Memori Sonata

🕯Koo Marko✨
Chapter #3

Bab 1: Me (Bagian II)

Bayangannya menghilang begitu saja saat a-pa menjemputku. Cerita soal a-pa, aku tidak ingat seperti apa reaksinya begitu melihat piala pertama yang kubawa pulang. Yang aku pertanyakan sekarang bukanlah seperti apa reaksinya, tetapi kenapa aku justru tidak mengingat reaksinya padahal aku sangat berharap ia bereaksi? Kenapa kertas memori yang berisi ingatan itu tidak dilabeli emas seperti halnya pengumuman tadi? Pasti ada satu hal yang membuat ingatan tersebut tertimbun di bawah ingatan-ingatan yang menyedihkan dan itu yang berusaha kuingat. Mungkin bisa jadi reaksi tersebut tidak sebahagia yang kubayangkan atau mungkin saking bahagianya sampai aku lupa. Mungkin saja bila aku yang terlalu pikun untuk momen seindah itu. Mungkin aku yang menjadi bodoh dengan badan yang mudah capek ini.

Yang kuingat hanyalah potongan gambar saat kami sampai dan aku menaruh piala tersebut ke atas meja dengan perasaan yang coba kubayangkan kembali. Rasanya bangga, tetapi tidak sebangga yang kubayangkan. Sedikit tersamarkan. Hal ini berbeda dengan perasaan yang timbul saat mendengar kembali lagu lama yang kusuka. Seharusnya, bila perasaan bangga itu memang sebangga yang kubayangkan masa itu, kesannya akan terus melekat dan kertas memori yang tercatat akan dilabeli emas, ditaruh di tumpukan yang berbeda dan mencolok.

Hal ini berbeda dengan beberapa piala yang kudapatkan di hari-hari berikutnya. Ketika aku duduk di waktu senggang dan mulai memabukkan diriku dengan semua kenangan itu, yang paling berkesan ada dua, yaitu momen ketika berjuang dan ketika menerimanya. Aku ingat setiap tetesan keringat yang keluar, setiap senyum dan pujian yang mereka lontarkan. Puncaknya, sewaktu SMA ketika satu sekolah menjabat tanganku dan beberapa teman lain karena menjuarai lomba robot line follower dan lomba LLCM matematika. Percayalah aku bisa duduk seharian, hanya memabukkan semua itu. Itu adalah momen-momen yang paling kurindukan, seperti halnya momen saat mendengar tangisan pertama bayi pertama. Memang semua yang berlabel pertama selalu berkesan. Aku harap aku bisa hidup kembali di masa itu. Kejayaan, teman, pacar, semuanya seperti dalam genggaman. Aku merasa diriku seperti versi mini dari Bill Gates, Albert Einstein, dan Richard Feynman. Aku juga pernah merasa diriku adalah Don Corleone dalam film The Godfather yang suka memberi wejangan bagi teman-temanku yang bernilai jelek dan suka remedi. Sekarang bila kuingat-ingat untuk bisa seperti itu, perlu sepuluh tahun lebih, seperti dari SD ke SMA, dan jelas tidak pernah mudah.

Wilona tertarik dengan jejeran piala dalam lemari kaca yang terpampang megah di sekeliling pintu depan kantor sekolah. Setelah mengajakku berpindah dari taman, ia melihat-lihat semua piala tersebut. Dulu sempat terpikir tidakkah mereka takut piala-piala tersebut dicuri. Emas adalah harta yang berharga, bahkan a-ma sendiri tidak punya. Namun, selama ini, tidak pernah terdengar ada yang mencuri piala-piala tersebut.

Aku memulai semua piala emas yang juga tersusun di rumah dengan satu hal yang sebenarnya telah kulupakan, yaitu dari bodoh. Bila terlalu menyakitkan, kita perhalus menjadi tumpul. Aku hanya seorang bocah yang berotak tumpul dan tidak berkeinginan banyak, kecuali bermain dan makan. Valdy adalah adik laki-lakiku dan kami sering menginap di rumah pho-pho selama libur sekolah. Karena itu, sebagian besar kertas memori yang tercatat di sana isinya bermain saja. Bisa dibilang masa kanak-kanak yang indah, penuh dengan aktivitas motorik, yang bagus untuk perkembangan. Lalu, dari mana semua itu bermula? Mungkin aku harus berterima kasih pada sepupuku yang biasa dipanggil So-So. Dulu namanya sering bertengger di tiga besar, tidak sepertiku. Ku-chong dan ku-ku sangat membanggakan prestasi putri mereka.

Satu momen ... ketika itu di halaman samping rumah pak-me, istri dari kakak a-pa yang menghadiahkan tas spiderman, aku berdiri bersama sepupuku dan beberapa anak campur aduk yang wajahnya telah memudar. Matahari telah berpindah ke seberang dan kami bernaung bayangan. Di bawah pohon rambutan yang tumbuh rindang di belakang, kudengar ia bercerita bahwa saat itu ia sedang membuang air dalam kamar mandi rumah jiji-nya di Jakarta. Ketika menerima telepon dari ibunya, ia masih tidak tahu apa-apa. Ibunya bilang ia mendapat peringkat tiga dan ia sempat tidak percaya. Benarkah, ia bilang, lalu pecah euforia dalam ekspresinya yang riang. Ia menceritakan pada kami dengan sangat mengasyikkan seolah-olah momen tersebut hadir kembali. Sambil mendengar cerita itu, aku berujar dalam hati, pasti sangat enak menjadi sepertinya. Sayangnya, di lain sisi, aku hanya seorang anak ceroboh yang kalau salah langsung disedak omelan. Mana mungkin bisa menjadi sepertinya.

Di masa-masa itu a-pa dan a-ma terlampau dipandang sebelah mata karena penghasilan kami yang tidak sebesar para a-pak dan ku-ku. Yang satu manajer pabrik kayu. Duanya pengelola timah. Duanya lagi menetap di Malaysia dan jelas lebih ber-ada. Aku masih ingat sampai sekarang, sebab kertas memori yang satu ini juga berlabel emas, yaitu saat-saat aku dan para sepupuku berkumpul bersama di bawah pohon rambutan. Lalu, datang seorang kakek-kakek yang kupanggil “khiu-kung” dengan motor alfa ber-lis hijau, berbeda dengan a-pa yang ber-lis merah. Suara motornya pet-pret-pet persis seperti kentut, tetapi elegan dan seksi .... Aku harap kalian bisa membayangkan bagaimana kentut knalpot alfa yang melegenda. Ku-ku yang merupakan ibu So-So, sekaligus adik a-pa, menyapanya dan bilang suara knalpot khiu-kung masih bagus dan jauh lebih merdu daripada punya a-pa. Ia mungkin memakai kata yang halus, tetapi maksudnya tajam yaitu mengejek suara knalpot a-pa lebih jelek. Di hadapanku dan Valdy, ia mengejek seperti itu, yang terpikir olehku adalah apa maksudnya? Apakah ia merendahkan satu bagian yang berlabel a-pa? Tanpa motor itu aku dan Valdy tidak akan pernah bisa datang ke sana dan bermain. Lalu, memangnya kenapa kalau suaranya butut dan terdengar buruk? Memang hanya itu motor yang a-pa punya. Tidakkah ia takut aku akan pulang dan mengadu pada a-pa tentang perkataan itu? Tidakkah ia memandang kami di sana sebagai anak-anak a-pa? Jadi, aku tidak habis pikir kenapa.

Satu hal lagi, kertas memori lain berlabel emas. Ini terjadi di dalam kamar saat aku dan sepupuku habis mandi. Kami berpakaian di dalam kamar. Terdapat ranjang di sebelah kami dan pak-me duduk di atas. Sambil membantuku berpakaian, tanpa kuduga ia menyinyir, “Bong, sebenarnya ibumu menyimpan banyak uang di bank, tetapi ia tidak pernah berniat memakainya.”

Yang langsung kupikir adalah benarkah? Bila memang banyak, kenapa a-ma tidak berniat memakainya, malah meminjam uang, dan terkadang masih bertengkar dengan a-pa karena uang? Sambil berdiri dan mengingat semua itu lagi, mungkin saja ia berkata seperti itu karena melihat kami abang-adik sangat kurus seperti tengkorak. Tetap saja apa hubungannya sampai uang di bank? Dan dari mana ia tahu uang a-ma di bank sangat banyak? Memangnya, ia yang punya bank? Lalu, kenapa pula ia bilang seperti itu di hadapan anak kecil sepertiku saat itu? Apa ia berharap aku bertanya pada a-ma? Sampai sekarang aku tidak tahu kenapa. Aku hanya bisa berspekulasi bahwa itu hanya sekadar perkataan yang berbau adu domba. Hal yang aneh memang. Terlebih lagi ia istri dari kakak a-pa, alias pak-pak. Jika mereka sungguh keluarga a-pa, seharusnya mereka tidak akan pernah berkata seperti itu. Benar-benar gambaran yang berbeda dengan keluarga bos, tempat di mana aku pernah bekerja dan semuanya akan bermula. Hal ini juga bertolak belakang dengan pepatah cina yang mengatakan saudara itu ibarat tangan yang tidak bisa diputus. Mungkin ini tidak berlaku sebab persaudaraan a-pa seperti sosis.

Sebenarnya, biarpun pak-me berkata seperti itu, ada satu kenangan yang membuatku tidak bisa membencinya seutuh-utuh. Ia pernah memberiku hadiah tas spiderman pada hari ulang tahunku yang telah lupa sekian berapa. Namun, kebaikannya terus tercatat di dalam kertas memori berlabel emas. A-ma mengajakku ke kamar dan tahu-tahu hadiah tersebut sampai di tangan. Rasanya tas itu seperti muncul begitu saja. Bahkan, diri ini tidak pernah tahu tas seperti itu ada di rumah kami. Dari mana a-ma membelinya. Gambarnya bahkan membuatku bermimpi menjadi spiderman. Bila dibuka ada gambar spiderman lain dengan warna hitam menempel di depan kaca gedung pencakar langit dan terlihat bombastis. Spiderman adalah idolaku, bahkan sampai sekarang. A-ma tidak memberitahu hadiah tersebut dari siapa, tetapi di kemudian hari aku melihat tas yang sama dipakai oleh anak pak-me, Oji. Tarik kesimpulan, pasti ia yang membelinya. Tidak jauh. Lagi pula, kondisi keuangan a-pa dan a-ma juga tidak sanggup membeli tas baru. Di masa itu bila sudah berganti tas, rasanya seperti naik kelas.

Jika berbicara tentang kertas memori, memang tiada habis. Semuanya bertalian satu sama lain dan mungkin akan menghabiskan waktu seharian melamunkan semua itu. Namun, untuk apa aku melamunkan semua itu? Entahlah. Rasanya sangat menenangkan dan bebas seolah-olah dunia hanya menyisakan dirimu seorang. Banyak waktu kuhabiskan bersama Wilona biarpun orang lain memandang sebelah mata terhadap hubungan kami. Aku mengenal banyak perempuan. Banyak dari mereka berhasil menarik perhatianku. Jika disuruh memilih satu, mungkin sampai hari esok pun hasilnya belum ada. Diriku yang sekarang saja telah menunduk. Apa lagi yang bisa dipilih?

Perempuan ... mereka mendambakan hal-hal yang pasti, tidak seperti pria yang lebih suka bermain-main. Kami memanggilnya tantangan. Mereka juga suka pria yang pekerja keras dan sanggup menghidupi keluarga yang dibangun bersama-sama, meskipun terkadang ada sebaliknya. Kebanyakan seperti kata a-ma yang menusuk, “Memangnya dengan uang apa menghidupi putri orang lain?”

Ketika pertama kali keluar dari kurungan pengangguran, beberapa perempuan yang awalnya ragu denganku perlahan-lahan berpaling kembali secara diam-diam. Di momen itu A-ni telah hadir dalam hidup yang hambar ini dan menjadi saksi dari semua yang kulakukan. Karena ia juga, aku tidak bebas bermain-main dengan mereka.

Wilona saja tidak pernah memegang tanganku meskipun jauh dalam lubuk hati ini besar harapan bisa begitu. Penghalang moral dan apa-kata-orang yang membuatku berpikir ulang-ulang setiap kali berada di dekatnya. Itu bukan tentang diriku, melainkan nama baiknya yang seputih malaikat. Awalnya, kupikir ia sedang berkaca, tetapi ternyata ia mencari-cari namaku yang berjumlah 19 huruf di antara ratusan piala yang terpajang. Kubilang padanya, jelas tidak akan ketemu. Ia dengan penasaran langsung menebak bahwa semua ceritaku adalah bohong.

Sebenarnya, masalahnya bukan terletak pada benar atau tidaknya ceritaku. Namaku memang tidak ada di sana karena aku memang tidak pernah berprestasi selama di SD. Semua lomba yang pernah kuikuti selalu kalah. Bila menang pun, tidak pernah ada hadiah yang besar seperti uang atau piala. Puncak prestasiku, seperti yang telah kuceritakan, adalah saat di SMA, di mana mereka menjabat tanganku layaknya A-hok.

“Kalau semua itu benar, apa A-ni sungguh nyata bagimu, Ko?” tanya Wilona.

Matanya yang indah itu tidak pernah gagal membuatku terpana. Namun, pertanyaannya tadi benar-benar menjadi pelatuk yang memicu percikan api di dadaku.

Lihat selengkapnya