“Berani dak kau?” pantik Linda dalam logat Belinyu.
“Berani? Aku la lupa dengan kata tu. Lagi pula, misal benar, kujuang terus. Sebalik e, mungkin kau yang berani igek nanyo macam ni.”
Bos melihat kami berdua dengan tatapan aneh. Ia menggeledah seluruh badanku, tetapi hanya untuk membuktikan pembelaanku. Selanjutnya, ia menelepon istrinya yang menjaga toko kedua mereka. “Halo, Pao-pei. Tolong sini sebentar. Uang kita untuk bayar sales rokok tadi hilang di atas meja kasir dan aku perlu mengecek CCTV melalui hp-mu.” Ia terdiam sejenak menatap kami, lalu berkata lagi, “Iya, Pao-pei. Sales-nya menunggu di sini. Cepatlah.”
Posisinya memang ada sales rokok di samping kami, tetapi wajahnya telah lupa. Beberapa saat kemudian, mobil hitam berhenti di depan toko dan istri bos berjalan keluar. Ia mengeluarkan smartphone berlayar lipat yang terlihat mahal sambil bos menghampirinya juga.
“Bagaimana uang kalian bisa hilang o, Ko?” tanya istri bos dalam bahasa ibu. “Sudah kubilang jangan ceroboh. Uang itu jangan ditaruh sembarangan tempat.”
Mereka bertemu dan saling berembuk dengan ponsel di tengah, melihat rekaman CCTV. Bos beralasan tadi ia masuk ke dalam demi secangkir kopi karena pikirnya ada Linda. Sales rokok juga beralasan pergi menagih di toko sebelah dulu karena diminta oleh Linda menunggu istri bos yang membawa uang sisa. Lalu, alasan Linda lebih menyakitkan. Ia bilang ia sudah memanggilku sebelum pergi, tetapi sejujurnya tiada suara panggilan yang kudengar, kecuali kentut. Memang hanya tersisa aku dan Linda tersangkanya. Namun, semua alasan mereka seolah-olah semakin menguatkan tuduhan palsu yang membeban di atas diri ini.
Diam-diam kuperhatikan wajah Linda dan ia masih memasang wajah datar seakan-akan tidak memiliki kaitan. Itu mungkin bisa terjadi apabila mentalnya sekuat baja atau memang ia sungguh tidak terkait dalam kejadian itu sama sepertiku. Lalu, apa maksud ekspresi datarnya? Apa itu karena ia sengaja memanfaatkan momen sial tersebut sebagai kesempatan dalam kesempitan untuk menjatuhkan reputasiku? Bila begitu, dugaanku dari awal memang benar. Aku telah menduga bahwa Linda dengan raut wajah menjijikkan itu akan macam-macam denganku, tetapi sungguh tidak dengan cara tersebut.
Dalam pada itu, bos kembali ke hadapan kami. Ia melihat istrinya, lalu berpaling pada kami. Ia seperti hendak membicarakan sesuatu, tetapi malah kembali ke samping si istri dan membahasnya lagi.
Si istri bilang, “A-ko saja yang bilang padanya. Kenapa malah jadi aku?”
“Iya, iya,” jawab bos, lalu kembali menghampiri kami.
Kali ini, wajahnya mulai serius dan meminta Linda menjauh sebentar. Pembicaraan enam mata yang kukira, tiba-tiba menjadi empat mata antara aku dengannya. Pertama-tama, ia mengajakku ke gudang belakang, tempat menaruh stok indomie, popok, dan lainnya. Ia meminta maaf padaku dengan cara yang sedikit canggung. Lalu, bilang, “Tadi kami sudah periksa ... dan ternyata bukan Linda atau pun kau pelakunya. Sejujurnya, a-khiu percaya pada kalian, tetapi a-khiu hanya ingin memastikan. A-khiu juga tidak ingin kalian seperti itu. Ya?”
“Iya, tidak apa-apa, Khiu,” ujarku yang telah menduga hal tersebut. “Lalu, siapa yang mencuri uang itu?”
“Kami tidak tahu, tetapi dugaanmu tepat. Pelakunya orang luar.”
“Bagaimana bisa? Kenapa aku tidak menyadarinya?”
“Nah, itu yang mau a-khiu bicarakan, Bong. Pelakunya masuk saat kau sedang sibuk di belakang. Seharusnya, ketika Linda pergi mengantar barang, tugasmu adalah menjaga toko. Ia bahkan telah memanggilmu, tetapi kau tidak mendengarnya. Jadi, dalam hal ini kamu gagal.”
“Lalu?” Perasaanku mulai tidak enak.
“Maka, terpaksa kamu yang harus ganti rugi untuk sementara waktu. Gaji pertamamu akan kami potong sebesar uang yang hilang.”
Aku bahkan tidak tahu seberapa besar uangnya yang hilang. Sekarang aku diminta ganti rugi atas kehilangan itu? Bagaimana pun aku juga bekerja saat uang itu hilang. Memindahkan kardus, mengikat kardus, apa semua itu disebut kegagalan? Linda juga seharusnya bilang padaku bahwa ia akan keluar sejenak. Dengan begitu aku bisa berjaga-jaga.
Namun, aku tidak ingin memperburuk situasi. Bagaimana pun aku adalah karyawan baru dan mungkin saja bos sedang menguji diri ini. Baiklah, kuterima, tetapi tetap saja aku harus tahu berapa besar uang yang hilang. Bisa-bisa mati konyol kalau uang yang hilang lebih besar dari gaji pertamaku. Niat untung malah buntung.
“Sorry, Khiu. Memangnya, tadi uang di atas meja berapa?”
“Dua juta,” ujarnya yang seketika membuatku mati kutu.