Dita sedang duduk-duduk santai, tangannya sibuk memetik senar gitar. Membentuk sebuah alunan lagu yang membuat ku terinspirasi untuk melanjutkan ketikan naskah. Aku memilih halaman depan basecamp. Mungkin saja bisa memberikan kenyamanan tersendiri. Saat melihat Dita, memori di kepala muncul. Ada seorang yang begitu lihai memainkan senar gitar. Saat itu, sedang diadakan acara sekolah. Aku tidak terlalu ingat secara spesifik. Tapi, sosok kakak perempuan itu selalu ku ingat. Dengan rambut sebahu yang lurus alami, dibiarkan tergerai begitu saja. Tidak peduli, dia begitu menikmati sebagai seorang gitaris yang sedang beraksi di atas panggung. Aku terpukau.
Ku basuh luka, dengan air mata
Hanya sepenggal lirik itu yang masih ku ingat, hingga sekarang. Aku bahkan tidak pernah mendengar lagu tersebut. Ketika sudah berada di halaman depan, suasana hening. Aku mulai fokus mengetik beberapa kata untuk mengantar memori selanjutnya.
Tiba-tiba, suara teriakan itu terdengar. Apa yang terjadi?
PUTUS!
Hanya teriakan satu kata. Membuat satu basecamp jadi gempar. Opi bahkan belum sempat memarkirkan motor dnegan benar. Terburu-buru membuka helm. Aku langsung bergegas ke ruangan kami biasa berkumpul. Meninggalkan laptop yang masih menampilkan layar putih dan kursor berkedip. Semua di basecamp yakin, itu suara Dita. Kami menjadi khawatir, terutama aku. Suara teriakan tadi, berganti menjadi tangis.
"Kenapa? Ada apa? Kamu kenapa?" Dari raut wajahnya, Opi terlihat khawatir.
"Senar gitar ku putus, Bang. Bagaimana ini," jawab Dita sambil terisak-isak.
Ternyata, senar gitarnya putus. Batin ku. Opi dan teman-teman kami yang kebetulan mendengar teriakkan itu, langsung menarik nafas panjang. Ada yang bahkan tertawa.
"Kami tadi mengira, kamu sedang berantem sama pacar mu. Ternyata cuma perkara senar gitar putus." Teman Opi berkata, lalu menyambungkan tawanya kembali. Opi yang sedang berusaha menenangkan Dita, langsung melotot ke sumber suara. Memberikan tanda untuk berhenti segera.
"Kan bisa diganti senarnya Dita, yang paling bagus. Udah jangan nangis lagi," kata Opi dengan nada yang berusaha untuk menghibur Dita.
"Ga mau bang Opi. Rasanya pasti beda," Tangisnya kembali pecah. Opi menarik nafas panjang, pasrah. Aku memegang tangan Dita, lalu duduk jongkok di depan wajahnya.
"Dita, sesuatu yang rusak. Harusnya segera diganti. Kalau tidak mau dan tetap ingin dipertahankan. Sewaktu-waktu akan menghancurkan kamu. Bahkan rasa sakitnya berkali-kali lipat."
Opi lalu melihat ke arah ku, kemudian menganggukkan kepala perlahan. Dita masih berusaha mengontrol emosinya. Aku paham, gitar itu dibeli ketika dia kelas 1 SMP. Hadiah kenaikan kelas.
"Untung saja, tidak kena mata kamu. Bahaya soalnya," sambung ku. Dita masih sesenggukan. Perlahan-lahan mulai bisa mengendalikan diri. Opi berinisiatif untuk membelikan senar gitar itu. Pamit meninggalkan kami. Aku kemudian duduk di samping Dita.
Besok, ada acara di sekolah. Dita termasuk sebagai peserta pengisi acara itu. Makanya dia sampai menangis, tantrum karena kesal. Apalagi sudah berlatih dengan keras. Aku dulu tidak berminat sama sekali menjadi panitia atau peserta acara pentas di sekolah. Aku tidak menjadi anggota OSIS. Toh, kalau menjadi peserta. Keahlian dan bakat apa yang bisa aku tunjukkan?
Tidak ada.
Suara langkah kaki terdengar, aku mengira itu Opi. Cepat sekali kembali ke sini. Mungkin dekat, pikir ku. Ternyata bukan, dia teman Opi. Baru dua kali aku melihatnya. Ketika acara tahun baru 2023 dan hari ini. Aku jarang berkunjung ke basecamp. Bahkan naskah ku sudah tertunda sejak 8 bulan yang lalu. Apakah bisa selesai tahun ini? Untuk usia sekarang, semakin banyak prioritas. Termasuk bagaimana menyusun dan memilih tujuan untuk masa depan. Bahkan. Ada beberapa teman satu angkatan yang sudah menikah, punya anak, melanjutkan pendidikan, mendapatkan pekerjaan impian. Aku? Entahlah. Untuk terbebas dari memori masa lalu, bahkan butuh waktu bertahun-tahun.
"Neng, jangan melamun. Ntar kamu kemasukan setan." Suara laki-laki memperingatkan ku. Aku melihat wajahnya.
"Kamu? Oh, kamu Shania kan? Pernah sekolah di SMADA dan SMP Negeri 6?"
"Iya. Akang tau dari mana?"
"Tau, kamu terkenal disini. Eh, ini laptop mu kan?" Laptop itu langsung dia letakkan di atas meja. Tersenyum. Kemudian duduk, berhadapan dengan ku. Setelah memperkenalkan diri. Kang Dhani memberikan penjelasan.
"Saya tau kamu, dari cerita Hendra. Memang jarang kalau saya main ke sini," jelasnya. Kang Dhani melihat ke arah Dita yang saat ini sedang sibuk mengetik di Handphone. Beberapa menit kemudian, Opi datang sambil menenteng banyak kantong kresek. Dita langsung membantunya, memindahkan beberapa ke dapur. Sementara itu, aku dan kang Dhani masih duduk. Opi membawa satu kresek yang berisi senar gitar. Lalu memperbaiki gitar milik Dita.
"Sudah lama Kang, nyampenya?" tanya Opi menghentikan keheningan diantara kami.
"Ngga terlalu lama juga," jawab Kang Dhani. Aku melanjutkan ketikan naskah yang sempat tertunda. Dita kembali dan duduk bersebelahan dengan Opi. Kini gitarnya sudah diperbaiki.
"Terimakasih bang Opi," ucap Dita sambil tersenyum. Opi heran dengan tingkahnya hari ini.