Memori Shania

Suci Adinata
Chapter #23

Memori 22 : Museum Timah

(Dokumentasi Pribadi)

Museum Timah Indonesia, Pangkalpinang. Tahun 2023

Dita dan 2 teman dari basecamp membuat rencana mengunjungi museum untuk menghabiskan hari Minggu.

Menurut ku, ini bukan rencana baik. Tapi bukan juga rencana buruk.

Aku seolah kembali dengan memakai mesin waktu. Memang, sekitar enam bulan yang lalu. Kami berencana untuk mengunjungi sebuah Museum. Tapi aku tidak pernah membayangkan, kaki ini kembali menyentuh tanah-tanah yang terakhir aku pijakan di tahun 2014.

Sejak aku kembali pulang ke kota ini di tahun 2022. Aku tidak pernah terpikir akan kembali mengunjunginya. Selama itu pula, aku berusaha untuk membuang beberapa memori. Namun, ketika memutuskan untuk membuang semuanya. Justru mereka yang menahan dan berusaha merangkai puzzle-puzzle kenangan itu.

Entah apa yang sedang mereka pikirkan tentang aku. Dari awal. Aku hanya ingin bercerita, bukan meneruskan cerita ini.

Aku terdiam sejenak.

"Kenapa? Lagi ga enak badan?" Pertanyaan Opi hanya ku jawab dengan gelengan kepala.

"Tidak, hanya pusing saja. Aku mau keluar sebentar ya. Barangkali pusing ku berkurang." Aku melangkah pelan. Opi menyusul.

"Mau aku temani? Aku juga tidak suka lama-lama di museum ini." Kalimat itu seolah jadi penenang untuk ku. Ada seseorang yang bisa memahami dan mengerti tentang betapa bencinya aku dengan keramaian.

Tangan Opi menuntun ku. Sikap Opi akhir-akhir ini membuat ku bertanya. Kenapa dia lebih dekat denganku daripada teman perempuan yang lain? Ada apa sebenarnya?

Apakah ini hanya perasaanku saja?

Pikiran ku riuh dengan pertanyaan tentang perlakuan teman dekat yang ku kenal di tahun 2019 ini.

Tiba-tiba, tanganku digenggamnya. Begitu erat. Hingga udara panas dari tubuhnya, mengalir perlahan menuju telapak tangan ku.

Sejujurnya, aku merasa nyaman. Merasa ada yang melindungi ku. Hanya itu. Aku melihat ke arahnya, lalu kami berdua tersenyum simpul.

Ada apa dengan kami berdua? Aku berusaha mengendalikan diri, agar semuanya baik-baik saja.

Opi mengajak ku mencari udara segar. Kami duduk di samping pintu masuk utama museum. Pohon rindang dan tempat duduk yang masih sama. Aku merasakan baru saja berkunjung ke tempat ini ketika masih SMA. Tanpa terasa, sudah sembilan tahun berlalu. Waktu memang secepat itu bergerak.

Opi datang membawa minuman dan beberapa tempat obat yang berisi empat jenis vitamin. Juga beberapa cemilan pengganjal perut. Setelah dari museum. Semua rombongan menuju ke sebuah tempat makan, ditraktir Opi.

"Apakah kamu masih marah denganku?"

"Marah kenapa?" tanya ku.

Opi diam sejenak. Lalu melanjutkan ucapannya.

"Tentang pernyataan ku perihal novel yang kamu buat."

Aku melambaikan tangan sepersekian detik. Memberikan isyarat bahwa hal itu tidak menjadi persoalan. Kemudian memberitahunya untuk berhenti membahas kejadian yang telah lampau. Toh, setelah dipikir-pikir. Ternyata ada baiknya buat dipikirkan.

Setiap perjalanan kehidupan lebih kurang dari 7 miliar manusia. Akan menjadi sejarah. Berupa-rupa. Banyak bentuknya. Kelak, suatu saat nanti, akan bertemu seseorang yang terus menerus menjadi pendamping kita dalam mengukir cerita perjalanan hidup.

*****

Guru yang sedang menjelaskan di depan papan tulis, terlihat wibawanya dan tingkah lakunya seperti dosen. Beliau adalah Bu Ningsih, guru Sejarah yang mengajar di kelas X IPA 1

Tahun ini kami menggunakan kurikulum 2013.

Bu Ningsih memberikan kesempatan kepada kami untuk berkunjung ke Museum Timah dan membuat laporan tentang kunjungan kami tersebut. Pertama kali aku mengunjungi museum Timah.

Hari ditentukan telah tiba, ibu Ningsih bahkan telah mempersiapkan segalanya dari satu bulan yang lalu. Termasuk mengurus izin kepada kepala sekolah dan Mesum Timah.

Hanya kelas X IPA 1 dan 2 yang mengikuti kegiatan ini. Kami pergi bersama. Menggunakan sepeda motor. Beriringan. Aku bersama teman perempuan.

Lihat selengkapnya