Aku mematikan akses komunikasi, selama dua minggu. Mataku hanya fokus ke layar laptop. Tangan ku kembali bergerak. Dengan lincahnya menari di atas tuts-tuts keyboard. Menumpahkan segala perasaan dan pikiran saat ini. Meyakinkan diri untuk melanjutkan proses menulis. Sudah aku putuskan, selesaikan segera.
Kali ini, beberapa bulan sebelum proses penyelesaian naskah. Berkali-kali teman penulis ku memastikan keputusan ku. Dengan segala drama di kepala dan hati. Akhirnya mulai menemukan titik terang. Bahkan lebih terang dari cahaya Matahari, optimis.
*****
Satu minggu pertama, aku bahkan sudah memutuskan untuk tidak mau melanjutkan lagi. Laptopku tiba-tiba mengalami kendala. Bahkan harus kehilangan dua puluh delapan ribu kata. Hingga akhirnya harus menyusun ulang. Terdiam sejenak, bahkan menangis pun tidak bisa aku lakukan. Tapi sebuah janji menguatkan. Kalau tidak bisa tahun ini, kapan lagi? Menyerah dan pasrah tidak bisa menyelesaikan segala permasalahan yang aku alami. Pelan-pelan mulai menyadari perkataan dari salah satu teman ku.
"Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, Shania."
Perkataan itu sangat membantu, kemudian memutuskan untuk menuliskan memori yang aku simpan. Segera menerjemahkannya dalam bentuk tulisan.
Dua minggu berlalu, aku kembali membuka akses komunikasi. Banyak sekali notifikasi yang masuk. Ada telpon dan chat dari beberapa orang. Bahkan salah satu chat yang aku baca. Malah membuat ku tertawa. Isi pesan itu 'Jangan mati dulu Shan, kita belum ke Danau Kaolin dan menemui kembaran kamu secara langsung. Mentilen.' disertai emotikon monyet.
Aku merasakan beban saat mengetahui Opi mengirimkan pesan. Mengurungkan niat untuk membaca isi pesannya. Masuk dalam daftar arsip. Tentu saja, beberapa hari setelah mendengar penjelasan dari kang Dhani. Membentuk sebuah keyakinan bahwa, jangan terlalu percaya dengan ucapan laki-laki. Apalagi tanpa ikatan pasti.
Setelah tenang dan mengikhlaskan 28 ribu kata. Pada akhirnya sebuah memori muncul begitu saja. Tentu saja, aku langsung menerjemahkannya ke dalam rangkaian kata.
*****
Aku sedang berada di dalam kelas. Merasa bosan dan memutuskan untuk keluar. Tidak ada kegiatan belajar mengajar. Separuh teman di kelas ku berada di luar, berpencar. Diantaranya memilih ke kantin. Juga ada yang hanya duduk di samping bangunan ini. Aku memutuskan untuk ikut bergabung dengan mereka. Sebentar lagi, kami menyelesaikan proses belajar di SMP. Mau kemana setelah lulus? Pertanyaannya itu menjadi topik obrolan. Apalagi disaat-saat seperti ini. Teman-teman bahkan sudah menentukan tujuan selanjutnya. Ada yang ingin melanjutkan pendidikan ke SMK namun pilihan di SMA lebih banyak. Tentu saja sekolah itu menjadi pilihan utama.
Ada rombongan kakak kelas di SMA ini, pernah makan di kantin kami. Jadi, punya gambaran. Waktu itu aku masih duduk di kelas dua SMP. Bangunan sekolah berdekatan. Hanya seutas kawat yang menjadi pembatas.
Beberapa hari yang lalu. Kejadian tahun lalu terulang. Tapi kali ini hanya ada dua rombongan dari kakak-kakak SMA yang menuju kantin sekolah. Walaupun jumlahnya tidak sebanyak tahun kemarin.
Saat ditanya alasan kenapa memilih sekolah tetangga (karena tempatnya bersebelahan). Jawaban teman ku beragam, tapi ada satu hal yang membuat kami semua geleng-geleng kepala. Bukan karena sekolah favorit, kegiatan ekstrakurikuler atau sistemnya. Tapi salah satu teman ku menjawab, ada kakak kelas yang katanya mirip artis Korea.