Sungguh, kau membuat aku bertanya-tanya. Tentang semua teka-teki dalam hidupmu. Kenapa aku harus terlibat?
Aku memikirkan kalimat itu sambil menoleh ke arah kak Dhery.
Setelah beberapa menit berlalu, kami berhenti di sebuah rumah sakit. Turun dari mobil, membukakan pintu untuk ku. Tangan itu masih menggenggam tangan ku.
"Jangan jauh-jauh, tetaplah di sampingku." Wajah kak Dhery begitu khawatir.
Aku menuruti perintah kak Dhery. Langkah kakinya begitu cepat, aku berusaha mengikuti. Agar tidak terlalu menyusahkannya. Kami berjalan menuju koridor rumah sakit. Menemui resepsionis dan menanyakan sebuah ruangan.
Siapa yang sedang dirawat di rumah sakit?
Setelah dapat informasi dari suster jaga, kami bergegas menuju ke sebuah ruangan.
Berhenti sejenak persis di depan pintu.
"Shania, kamu mau bantu aku?" tanyanya serius.
Aku hanya terdiam, memikirkan dan menimbang pertanyaan kak Dhery. Beberapa detik kemudian.
"Apa?" Kini mata kami saling menatap satu sama lain.
"Tersenyumlah, meski saat ini hatimu terluka. Meski hanya pura-pura."
Setelah ucapan itu terdengar, aku terdiam. Kak Dhery juga. Entah apa yang ia pikirkan. Satu pertanyaan tiba-tiba muncul. Kenapa harus aku?
Kemudian, kami masuk ke ruangan itu dan tangannya masih menggenggam tangan ku.
Kami tiba di pintu ruangan pasien. Kak Dhery berjalan menuju tempat tidur pasien yang baru pertama kali aku lihat.
"Bagaimana kabar Bunda?" Mencium tangan perempuan paruh baya itu, usia nya sekitar 55 tahun.
Beliau tersenyum bahagia ketika melihat anak laki-laki itu, seperti tidak melihat orang yang dihadapan nya selama bertahun-tahun. Ada dokter cantik di sisi kanan, sedang tersenyum dan usianya 25 tahun, aku tahu karena bunda menceritakannya.
Rambut dokter itu panjang sebahu, bermata coklat, memiliki hidung yang mancung dan bentuk wajah bulat tanpa ada lecet sedikitpun. Berkulit putih bersih seperti Bunda. Dia mengenakan jas dokter, mengalungkan stetoskop. Ku cium tangannya. Bunda mengusap rambut ku, sama seperti kak Dhery tadi.
"Siapa gadis cantik ini, anak ku. Apakah dia pacarmu?" Melihat anak bungsunya dengan tatapan bahagia. Ada rasa penasaran yang membuat bunda bertanya sekaligus memastikan.
Kami saling memandang satu sama lain dan akhirnya dia melihat mata sayu Bunda. Bagi bunda, menatap matanya adalah sebuah kekuatan yang mampu menambah energi untuk tetap bertahan.
Begitu teduh mata anak laki-lakinya.
Menenangkan saat memandangnya. Apalagi dengan senyum tulus dan manis itu. Aku melamun, namun segera tersadar.
Ketika suara batuk menguasai ruangan ini.
"Siapa namamu, sayang?"
"Shania Karmila, Bunda." Aku tersenyum.
Bunda tersenyum, matanya berkaca-kaca. Memegang lembut tangan ku.
"Bunda minta tolong sama kamu, boleh Nak?"
Aku mengangguk perlahan.
"Tolong jaga Dhery untuk bunda."
Aku hanya terdiam, masih belum paham apa yang diucapkan Bunda. Mungkin hanya sekedar bercanda. Setelah itu, Bunda menarik ku pelan. Kepala kami saling menempel dan Bunda memejamkan matanya sebentar. Kemudian berkata pelan.
"Bunda mau beri satu rahasia. Dhery sering bercerita tentang kamu saat dia masih sekolah dulu, sekarang bunda bisa melihat orangnya secara langsung." Bunda Hana berbisik. Aku hanya tersenyum kecil. Kemudian bunda melihat ke arah kak Azza.
"Azza ke pasien lain ya bunda. Dek, kamu di sini dulu, temenin bunda." Dokter cantik itu melangkahkan kakinya menuju pintu, terlihat sedang mengejar waktu.
"Iya kak, tapi jangan lama-lama. Bawa anak orang nih kak.Takut nanti dicariin," tegas Dhery.
Dokter Azza mengangguk dan pergi meninggalkan kami bertiga.
"Bunda mau istirahat dulu, kalian duduklah disini. Nak, bunda ingin bertanya padamu Shania, boleh?"
Hanya anggukan kepala, tanda bahwa aku berkata ya.
"Masih sekolah ya? kelas berapa?"
"Iya Bunda, baru kelas 1 SMA, tadi juga masih MOS."
"Aku culik bunda," jelas kak Dhery.
Bunda tertawa, "Lama juga ya menunggumu 3 tahun."
"Waktu akan berjalan cepat bunda, tanpa terasa dan disadari. Bunda cepat sembuh dong, biar nanti bisa mendampingi aku buat ngelamar Shania." Bunda Hana tertawa sambil menepuk bahu kak Dhery.
*****
Suara adzan mulai terdengar di mana-mana, menemani kami di perjalanan 5 menit terakhir.
Mobil yang dikendarai Dhery tiba di parkiran dan mereka turun bersamaan. Shania langsung berjalan. Meninggalkan Dhery sekitar 5 langkah, bukan tanpa sengaja. Tapi ada kewajiban yang harus dia kerjakan.