Memori Sonata

🕯Koo Marko✨
Chapter #7

Bab 3: Ri (Bagian I)

A-ma adalah wanita pertama dalam hidupku. Aku adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Katanya, akulah yang pertama kali dicium dan disayang. Kulihat album yang berisi kumpulan foto dirinya dan a-pa, pho-pho, jiji, dan beberapa keluarga dari pihak a-ma juga. Di album itu ada seorang bocil bugil dengan burungnya yang terbang berpose angka dua dengan senyum yang membuatku merinding dan tertawa di saat yang bersamaan. Siapa lagi bocil itu, kalau bukan yang sedang bercerita ini. Dulu aku bertanya-tanya sebenarnya siapa yang berani menjepret fotoku sevulgar itu. A-pa bilang, jiji yang melakukannya. Ibuku juga tiga bersaudara, dan semuanya perempuan. Jiji yang dimaksud a-pa adalah adik bungsu a-ma, dan telah kuanggap seperti ibu kandung kedua bagiku. A-pa bahkan bilang bahwa aku dipermainkan jiji di foto. Tidak heran, pikirku, senyumku terasa sangat mengerikan, mengalahkan film horor.

A-ma adalah orang Pesaren, daerah pesisir pantai utara Belinyu yang terkenal dengan ikan-ikan mereka yang super segar tanpa formalin. Ketika SMP, menetap di Belinyu, di rumah gedung yang terasa seperti tembok jeruji. Kakeknya, kupanggil “kung-thai” yang berarti kakek buyut, bekerja untuk sang pemilik rumah yang kami tumpangi sebagai pelebur karet. A-thai sendiri adalah ibu rumah tangga biasa yang memiliki sepuluh anak. Itu adalah kewajaran mengingat mereka adalah generasi baby boomers. Salah satu anaknya adalah pho-pho yang berarti nenek. Pho-pho dari pihak a-ma adalah anak sulung juga. Jadi, aku, a-ma, dan pho-pho, sama-sama bernasib sama, yaitu kumpulan para anak sulung. Pho-pho menikah dengan kung-kung dari Pesaren. Terlahirlah a-ma dan kedua jiji-ku.

Kung-kung adalah nelayan ulung yang jago berenang. Ia pernah menjuarai lomba renang dan membawa pulang penanak nasi dan beberapa sembako untuk pho-pho. Cerita itu adalah cerita kebanggaan a-ma yang kini menjadi kebanggaanku juga. Bisa dibilang kami adalah keluarga berprestasi, terutama dari pihak a-ma. Selain kung-kung, a-ma juga sering cerita tentang kung-thai. Kung-thai pernah bekerja untuk TTB, sebelum ada PLN. Ia sangat hebat dalam hitung menghitung dan sambung menyambung arus. Ketika ia bekerja sebagai pelebur karet, semua hasil leburannya sempurna tanpa cacat sedikit pun. Kehebatannya bahkan terdengar sampai ke telinga orang Singapura yang bekerja sama dengan pemilik rumah kami. Orang Singapura itu hendak menemui kung-thai, tetapi sayangnya tidak diberi izin oleh mereka, ayah-anak pemilik rumah kami. Aku pernah mencoba membayangkan apa yang akan terjadi bila kung-thai berhasil bertemu dengan orang Singapura itu. Apa roda akan berputar dan kami di atas atau justru baut rodanya kendor dan kami terus hidup dalam gelindingan roda yang tidak menentu, tidak pernah tahu.

Pesaren adalah daerah pesisir yang indah, dengan pemandangan perahu-perahu yang berbaris seakan-akan menanti jemputan. Salah satu kegiatan yang sering dilakukan pengunjung adalah menikmati aneka ikan bakar segar yang diambil dari ikan-ikan para nelayan dan dibakar langsung di tempat. Karena kesegaran itu, daging ikan sangat putih, empuk, dan sedikit manis, ditambah cocolan kecap rawit, dua piring nasi tahu-tahu berlalu. Berterima kasih pada para nelayan yang telah pergi malam pulang pagi demi ikan-ikan segar yang mereka nikmati. Sayangnya, keindahan Pesaren pernah memakan korban, yaitu kung-kung sendiri. Ia berangkat malam, tetapi tidak pernah pulang keesokan paginya, membuat a-ma menjadi anak yatim, juga membuatku tidak paham bagaimana rasanya memiliki seorang kung-kung. Hal itu karena kung-kung dari pihak a-pa juga meninggal jauh sebelum a-pa dan a-ma menikah, menyisakan sepasang pho-pho yang memperlakukanku sangat berbeda.

A-ma tidak pernah cerita banyak soal kung-kung. Aku pikir pasti karena ia tidak ingin mengulang kembali kejadian yang membuatnya menumpahkan air mata. Memang, segelas air akan terasa semakin berat bila dipegang berlama-lama. Rasa suka, sedih, dan sakit, juga berlaku sama. Di momen-momen suram beberapa tahun silam aku benar-benar berharap Alifah tidak memegang gelasnya terlalu lama.

Dari salah satu khiu-kung, aku baru tahu kung-kung pernah mengalami serangan stroke sebagian yang membuatnya bahkan tidak bisa memegang selembar kartu. Ia keluar Pesaren demi berobat sambil tinggal bersama a-ma di Belinyu. Setelah keadaannya membaik, ayah-anak pemilik rumah kami memintanya untuk jangan kembali menjadi nelayan lagi, tetapi ia tetap kembali. Kalau ia tidak kembali, mungkin aku akan paham bagaimana rasanya disayangi seorang kung-kung.

Istilah dalam keluarga Cina-Indonesia seperti kami sangat rumit dan dibagi menjadi dua, yaitu pihak ayah dan pihak ibu. Mulai dari yang paling sederhana, aku memanggil ibu dan ayah cukup dengan sebutan “ma” dan “pa”, tidak perlu seflamboyan seperti bunda atau ayahanda. Kakek dan nenek kupanggil “kung-kung” dan “pho-pho”. Karena keluarga cina termasuk keluarga patriarki, sebutan kakek dan nenek sebenarnya tidak sesederhana yang kusebutkan tadi, ada perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah. Dari pihak ibu, misalnya a-ma, seharusnya kupanggil “ngoi a-kung” dan “ngoi a-pho”. “Ngoi” sendiri bermakna sampingan atau tidak terlalu penting. Lalu, dari pihak laki-laki, seharusnya kupanggil, “cin a-kung” dan “cin a-pho”. “Cin” berarti sesungguhnya. “Cin a-kung” berarti kakek sesungguhnya. Dari pengertian kata sendiri terlihat jelas sistem patriarki dalam keluarga Cina-Indonesia. Kasihan, pikirku, kung-kung dari pihak ibu adalah kakek sampingan, mungkin seperti suku cadang dalam industri motor dan mobil yang jika tidak terpakai, dilupakan. Ini yang membuatku berbeda pendapat. Biarpun telah menjadi tradisi, tetapi aku lebih suka menganggap kedudukan mereka setara. Selain mempermudah, bagiku kung-kung dan pho-pho tetaplah kung-kung dan pho-pho. Mereka adalah sosok sebelum diri ini.

Untuk sebutan paman dan bibi, mungkin perlu kesabaran untuk memahaminya. Di sinilah faktor pihak ayah dan ibu paling terasa dan jujur juga membuatku terkadang pusing. Mulai dari pihak ibu, ambil contoh a-ma. Ia memiliki dua adik perempuan. Kupanggil sama dengan sebutan “jiji”. Kalau misalnya, a-ma memiliki kakak perempuan, maka kakak a-ma kupanggil “thai ji”. Terdapat penambahan kata “thai” yang berarti besar, bukan Thailand. Maksudnya adalah bibi perempuan yang lebih senior atau tinggi derajatnya. Kalau a-ma memiliki adik laki-laki, kupanggil “a-khiu” atau “khiu-khiu” yang artinya sebelas dua belas dengan paman, tetapi kata paman sendiri terlalu luas, tidak jelas ia paman dari keluarga mana dan tingkat seperti apa. Sebutan “a-khiu” adalah sebutan yang luas dan sering dipakai di luar hubungan kekeluargaan. Untuk bos, sebutan paman yang kupakai adalah sebutan ini, meskipun terkadang ia memintaku memanggilnya dengan sebutan “a-ko” atau kakak. Bila a-ma memiliki kakak laki-laki, maka kupanggil “a-pak” atau “pak-pak”, yang artinya juga paman, tetapi dengan derajat lebih tinggi, seperti sebutan “pakde”. Misalnya, nanti aku memiliki anak, maka anakku akan memanggil mereka dengan sebutan sama, hanya dengan penambahan kata “kung” di belakang untuk laki-laki, dan “pho” untuk perempuan. Contohnya, “ji-pho”, artinya saudara perempuan nenek dan “khiu-kung”, saudara laki-laki nenek.

Lihat selengkapnya