Malam minggu, beberapa hari menjelang lebaran Idul Adha 2024, toko masih sepi. Dua rolling door yang sudah terbuka lebar saja masih belum sanggup mengundang pembeli. Perekonomian Belinyu benar-benar terguncang gara-gara insiden 127 triliun yang melibatkan A-on dan suami Sandra Dewi. Kata Yuri, biasanya sepuluh hari sebelum hari raya, meja kasir serasa tempat antrean sembako. Namun, saat itu hampir sama dengan kuburan. Apa yang menarik perhatianku dari insiden tersebut bukanlah angkanya yang fantastis yang katanya sanggup membuat Bangka Belitung menjadi Jakarta, melainkan putra Sandra Dewi. Tidak bisa kubayangkan betapa menderita anak mereka memiliki a-pa yang dicap sebagai koruptor. Besar dalam lingkungan serba ada, lalu dengan tiba-tiba semuanya direnggut begitu saja. Tiada lagi bodyguard yang senantiasa melayani. Makan tidak bisa disuapi lagi. Uang jajan pun harus dipotong. Kejatuhan mereka mengingatkanku dengan anak Pak A-Kun yang sekarang tidak lebih dari seorang lansia. Ia tidak layak disebut seorang ibu. Putranya di penjara karena memerkosa teman SMA sendiri. Bejat karena cara didik yang salah. Aib bagi keluarga.
Hal tidak biasa lainnya juga terjadi, yaitu bos mengizinkan Yuri pulang lebih awal. Ia dijemput di depan toko oleh seorang laki-laki berkacamata yang biasa ia panggil “Bapak Lukas”. Lukas bukan seorang om-om yang doyan perawan muda. Usia mereka hampir sebanding, hanya terpaut satu atau dua tahun. Kalau panggilan om-om, mungkin bos lebih tepat menyandang gelar tersebut. Ia doyan perawan muda seperti istrinya. Aku hanya berdiri di depan kulkas sosis beku, menyaksikan ia pergi sambil meledekku. Pikirku, ternyata karena itu, ia kemari tidak bawa motor. Wajarlah ... perempuan sepertinya pasti banyak yang suka, periang, dan mudah diajak bicara. Bos pun sangat menyukainya terang-terangan karena kerjanya selalu rapi dan tepat waktu.
Setelah mereka pergi, aku hanya berdiri menghitung jumlah motor yang berlalu. Banyak kulihat setiap motor yang lewat isinya berdua. Paling banyak perempuan bonceng perempuan. Beberapa dari mereka berhijab, beberapa lagi tidak. Di Belinyu bila melihat perempuan berhijab, jangan langsung dikira ia perempuan saleh. Perhatikan dulu baju atau gaunnya. Bila ketat, maka patut dipertanyakan kesalehan yang ia pakai di kepala. Mereka-mereka yang berhijab saling berboncengan dengan pakaian serba ketat itu tahulah mereka ke mana. Yang paling adem bagiku adalah melihat pasangan suami istri yang gaun dan hijab si istri seperti superman. Ini bukan pertanda bahwa aku pencinta ibu-ibu. Aku hanya kagum dengan kesetiaan mereka. Si istri menutup aurat demi si suami, sedangkan si suami menutup hati demi si istri. Memang indah, meskipun terkadang aku mendengar yang namanya poligami.
Aneh memang. Setelah kuamati terus, jarang ada pasangan cina yang lalu-lalang. Kebanyakan dari mereka selalu muslim. Aku tidak tahu kenapa. Barangkali orang-orang cina seperti kami yang memang pelit dan lebih suka di rumah. Di toko kami contohnya. Rata-rata pembeli yang kuamati hampir semuanya muslim yang biasa membeli sekeranjang penuh. Memang ada orang-orang cina seperti kami yang terkadang satu keranjang, tetapi hanya segelintir. Potensi untung jelas lebih sedikit.
Di antara semua produk yang di toko bos, susu bayi yang paling menarik sekaligus menyayat hati bagiku. Harganya rata-rata mahal, paling murah SGM, 17 ribu uang saat itu, tetapi hanya 150 gram. Aku berusaha membayangkan bagaimana kadar air hangat yang dipakai si ibu untuk mencampur susu bubuk, apakah lima banding satu, atau sepuluh banding satu. Dulu kata a-pa, kami seabang-adik keluarga dancow karena minumnya susu dancow. Pernah kami sampai mendapat hadiah kaset DVD yang berisi film tentang dongeng kuda putih dan dua orang sahabat. Salah seorang pemuda merawat si kuda putih yang ditemukannya terluka. Diam-diam si sahabat yang awalnya menertawakannya berusaha menukar si kuda putih dengan hadiah karena ternyata kuda itu adalah kuda raja yang menghilang. Si sahabat dengan tanpa perasaan mengklaim bahwa ia yang telah bersusah payah menolong dan merawatnya sepenuh hati. Melihat tingkah selicik si sahabat, emosiku terpancing. Ia benar-benar menjengkelkan bagiku. Bila sungguh bertemu dengan orang sepertinya, tidak akan kubiarkan ia hidup dengan mudah di dunia. Sekarang dancow sudah tidak seperti dulu lagi. Jadi, sedikit disayangkan.
Memang kalau sudah memilih untuk berkeluarga, itu artinya harus bersiap-siap bekerja lebih keras, apalagi bagi para pria. Jangan kira hanya tahu senang-senang di atas ranjang, lalu lepas tangan begitu saja. Tidak semudah itu, ferguso, kata anak-anak zaman kami. Jika sungguh semudah itu, semua pria akan memilih untuk berkeluarga saja. Barangkali, mungkin itu yang namanya cinta. Hal itu mengingatkanku dengan seorang tukang parkir. Ia telah tahu bahwa pendapatan tukang parkir tidak menentu seperti harga sembako yang cepat naik turun. Hidup sendiri saja sudah tidak mudah, ia tetap menikah dan memiliki satu atau dua hidup lagi untuk menjadi tanggungan. Dalam agama Hindu, dikenal istilah dharma, yang berarti setiap manusia dilahirkan dengan alasan tertentu. Tukang parkir tersebut menganggap ia dilahirkan untuk mencari tulang rusuknya yang hilang. Sempat pikirku apakah manusia juga dilahirkan dengan alasan reproduksi semata, seperti halnya kalajengking yang dilahirkan untuk menyengat. Apa pun jawabannya, kudoakan semoga Yuri berbahagia malam itu dengan Lukas. Aku harap Lukas bisa membawa motor dengan baik karena aku sedikit waswas sebab matanya ada empat. Takutnya agak susah memilih mana yang benar.
Sambil berdiri, aku melihat mereka datang lagi. Bukan Yuri ataupun Lukas, melainkan dua pelanggan yang kujuluki pelanggan garis akhir karena selalu datang di saat-saat hendak tutup. Mereka adalah ibu-anak. Entah memang mereka terlalu rajin atau terlalu malas, kuperhatikan baju tidur mereka selalu sama dari malam ke malam. Mungkin saja mereka punya stok banyak seperti barang-barang di toko kami. Setiap kali datang mereka selalu berdiam di depan rak biskuit seperti ayam yang mengeram. Ketika awal-awal bekerja, aku tidak terlalu memperhatikan mereka. Lalu, ketika malam itu, saat bos dan aku sedang sibuk melayani beberapa pelanggan sekaligus. Kulihat pandangan bos tiba-tiba keluar. Saat aku perhatikan, mereka telah keluar toko begitu saja sambil berbisik-bisik. Yang terlintas dalam kepalaku, mereka sudah bayar atau belum tadi. Kulihat wajah bos juga termenung sesaat sambil memegang plastik belanjaan. Sejak malam itu, kuputuskan bahwa setiap kali mereka datang, aku harus memasang mata. Memang rasanya tidak nyaman diawasi terus menerus, seakan-akan diri sendiri adalah pendosa. Salah mereka sendiri kenapa harus bertingkah aneh dan mencurigakan.
Kemarin mereka mengeram di depan rak sampo. Sekarang mengeram di depan rak biskuit. Mereka memegang-megang bungkusan biskuit kalpa, lalu membicarakan sesuatu dengan sangat lirih. Mereka tersenyum, lalu menaruh biskuit itu kembali. Apa yang lucu sungguh hanya mereka yang tahu. Setelah membuang banyak waktu di depan rak biskuit, mereka berjalan keluar dengan membawa sebutir telur ayam saja. Sebutir telur untuk waktu selama itu. Masih sangat aneh, bahkan setelah bertahun-tahun. Memang hampir setiap malam mereka seperti itu. Ibaratkan ayam, jumlah telur yang berhasil menetas tidak sebanding dengan waktu eram yang mereka buang. Habis beras, kalau kata a-pa. Meski begitu, harus kuakui si putri memang enak dilihat, tetapi jangan sampai tersenyum. Hancur seketika.
Pulang dari toko, selalu hampir jam sepuluh. Ganti baju, makan, terus duduk dan beristirahat di depan gambar Dewa Tertinggi dalam agama kami, rasanya seperti teman-teman muslim yang duduk menghadap kiblat sambil menatap lukisan Kabah, menanti kapan bisa berangkat ke sana. Aku pernah melihat lukisan seperti itu saat menginap di rumah kakak temanku yang muslim. Ajaibnya, kejadian itu meninggalkan selembar kertas memori yang berlabel emas. Di sana aku melihat secara langsung bagaimana mereka sekeluarga salat berjamaah dengan si suami yang merupakan kakak temanku sebagai imam. Aku dengan temanku yang kebetulan adik Yuri terdiam dan tidak berani bersuara. Anak mereka banyak, dan tentu tanggungan mereka banyak juga. Si istri seorang dosen di UBB, tebakanku, karena sebelum ke rumah mereka, kami menjemputnya di sana. Setelahnya, baru menjemput adik-adik kecil lucu yang ternyata dititipkan di tempat penitipan anak. Itu menandakan bahwa a-pa dan ibunya orang sibuk. Sibuk untuk menghidupi anak-anaknya yang semakin banyak. Mereka sangat baik karena mengajak kami makan malam secara gratis. Satu hal yang membuatku tidak enak hati sampai sekarang, yaitu saat bapaknya, alias kakak temanku itu, telah menggoreng telur dengan susah payah sambil menggendong anak untuk kami di pagi hari, tetapi aku dan adik Yuri baru saja selesai sarapan roti yang telah kusiapkan jauh-jauh hari. Ia menatap kami seakan-akan tidak menyangka. Mungkin bila kami bilang lebih awal, ia tidak akan menghabiskan satu atau dua biji telur yang seharusnya bisa mereka simpan untuk hari esok. Mungkin seharusnya kami terima saja kebaikan hatinya.