Setelah drama yang cukup panjang serta melelahkan. Kami berdua singgah di sebuah tempat makan. Aku hanya melihat kanan - kiri. Memeriksa sekeliling tempat ini. Andai saja tangan ku tidak di pegang kak Dhery. Mungkin saja sepuluh langkah dari pintu masuk. Kaki ku sudah terantuk meja atau kursi.
Kami duduk ditempat yang telah dipilih. Ada menu di meja, kak Dhery mengambilnya lalu bertanya kepada ku.
"Shania, mau pesan apa?"
"Terserah."
Kak Dhery memanggil pelayan. Lalu menyebutkan pesanan.
"Mas, pesan Mie Ayam dan es Jeruk dua."
Pelayan itu mengangguk. Aku mengkoreksi pesanan itu dengan segera.
"Mas, maaf. Es Jeruk satu aja. Ganti sama air putih."
"Oh, iya Neng."
Pelayan itu pergi. Tapi ekspresi wajahnya seperti menonton film romansa.
Kami duduk bersebelahan.
"Shania," panggilnya.
"Ya?"
Aku yang awalnya menoleh ke arah lain. Langsung ke arah sumber suara. Tapi mata ku tidak ingin menatapnya. Kak Dhery membuka percakapan.
"Sejak pertama kali kita bertemu, di dalam angkot itu. Aku mulai menyukaimu," terang Kak Dhery.
Aku tidak tahu kapan pertama kali bertemu kak Dhery ketika dia masih SMA, seperti yang bunda ceritakan kepada ku satu bulan yang lalu. Saat ini, aku hanya mendengarkan ceritanya.
"Bunda memang benar, aku sering bercerita tentang kamu waktu masih SMA," Kak Dhery melanjutkan perkataannya sambil menggenggam telapak tangan ku.
"Kamu cemburu gak. Tadi banyak cewek-cewek yang mengerumuni, bahkan diantara mereka. Bahkan ada yang berani merangkul dan memeluk ku."
"Tidak." Aku memang tidak peduli. Hanya saja, aku penasaran. Siapa perempuan-perempuan cantik itu.
"Boleh aku minta sesuatu padamu, Shania?"
"Apa?"
"Tolong biarkan aku tetap berada di dalam hatimu. Sekalipun banyak laki-laki datang untuk menjatuhkan posisi ku. Tetaplah bertahan, Shania. Sekalipun ribuan pulau menghalangi jiwa dan raga kita. Rasa sayang dan cinta itu, akan tetap menjadi milikmu."
Aku cuma memandang matanya. Apakah ini yang dinamakan cinta masa putih abu-abu?
"Aku mau tanya sesuatu. Boleh?"
Dia hanya menganggukkan kepala.
"Kenapa aku tidak diperbolehkan untuk menulis novel tentang kamu, kak?"
Kak Dhery menghela nafas. Sementara aku menunggu jawabannya.
"Sebenarnya boleh, bahkan menggunakan nama ku. Jika suatu saat nanti. Kamu memilih untuk menjadi penulis. Usahakan mengaburkan beberapa hal yang terjadi. Supaya privasi aku dan kamu tetap terjaga. Meskipun cuma fiksi, cerita kita hanya separuh. Aku yakin bisa menyentuh hati pembaca.”
"Kenapa?"