

Aku teringat kejadian buah Cempedak itu. Satu detik kemudian, langsung berdiri. Meletakkan gorengan itu diatas piring. Lalu bergegas menuju tempat laptop ku berada. Aku tidak peduli dengan respon mereka yang terkejut. Hal ini harus ditulis. Segera.

Jarak diantara kami hanya beberapa langkah. Aku tentu saja mendengar teriakkan itu, namun saat ini. Ada sesuatu yang lebih penting.

"Eh, Shania. Mau kemana? Nanti gorengan ini ludes dimakan Dita," teriak lelaki Kopi. Dita mendengarnya, langsung melihat tajam ke arah Lelaki Kopi yang dalam hitungan detik langsung memperlihatkan barisan gigi. Dengan memunculkan jari telunjuk dan jari tengah. Kode berdamai. Setelah drama itu, dia memuji Dita. Pasti ada maunya, batin ku.

"Tolong bikinin kakak kopi lagi dong," pintanya.

Tuh kan.

*****

SABTU, 16 AGUSTUS 2014

Persiapan lomba tahunan untuk memperingati hari kemerdekaan di kota ku. Membuat kami begitu bersemangat. Hanya satu jam pelajaran dan setelah istirahat mereka mempersiapkan diri. Tinggal menyempurnakan saja. Kebetulan, di depan kelasku adalah lapangan upacara. Jadi, beberapa kakak kelas memakai baju Cual berwarna biru dan coklat sedang menyiapkan atribut karnaval motor hias. Juga, ada kakak kelas yang menggunakan smartphone miliknya. Mencari sudut yang cocok untuk dokumen pribadi. OSIS juga mempersiapkan perlombaan antar kelas untuk memeriahkannya. Lomba Tarik Tambang, Panjat Pinang, Balap Karung, dan makan buah Cempedak terbanyak. Setelah puas melihat persiapan lomba, aku memasuki kelas. Lalu, sebuah pengumuman di papan tulis menyambut ku. Beberapa calon nama perwakilan kelas untuk mengikuti lomba. Ada disana.

Lomba Makan Cempedak

-> Shania

"Loh, kenapa ada namaku," aku protes.

"Iya, nggak ada yang mau ikut lomba itu. Jadi kamu saja yang mewakili kelas kita." Rifqoh menjelaskan.

"Aku nggak mau ikut lomba itu."

"Kita akan kena sanksi bayar uang 50.000 ribu jika tidak mengikuti satu lomba, aku nggak mau mengorbankan uang kas." Retno ikut dalam percakapan, juga menjelaskan.

"Kenapa tidak kamu saja No, atau Rifqoh."

"Aku nggak boleh," jelas Rifqoh.

"Kenapa gak boleh. Suruh saja yang lain. Aku nggak mau,"tegas ku.

"Kenapa ngga mau?"

"Karena aku nggak boleh."

Lihat selengkapnya