Aku kembali membuka laptop, melanjutkan ketikan naskah. Sebenarnya, niat ku tahun ini harus menyelesaikan semua. Agar bisa fokus ke hal lain. Aku juga ingin bekerja, merasakan hidup seperti kebanyakan orang. Tapi kesehatan ku perlu waktu untuk pulih. Tentu saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan ketika menjalani masa perkuliahan sampai akhirnya gelar sarjana aku raih. Ada pemantik, sebuah buku dengan judul sederhana. Membuat ku tersadar, ternyata ada janji yang belum terselesaikan. Awalnya, hal itu bisa aku singkirkan sejenak. Tapi, dua tahun aku memiliki perang dalam pikiran dan juga hati. Kekhawatiran terhadap apa yang aku tuangkan dalam tulisan ini.
Belajar melepaskan dan mengikhlaskan. Ada salah satu alasan terkuat ketika keberanian untuk menuliskan kisah ini. Ada niat untuk melanjutkan dan segera menyelesaikannya. Sebuah kabar dari salah satu kakak kelas, membuat ku menyadari sesuatu. Kepergian dia yang tidak pernah ku sangka-sangka. Sosok itu membuat ku kagum saat pertama kali bertemu di acara PTA. Bahkan aku masih bisa mengingat cara dia menatap dan tersenyum. Begitu gagah ketika memakai baju seragam Pramuka lengkap dengan atributnya. Hatiku begitu gembira. Melihat dia memakai seragam itu, sempat beberapa kali kami berpapasan. Arni dan Nur tidak mengetahui hal tersebut, karena aku tidak pernah menceritakan rasa kagum ini. Sampai akhirnya, membiarkan semua itu abadi dalam tulisan. Aku sangat ingin dia membaca hasil tulisan ku. Mau bagaimana lagi, dia tidak akan pernah bisa aku temui di belahan bumi manapun. Rindu memang, aku mengatasinya dengan melihat beberapa foto dan mengingat beberapa potong memori yang terekam di kepala.
Bagaimana jika aku tidak bisa berjumpa lagi dengan orang-orang yang pernah aku janjikan. Tapi janji itu tidak pernah terwujud? Bagaimana kalau aku yang justru meninggalkan mereka semua?
*****
Kang Dhani hanya menampilkan satu buah lagu, kemudian duduk di sebelahku. Tentu saja, mata ku hanya fokus menatap layar laptop dan menerjemahkan peristiwa menjadi kalimat. Aku menoleh ke arahnya.
"Jangan pulang dulu ya. Setelah urusan saya dengan Hendra selesai. Ada hal yang harus saya sampaikan kepadamu."
Tentu saja, kalimat yang kang Dhani ucapkan mempengaruhi suasana hati. Jadi aku berhenti mengetik. Namun hanya sebentar saja, lagi-lagi batas waktu membuat ku kembali fokus. Bahkan, aku lupa makan. Kalau saja Opi tidak membawa makan malam di hadapan ku dan dengan paksa menutup laptop. Makan malam terlewatkan begitu saja, termasuk minum obat. Aku dengan terpaksa menuruti dan rasa kesal yang tentu saja terbaca dari ekspresi wajah. Opi berbisik kepada ku, mengingat tujuan. Berusaha untuk sembuh dan berdamai dengan diri sendiri.
Mereka sibuk berdiskusi, aku sibuk makan. Tidak ada rasa sama sekali, karena aku fokus dengan ucapan kang Dhani. Tiba-tiba saja, Handphone ku berdering. Mamak menelpon, bertanya saat ini berada di mana dan kapan pulang. Aku bilang, Opi bisa mengantarku pulang. Mungkin 3 jam lagi. Mamak menutup telponnya. Opi sudah dianggap sebagai keluarga, karena orang tua kami berteman. Aku sudah menyelesaikan ritual makan malam. Kang Dhani beranjak dari tempat duduk. Kemudian menemui ku. Satu tarikan nafas panjang terdengar.
"Saya mengetahui cerita tentang kamu dan dia. Tapi ada beberapa hal. Sepertinya butuh sudut pandang saya."
Baiklah, aku akan berusaha untuk fokus mendengarkan.
"Pertama, nama dia Dhery Hudarni Putra. Kedua, orang yang saya sebutkan tadi. Ada disini." Tentu saja aku terkejut. Langsung mencari sosoknya. Kang Dhani, malah menyuruhku duduk kembali.
"Saya belum selesai. Bisa dengarkan cerita saya sampai selesai. Shania Karmila?" Tangan ku saat ini dipegang kang Dhani. Saat ini aku hanya bisa menurutinya. Pikiran ku jadi kemana-mana.
Memang benar, aku sengaja memakai sebuah nama samaran. Aku tentu saja mengetahui nama aslinya. Nama yang tertulis merupakan hasil dari beberapa situs. Bahkan aku menambahkan tahun kelahirannya. Apa tujuan ku memakai data samaran? Banyak hal. Aku rasa tidak ada yang menyadari. Ternyata selama ini aku salah.
*****
Dhery dan Damar adalah dua orang yang selalu bersama. Mereka saat itu sudah duduk di kelas 6 SD. Beberapa hari masuk sekolah, dua anak laki-laki ini melihat seorang anak perempuan sedang sibuk melipat kertas origami. Terlihat tidak peduli, dia mungkin saja bosan. Harus menunggu di depan gerbang sekolah. Baru kali ini mereka melihatnya. Dhery melihat ke arah anak perempuan itu, memberikan beberapa komentar. Sementara itu, Damar tidak bisa berpaling melihatnya. Bahkan saat Dhery mengajaknya untuk berpindah. Damar menolaknya, membuatnya kesal. Peran dia sekarang digantikan dengan anak perempuan yang entah darimana datangnya.
"Mar, ayo main bola. Mumpung bolanya belum disimpan Bapak," ajak Dhery.
"Nanti dulu. Aku penasaran dia sedang membuat apa dari kertas itu," jelas Damar. Matanya tetap fokus memperhatikan anak perempuan itu. Dhery melihat anak perempuan, dia kesal dan marah. Baru kali teman dekatnya tidak berpindah tempat ketika diajak bermain bola.