Memori Sonata

🕯Koo Marko✨
Chapter #8

Bab 3: Ri (Bagian II)

Itu hanya nasib, menurutku. Nasib yang sangat buruk, yang tidak hanya terjadi pada a-ma, tetapi impasnya juga padaku. Aku kehilangan banyak kertas memori dari umur nol sampai lima tahun. Semua yang kutahu adalah yang kudengar. Karena itu, kebenarannya juga semu, tetapi aku yakin a-ma, jiji, dan khiu-kung tidak mungkin mengarang seperti pendongeng. Yang benar saja karena hal itu berkaitan dengan hidup anak, keponakan, dan cucu keponakannya sendiri. Bila suatu hari sebelum aku mati, aku ditangkap karena telah meracuni keliarga thai-ku, khiu-kung, dan lainnya yang telah lansia dengan motif yang sangat sepele yaitu balas dendam sehabis teringat cerita a-ma. Sangat konyol dan tidak bertanggung jawab.

Berbicara soal timah, selembar kertas memori berlabel emas tertinggal di atas meja batin. Sampai sekarang aku masih ingat bagaimana a-pa yang berjalan masuk melalui lorong ruang tamu sambil membawa sebuah ember merah yang berisi pasir timah. Warna jaket plastik yang ia pakai pun masih melekat, yaitu merah. Bau a-pa seperti karatan besi. Aku dan adikku duduk mengelilingi ember sambil menyendok pasir-pasir hitam yang terasa sesap. Memiliki seorang ayah yang bekerja sebagai penambang, membuat kami kakak-adik sering bermain tambang-tambangan dari bantal yang disusun-susun. Rasanya sangat menyenangkan, apalagi nanti ditambah suara a-pa.

Kami sekeluarga tidur di dalam sebuah kamar yang sempit. Aku dan kedua adikku tidur di atas, sedangkan a-pa dan a-ma tidur di bawah. Dua ranjang dijadikan satu. Semua bantalnya kami susun panjang seperti kereta dan ceritanya itu adalah sa-kan, tempat para penambang mencuci dan memisahkan pasir timah mereka dari pasir biasa. Biasanya, terbuat dari papan, sedangkan punya kami dari kapuk. Suara air mengalir perlahan terdengar. Sebuah selang yang terpasang di ujung sa-kan, menyemprotkan air hitam, yang langsung kami sambut. Aliran pasir timah menari-nari melalui sela-sela tanganku. Rasanya seperti tarian suku Osage bersama semburan minyak dalam film lawas Killers of the Flower Moon. Bagi para penambang, setiap butir pasir timah yang sangat kecil, seperdelapan milimeter, sangat berharga layaknya nyawa mereka.

Aku dan para sepupuku pernah berjalan-jalan langsung di sebuah tambang timah milik a-pak dan suk-kung. A-pak yang kumaksud adalah kakak kedua a-pa, sedangkan suk-kung adalah pemilik rumah tempat dulu a-pa dan a-ma pertama kali berjumpa. Rasanya seperti mengembara di dunia lain. Selain itu, rasanya juga seperti hidup dalam cerita Nabi Musa yang berkelana di gurun pasir dengan sebatang tongkat ketika ia dikejar-kejar oleh Firaun. Aku bahkan memegang sebuah kayu, meniru Musa. Pasir di bawah kaki adalah pasir putih yang menyilaukan mata. Untuk mencapai sa-kan mereka, kami berlima, termasuk adikku, harus menyeberangi jembatan kecil yang terbuat dari tiga batang kayu. Jarak kami tidak lebih dari setengah meter karena jalan setapak untuk ke sana bersebelahan dengan kolong. Ujung jembatan tidak terlalu jauh dan hanya perlu waktu singkat, serta dua langkah saja buat menyeberanginya.

Namun, saat itu, yang terlintas dalam benakku adalah bagaimana bila kayunya patah saat kuinjak atau badanku kehilangan keseimbangan. Di bawah jembatan adalah parit yang langsung menyambung dengan kolong di kiri dan kanan. Aku tidak bisa melihat seberapa dalam parit tersebut karena airnya sangat keruh seperti susu kental manis yang diberi lelehan kabung. Bagaimana jika ada buaya menanti di bawah sana. Aku juga tidak bisa berenang. Bila terjatuh siapa yang akan menolongku. Semua pemikiran itu menghantui seperti bisikan iblis Kulihat mereka telah menyeberang, sedangkan aku masih menanti dengan bimbang. Ingin rasanya aku mengatakan aku tidak bisa, lalu berjalan kembali ke pondok yang kami singgah tadi, padahal sa-kan mereka mulai terlihat dari tempatku berdiri. Mereka juga memintaku bergerak cepat. Memang terdengar enak dan gampang, tetapi dengan cara apa.

Setelah berpikir sejenak, aku baru teringat dengan kayu yang kupegang. Dengan kayu itu, kupastikan kedalaman parit yang hanya sedengkul orang dewasa, seperti dengkul a-pak. Menemukan hal itu, membuatku sedikit lega. Aku mundur mengambil ancang-ancang. Terlalu berisiko, pikirku, menyeberangi tiga batang kayu yang telah dilewati empat anak dengan badan gempal. Maka, setelah mengambil ancang-ancang, aku berlari kecil. Jembatan tersebut langsung tertinggal di belakang hanya dengan sekali tumpuan. Seumur hidupku aku benar-benar dibuat bimbang kalau disuruh menyeberangi jembatan kayu. Alasannya sederhana, karena itu kayu, berbeda dengan beton. Begitu melewati jembatan tersebut, kami kembali mendaki bukit pasir yang menggunung, lalu menikmati pemandangan pasir putih yang meluas, tanpa ada pohon, kecuali tiga kolong yang berwarna kuning keemasan. Jauh di sebelah kiriku, adalah jalanan aspal yang biasa orang lalui.

Sekarang tambang tersebut sudah tidak berfungsi lagi dan dialihkan menjadi lahan sawit. Kehidupan timah a-pa juga tidak bertahan lama karena perlahan-lahan mulai tidak menghasilkan. A-pa bangkrut dalam kebangkrutan. Dengan modal pinjaman dua juta dari thai-ku Malaysia, ia membuka bengkel radiator dan beroperasi hingga saat ini. Kalau ditanya berkembang atau tidak, aku pikir bengkel a-pa seperti berjalan di tempat, bahkan setelah beroperasi sebelas tahun. Ada sesuatu yang kompleks yang menyebabkan tidak berkembangnya bengkel a-pa. Di lain tempat, orang-orang lain yang membuka usaha dengan waktu selama itu sudah mampu membeli satu mobil, entah itu avanza atau fortuner. Aku pernah menghabiskan waktu hanya untuk memikirkan hal tersebut. Jawabannya, kembali pada perilaku a-pa. Ia masih suka membeli togel, merokok, dan dulu a-ma dan a-pa pernah berutang dua puluh juta hanya karena alasan sederhana yang menurutku sangat konyol, yaitu untuk membayar orgen tunggal dalam acara ulang tahun pho-pho yang ke berapa telah kulupa. Rasanya terlalu menyesakkan bila terus mengingat kebodohan mereka. Itu bukan ulang tahun sama sekali bagiku. Itu hanya sebagai ajang untuk menunjukkan pamor, bahwa lihatlah aku, aku bisa menyumbang ini dan itu.

Ini bukan berarti aku mengatai a-ma dan a-pa yang bodoh atau salah satu dari mereka bodoh sehingga yang satu hanya menurut. Aku pikir, mereka pasti terpaksa, mengingat semua kakak a-pa dan beberapa adiknya adalah orang ber-ada. Jadi, timbul semacam dorongan dalam diri a-ma dan a-pa untuk bisa menjadi seperti mereka. Membayangkan hal tersebut, benar-benar membuatku berharap mesin waktu ada dan aku akan kembali menyadarkan mereka. Sayangnya, seperti kata Einstein, tiada makhluk di bumi yang bisa melampaui kecepatan cahaya, sedangkan kunci kembali ke masa lalu adalah melampaui kecepatan cahaya.

Lihat selengkapnya