Memori Shania

Suci Adinata
Chapter #18

Memori 17 : Rutinitas Sekolah 2014

Entah tanggal berapa sekarang. Kalau nama hari tentu saja aku memang hafal. Dengan seragam putih abu. Aku juga menggunakan dasi, jas almamater dan topi atribut hari Senin.

Lapangan upacara sejak tadi ramai dipenuhi para pelajar dari adik kelas hingga kakak kelas tingkat akhir. Tahun depan mereka akan ujian penentuan kelulusan.

Jam 07.45, upacara telah usai. Kami dan juga siswa lain pergi meninggalkan lapangan, menuju kelas masing-masing. Ruangan yang sejak tadi sunyi. Kini begitu ramai oleh penghuni. Menjadi tempat kami selama satu tahun. Satu per satu masuk ke kelas dan mengambil pakaian olahraga di tas masing-masing.

“Cewek-cewek dipersilahkan ke luar segera, kami mau berganti pakaian di kelas.” Terdengar begitu lantang suara Bayu. Ada juga teman cewek yang lama mengambil baju. Sementara, beberapa cowok sudah membuka baju mereka.

"Lambat banget gerakan kalian! CEPAT KELUAR! KAMI MAU GANTI BAJU!" Seperti mengiring ayam keluar kandang. Lalu pintu kelas dibanting oleh Nizam. Kalau dilihat-lihat. Mirip kak Wika. Tapi versi cowoknya.

"Woi, kalian yang buka baju tadi. Gak malu ya sama cewek?" Suara itu awalnya terdengar besar. Kini semakin mengecil seiring menjauhnya Nizam dari pintu.

Shania dan teman-temannya bergegas menuju toilet perempuan yang tak jauh dari kelas mereka. Sepuluh menit telah berlalu. Kelas X IPA 1 berjalan membentuk satu rombongan menuju ke lapangan olahraga. Pak Arifin sudah ada di lapangan. Sedang asyik bermain Basket bersama seseorang.

Begitu lincah gerakan tubuh guru muda itu dalam menggiring bola dan mempertahankannya agar tidak direbut pihak lawan.

Pihak lawan pun berusaha mengambil alih bola tersebut. Berambisi untuk mencetak skor. Tapi pak Arifin tidak akan membiarkannya dia mencetak skor dengan mudah. Pertandingan dihentikan, permainan itu berjalan satu jam kurang lima belas menit.

Pertama, karena guru olahraga mereka menang total dalam pertandingan.

Kedua, ketua kelas berlari ke tengah lapangan menemui beliau. Edmund. Orang pertama yang selalu bisa diandalkan Memudahkan kami dan juga guru.

Seseorang yang berada di samping pak Arifin menunduk sambil memegang kedua lututnya.

Keringat membasahi kaos, gerakan pundaknya naik turun.

Shania memperhatikan dia dari jarak beberapa meter. Mereka hanya menunggu di luar lapangan, belum berani masuk. Teriakan dan lambaian tangan ketua kelas seolah menjadi "kode" menyuruh mereka berkumpul di tengah lapangan. Kemudian mereka bergegas dan terpecah menjadi dua kelompok. Ada yang melompati beton dan mengelilingi lapangan, kelompok pertama.

Tinggi beton itu kurang lebih 73 cm dan kebanyakan cowok yang melakukannya. Kelompok kedua, mengelilingi tembok menuju pintu masuk lapangan. Kebanyakan cewek, walaupun beberapa cowok juga ada. Lapangan olahraga di sekolah ku begitu sederhana.

*****

"Aku yang menyelesaikan ketikan bab ini Shan?" Dengan mata terbelalak dan mengarahkan jari telunjuk ku ke dada sendiri. Tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Biasanya, bagian ku cuma menyarankan dan mengarahkan saja. Hanya itu.

"Serius? Aku?" tanya ku memastikan.

"Iya Ci," jawabnya serius.

"Apakah tanganmu sudah lelah?"

"Tidak."

"Lalu?" Tentu saja aku harus mengetahuinya. Jika salah mengambil keputusan, bisa-bisa aku yang diamuk para pembaca.

"Aku hanya ingin bercerita saja. Tolong ya Ci," pinta Shania dengan mata berbinar dan seolah menyuruhku untuk mengabulkan permintaan dia.

"Oke." Aku mengatakan itu sambil menghela nafas. Hanya mengetik cerita dia kan? Tapi prakteknya tidak semudah itu. Aku harus mengartikan sebuah memori dari bentuk suara ke bentuk teks.

"Sampai dimana tadi?" Oh, lapangan olahraga. Deskripsi lapangan ini tahun berapa?"

Kini, kami sudah berpindah posisi. Aku duduk di depan laptop. Tangan ku bersiap untuk menekan tuts keyboard. Shania berada di samping ku. Baiklah, aku harus konsentrasi penuh.

"Itu adalah gambaran lapangan olahraga di tahun ku. 2014. Mungkin sekarang. Bakalan lebih bagus lagi," jelas Shania.

Aku menganggukkan kepala.

"Masih jadi misteri, kenapa saat kita lulus dan meninggalkan sekolah. Maka, sekolah itu menjadi lebih bagus. Kadang, aku heran juga," celoteh ku sambil menatap layar laptop dengan kursor yang membentuk rangkaian kalimat. Percakapan kami juga tanpa sengaja aku ketik.

"Eh?" Aku bingung sendiri. "Kenapa percakapan kita malah aku ketik?" sambung ku. Tangan ku langsung bergerak menekan tombol delete. Namun, gerakan tangan ku dihentikan Shania.

"Biarkan saja. Kan di bab ini aku bercerita kepadamu. Jadi, berbeda sudut pandangnya."

Setelah mengecek beberapa jadwal, aku setuju untuk membantunya. Baiklah, kata ku dalam hati. Aku akan menjadi juru ketik untuknya hari ini. Namun sebelum itu, aku melampiaskan dulu kekesalan ku padanya. “Shania, dari cerita kamu tadi. Kalau aku jadi guru olahraga mu. Sampai selesai jam olahraga, tidak akan aku sapa. Paling langsung masuk ruangan BK.”

*****

Tidak sampai satu menit, tubuh guru ini tenggelam di lautan manusia dan Shania masih berdiri tak jauh dari pintu masuk.

“Hei jangan melamun, banyak setan di sini.” Shania reflek menoleh ke belakang, dia mengenali suaranya. Kak Dhery? Jadi, lawan main basket tadi dia.

Lihat selengkapnya