Cekungan mata tengkorak kurus yang terasa hidup di momen itu terus menatapku. Tidak tahu apakah ia juga menanti-nanti sama seperti diri ini dan bertanya-tanya apakah nama Indonesiaku yang berjumlah 19 huruf akan dipanggil ke depan. A-pa dan a-ma tidak ada, tetapi ada banyak teman di ruangan putih yang seputih rumah duka. Ayah dan ibu mereka juga tidak ada. Kami yang berkumpul di sana memang tidak didampingi orang tua karena pembagian rapor terakhir itu dilakukan secara terkhusus mengingat itu hari terakhir kami setelah enam tahun.
Langit sendu di luar jendela seakan-akan enggan berpisah denganku. Laboratorium IPA yang kami pakai saat itu posisinya dekat dengan jalan sehingga kalau ada orang gila yang sudah bersepakat dengan malaikat maut bermain knalpot besar-besar pasti terdengar menyakitkan. Bagusnya, saat itu suara alam, mulai dari kicauan walet sampai napas sekalipun, terasa lenyap. Semuanya hening, terbayang dengan tikungan kuburan Kelekak Saber yang membuatku merinding dan berkeringat dingin setiap kali diantar pulang malam-malam dari rumah pho-pho.
Pada waktu itu, aku pembenci berat film horor. Yang kurasakan sama horornya, bertanya-tanya apakah orang lain yang dipanggil ke depan, sedangkan aku hanya bisa melihat mereka dari jauh. Yang lebih horor lagi melihat wajah a-pa dan a-ma saat aku gagal membawa pulang piala emas yang pernah kupikir mungkin nanti bisa kujual karena “emas”. Untuk mendapatkannya sangatlah susah. Tidak mendapatkannya pun juga susah. Intinya, susah dan serba salah, terutama dalam mencari-cari alasan.
Suara sosok penuh budi yang sayang wajahnya telah kulupakan mulai berkumandang. Dalam bayangan sosoknya antara pria dan wanita, suaranya tersamarkan, tetapi jangan disangka waria. Bila soal budi, aku telah terbiasa dianggap tidak berbudi. Hal itu lantaran semakin berumur, rasanya semakin banyak saja yang dipikirkan, tetapi tiada yang tahu apa yang kupikirkan. Guru-guruku saja sudah banyak yang lupa dengan namaku. Semua kertas memori jaman SD perlahan-lahan tertimbun dan terlupakan. Bahkan, yang duduk di sampingku saja aku telah lupa siapa. Yang teringat hanya jendela sempit di dekat langit-langit, cat putih dan beberapa perangkat sains seperti bola dunia paddle pop, sebuah lemari coklat yang di atasnya terdapat kotak biru yang berisi alat-alat percobaan listrik sederhana, dan tengkorak palsu yang terus menatapku—bila asli, mungkin SD kami telah ditutup.
Suara sang sosok penuh budi memberikan pidato yang sebenarnya terasa biasa, tetapi aku mendengarnya dengan sangat khusyuk. Sejujurnya, banyak sekali pembicaraan monoton nan membosankan selama di upacara, misalnya, yang berusaha kunikmati seperti musik. Teman-temanku yang saking bosannya saja sampai mengobrol diam-diam. Namun, aku memaksa kuping ini terus mendengar. Dalam pikiran ini, aku adalah Einstein. Sugesti yang mengalahkan hipnotis kuberikan pada diri sendiri bahwa harus mendengar pidato tersebut. Bila ditanya paham atau tidak, urusan kedua. Paham dari segi kata, iya, tetapi tidak tahu apa tujuan dan guna ke depan. Pelan-pelan yang terbayang mulai berganti menjadi bayangan piala yang terus-menerus dan siapa yang akan menerimanya. Jadi, ketika guruku bilang bahwa sekarang kita akan mengumumkan siapa sepuluh murid dengan nilai ujian terbaik, rasanya jantung ini yang awalnya tenang-tenang saja langsung terpecut dan menggebu-gebu, melintas di pacuan.
Diriku bertanya-tanya apa namaku juga disebut? Aku harap ada dan harus ada. Di urutan berapa? Pertama, kedua atau ketiga? Aku merasa telapak tanganku sangat licin dan mencair seperti es batu. Gigi mulai bertubrukan seperti Indonesia sedang mengalami musim dingin. Perasaan itu semakin menjadi-jadi saat satu per satu nama mulai terungkap. Diam-diam wajah beberapa sainganku terpampang sedang duduk dan belum berangkat dari kursi. Rasa yang ada semakin tidak keruan. Itu seperti pertanda buruk. Kudengar mereka bertepuk tangan. Rasanya terlalu mencolok bila yang lain tepuk tangan, tetapi diri sendiri tidak ikut. Maka, sambil memaksakan diri tersenyum, kedua tangan ini bertepuk tetapi tanpa terdengar suara. Telinga menjadi tuli dengan sendiri.
Sembilan murid telah maju. Karena lebar laboratorium tidak mencukupi, empat dari mereka dengan peringkat lebih tinggi berdiri di depan, sedangkan sisanya di belakang. Empat di antara mereka sekelas denganku. Masih ada tiga langganan juara kelas sebelah yang belum maju, ditambah diri ini. Peluangku untuk maju sebagai juara satu semakin mengecil menjadi sepersembilan. Apalagi tanpa kusangka-sangka, suara sang sosok penuh budi memberi info dadakan bahwa tidak ada juara kedua karena nilai juara satu dan dua sama. Jika begitu, juara kedua yang telah maju tadi adalah juara satu. Seharusnya, bila guruku bilang sedari awal, mungkin detak jantung ini tidak akan sekencang saat itu karena setidaknya terasa lebih berpeluang dan membuat pikiranku lebih lapang. Namun, seperti sudah terlanjur dicekal film horor, aku terdiam, mendengar serangkaian nama yang tidak asing lagi. Jelas semua nama temanku tidak asing, termasuk nama sainganku, karena kami telah bersekolah selama enam tahun bersama dari yang awalnya asing menjadi saing.
Tepukan bergemuruh saat nama yang tidak asing itu berkumandang dan berjumlah 19 huruf. Aku melangkah maju sambil melepas senyum terlebar yang pernah kutebarkan. Rasa bangga yang kurasakan semakin berlipat apalagi melihat wajah para ayah dan ibu yang tahu-tahu telah menanti di depan pintu laboratorium yang terbuka. Kudapati wajah a-pa dan a-ma. Sayang, sekilas kedip, wajah mereka menghilang, berganti menjadi ayah dan ibu teman baikku. Kupegang piala yang setinggi diriku, piala pertama setelah enam tahun bersekolah. Suara sang sosok penuh budi ketika mengucapkan selamat dan memintaku mempertahankan apa yang telah kucapai masih terdengar jelas. Memori penuh kebanggaan itu benar-benar tercatat seperti kertas khusus berlabel emas yang sengaja dipisah dari tumpukan memori usang yang menyedihkan. Lalu, piala itu menjadi keran pembuka dari piala-piala pengerek derajat yang kuraih sampai SMA.
Teman-temanku dan para guru mulai berpulang, dan sekolah mulai sepi. Tersisih rasanya duduk di depan kelas bersama kekasih piala baruku. Tiada yang bisa kuajak berbagi betapa bahagianya diri ini saat itu. Aku berharap a-pak dan ku-ku, saudara a-pa, membicarakan betapa hebatnya pencapaianku karena mendapat juara satu. Tidak semua orang bisa. Orang-orang bilang masa terindah adalah masa-masa SMA, mulai dari daun persahabatan sampai api percintaan yang membara. Kita mulai berani mengutarakan rasa suka pada lawan jenis, lalu berpacaran, bahkan tidak jarang kebablasan. Sebagiannya memang pernah kurasakan, tetapi momen piala pertama juga terasa sama dan membayang-bayang seperti candu.