Novel keempat ini adalah rajutan imajinasi yang berbalut cerita dari semua cerita yang pernah ia ceritakan padaku. Perkataannya malam itu bak panah yang menembus kerasnya perisai masa depan. Semenjak anak pertamaku lahir, rasanya diri ini telah berbeda. Aku bukan lagi perawan yang bisa ke sana sini sendirian, tanpa memiliki banyak pikiran dan tanggung jawab. Banyak waktu kuhabiskan bersama anak-anak sampai membuat novel ketiga dan keempat ini berjarak sembilan tahun.
Selama ini, aku tidak pernah berpikir untuk menulis lagi. Wajah anak-anakku telah menjadi dunia baru bagi hati yang kesepian ini. Entah bagaimana, tetapi rasa ini muncul begitu saja. Sepertinya pernikahanku tidak sebahagia yang ia harapkan. Masalahku dengan suamiku bukan terletak pada birahi. Ia juga tidak mendua atau melakukan hal yang aneh. Memang rasa ini muncul begitu saja dan perasaan ini yang mendorongku menulis lagi.
Suamiku paham dengan keinginanku. Diri mereka sangat bernilai di hati ini. Namun, yang lebih bernilai bagiku sesungguhnya adalah ia, sumber inspirasi dari ketiga novel sebelumnya. Selama menulis novel ini, aku berharap dengan menjadi dirinya, bisa memahami seperti apa alasan dibalik keputusan yang ia ambil. Imajinasi memang senapan otomatis dengan peluru tanpa batas. Sayang, masih tidak sanggup menembus alam pikirnya yang seperti rompi anti peluru paling keras. Rasanya sempat ingin menyerah dan menulis asal-asalan karena aku pikir ia tidak akan seperti itu.
Setelah banyak perjuangan, akhirnya selesai. Satu yang kusadari selama menulis tentang dirinya, benak ini terisi oleh kertas memori yang sering ia ceritakan. Wajahnya. Baunya. Entah bagaimana menjadi sangat nyata dan mengobati rasa kesepian di hati ini. Memang rasanya sangat absurd jika dibayangkan. Namun, sungguh mukjizat dewa dewi yang berbaik hati, ia terasa kembali ke sisi ini. Ia kembali hidup, bahkan kini telah kekal abadi. Sehingga suatu hari di masa tua dan aku mulai lupa, tulisan ini yang akan tetap menjadi jembatan di antara kami.