Memori Shania

Suci Adinata
Chapter #7

Memori 6 : Rabu, 9 Juli 2014

RABU, 9 JULI 2014

Sidak hari ini.

Setiap orang harus mengeluarkan isi tas masing-masing. Awalnya, papan nama kami di periksa. Kak Dhira membawa sebuah penggaris, mengukurnya. Juga foto yang tertempel di belakang papan nama. Kak Wika berkeliling, memeriksa dengan jeli. Tidak ada foto yang sesuai. Mengomel saat berada di meja ku. Berjalan ke meja Ariel, berhenti sejenak. Telapak tangannya melayang di lengan Ariel. Begitu kuat suara itu dengan cepat menyapa telinga ku "plak"

Aku menoleh ke arah Ariel, memastikan bahwa dia baik-baik saja. "Nah, ini dia. Kerja bagus. Pinjam sebentar, “Kak Wika lalu berjalan menuju papan tulis. Memberikan perintah agar semua orang memperhatikannya. Papan nama milik Ariel diangkat setinggi mungkin agar kami bisa melihat. "Ini yang namanya foto alay. Cuma dia. Siapa ini?" Lalu, mengintip nama. "Hanya Ariel yang bener. Kalian semuanya salah." Aku melirik Ariel, dia tersenyum tipis. Walaupun dia sembunyikan. Tetap saja aku bisa merasakan bahwa dia merasa bangga.

"Coba liat kak," pinta seseorang.

"Nih." Kak Wika mensejajarkan posisi name tag. Tepat di hadapannya. Ekspresinya masih serius. Kami semua terdiam, kak Wika lalu berjalan ke arah Ariel mengembalikannya. Lalu berkata.

"Makasih."

"Sama-sama kak."

Pemeriksaan catatan dilakukan. Semua buku dikumpulkan jadi satu. Kemudian semua senior mengoreksi catatan kami yang ada di atas meja guru. Membuka dengan tergesa-gesa, lalu melemparkannya ke depan. Tidak butuh waktu yang lama. Buku-buku itu tertumpuk. Beberapa teman ku mengambil buku milik mereka. Tiba-tiba kak Wika memanggil nama ku. Tentu saja aku langsung menuju kearahnya. Pasti dapat hukuman nih, prediksi ku dalam hati

"Mana catatan mu, kemarin kamu tidak mengerjakan apa yang kami suruh. Sebagai gantinya kamu nanti cari yang namanya kak Dhery," perintah kak Wika.

"Senior kak?" tanyaku

"Alumnus juga senior kan?”

Aku hanya diam ketika pertanyaan itu diajukannya.

"Tanya sedetail mungkin, cari di pohon beringin bersebelahan dengan Mushola. Tempat nongkrong dia."

"Tau nggak orangnya? itu, yang sering bawa kamera DSLR. Kemana-mana selalu bawa kamera. Aneh bukan." Kak Dhira seolah bertanya kepada ku dan memaksa menyetujui pendapatnya lewat bahasa tubuh.

Mana aku tau kak, aku juga membalasnya dengan bahasa tubuh. Menyipitkan mata dan menggelengkan kepala.

Berdiri di depan ku, kak Dhira setengah tertawa dan tangannya langsung dicubit kak Wika.

"Sekarang, ambil buku dan pulpen, jangan kembali kalau belum dapat datanya."

Aku bingung, iya kalau kak Dhery itu ada disana. Kalau tidak? Masa harus mencarinya sampai ke ujung dunia. Lagi pula, mana ada alumni yang mau datang pada saat acara MOS?

"Ya udah, cepetan sana. Minta datanya. Jangan masuk kelas sebelum halaman buku ini terisi penuh," perintah kak Wika.

Aku kemudian keluar kelas dan langsung menjalankan misi.

Setelah menuruni tangga ada satu kakak kelas waktu SMP dan ternyata dia bersekolah disini juga. Kami tidak akrab, aku mulanya segan. Tapi kalau tidak bertanya, mungkin lebih lama selesainya. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya dan dia begitu baik. Meski ada lambang PROVOS di bahunya. Sama sekali tidak membuatku kesulitan. Bahkan sampai mengantarkan ku ke pohon Beringin itu.

Setelah berterima kasih kepadanya. Aku bergegas ke tempat yang ditunjukkan senior. Dari jauh sudah terlihat, orang yang aku cari sedang duduk. Membelakangi ku.

"Selamat pagi kak." Dengan sopan aku menyapa. Tidak lupa juga menambahkan senyum tipis. Agar suaraku terdengar ramah. Kemudian aku duduk di sampingnya, jarak antara kami berdua bisa dipakai duduk dua orang lagi. Dia sedang memangku laptop, melihat layarnya dan sesekali sepuluh jari itu menari di atas keyboard.

"Pagi," jawabannya. Aku terkejut, suara itu. Jangan-jangan. Aku memejamkan mata, sebentar. Tidak ingin menolehkan kepala. Kemudian, aku curi-curi pandang. Laptop itu dilipat dan ditaruh tepat sampingnya, ketika ada anggota PROVOS yang sedang patroli menuju pintu gerbang kedua. Tepatnya ada masjid di sebelah gerbang itu. Orang yang dipanggil langsung menghampirinya. Kakak itu meminta tolong untuk menaruh laptopnya di kantor kepsek.

Aku tersenyum saat kakak PROVOS berjalan di depan ku. Ternyata kakak yang tadi menunjukkan tempat ini.

"Saya siap di wawancara, tanya apa aja juga boleh." Kami saling bertatapan. Tuh kan benar, kak Dhery adalah kakak yang sering bertemu dengan ku beberapa hari yang lalu.

"Dijawab langsung?" tanya ku polos.

"Mikir dulu lah."

Sesi tanya jawab pun berlangsung.

Nama : Dhery Praka Okta Wijaya

"Panggilannya?"

"Dhery, tapi kalau Shania harus ada kata 'kak' di depannya," dia berkata sambil tersenyum.

"Wah, namanya bagus. Boleh ku pinjam nama kakak untuk tokoh dalam novel ku?"

"Kamu suka menulis?" tanyanya penasaran.

"Iseng-iseng saja kak. Mengisi waktu luang dan sesuai suasana hati. Tidak terlalu serius kalau untuk jadi penulis," jelas ku.

"Kamu boleh menulis memori tentang kita. Tapi jangan kamu jadikan novel. Cukup disimpan jadi milik pribadi. Kakak izinkan. Kalau begitu, kakak juga pinjam namamu. Oke." Kak Dhery menunggu persetujuan ku.

Aku ingin bertanya alasannya tersebut. Setiap novel kan berisi memori. Nanti-nanti saja lah aku memikirkannya.

"Kakak boleh meminjam nama mu ya?" Kak Dhery bertanya lagi.

"Untuk apa?" tanya ku heran. Apakah dia juga penulis?

Lihat selengkapnya