Memori Sonata

🕯Koo Marko✨
Chapter #9

Bab 4: So (Bagian I)

Cacat mental adalah cacat fisik dalam batin. Lebih baik cacat fisik, daripada cacat mental, menurutku. Pemikiran ini muncul setelah tadi sore sebelum sampai di SD, kami saksikan seorang pengemis tanpa kaki duduk di depan wisma yang dulunya kantor pos. Pengemis itu dengan sendiri membuka kembali selembar kertas memori. Dulu saat masih bekerja dengan bos, kusaksikan sebuah kejadian yang membuat sisi kemanusiaanku terpanggil. Sekitar jam empat lewat, aku sudah berada di toko dan sedang menata galon. Yuri sedang melayani pelanggan di kasir. Sebuah bus berhenti di depan toko. Sudah biasa, pikirku, karena depan toko kami menjadi tempat penurunan penumpang, padahal di seberang toko adalah terminal. Tidak apa-apa, barangkali ada penumpang haus atau lapar, silakan mampir di toko kami.

Aku berjalan ke dalam tanpa memedulikan bus tersebut dan memerhatikan barang-barang di rak sambil mencari kerjaan. Ketika berjalan ke depan kasir, kudengar Yuri dan seorang ibu paruh baya bercerita tentang seseorang yang biasa pulang dari daerah Pugul. Penasaran, jadi kudengar pembicaraan mereka. Si ibu paruh baya yang berhijab beralasan, “Bukannya aku tidak ingin mengantar, arah kami tidak sejalan.”

Yuri menyahut perkataan si ibu. Pada saat yang bersamaan aku mendengar suara anak-anak berteriak. Dari meja kasir aku mengamati sekeliling toko. Yang terlintas di benakku pasti anak wanita yang sedang berbicara dengan Yuri. Kutunggu-tunggu, tetapi anehnya kenapa ibu itu diam saja, bahkan menoleh pun tidak. Pemikiranku berubah. Pasti anak orang lain. Suaranya juga terdengar dekat.

Dalam pada itu, si ibu paruh baya kembali berkata, “Kasihan beh.”

“Benar, Bu,” sahut Yuri. “Terkadang tidak ada yang mengantarnya.”

Si ibu sambil berbelanja, kembali menyahut perkataan Yuri. Aku semakin penasaran dengan suara yang barusan kudengar, ditambah dengan seseorang yang mereka bicarakan. Di tengah toko kami terdapat tiga rak panjang. Di depan kasir ada sebuah rak yang berisi sembako mulai dari kopi sampai tepung. Di belakang rak tersebut ada rak lagi. Mungkin di sana, pikirku. Aku memutari rak tersebut, tetapi tidak terlihat seorang anak pun, kecuali biskuit dan minyak goreng. Di sebelah rak kedua, masih ada rak ketiga yang berisi perlengkapan kebersihan rumah. Jangan-jangan di sana. Kembali memutari rak, tetapi sosok anak itu tetap tidak terlihat. Aku telah berkeliling di dalam toko, tetapi tidak menemukan seorang anak pun. Jangan-jangan di luar.

Ketika melewati rak biskuit, aku berpapasan dengan ibu tadi yang sedang memegang plastik hitam cap ikan mas menuju meja telur. Saat melihat si ibu itulah, tanpa kusangka kulihat sesuatu yang membuatku mematung di tempat. Bukan hantu, melainkan manusia. Kita jelas tahu tangan manusia kodratnya seperti apa, tetapi tangan kanannya terlipat ke belakang. Badannya kurus, dan ia seorang wanita berhijab. Beberapa saat kemudian, baru kusadari kaki kirinya juga tidak normal dengan posisi telapak bawah menghadap ke belakang. Ia memikul tas besar yang terlihat lebih berat dari tangannya sendiri. Dengan tangan kanan yang masih normal ia berusaha memberhentikan mobil dan motor yang berlalu-lalang. Ia berteriak, persis seperti suara yang kuingat. Tiada yang menghiraukannya. Ibu tadi menoleh padaku. Sebelum ia berkata, aku telah menebak apa yang hendak ia katakan. Aku mengangguk lebih dulu, sebelum ia berkata, “Kasihan.”

Cukup lama aku mematung di belakang kulkas sosis beku dan melihat wanita itu. Ia terus meneriakkan satu kata dengan suaranya yang juga abnormal, “Um-pang!” dengan tangan melambai-lambai.

Sebuah motor akhirnya berhenti. Seorang perempuan muda melihatnya. Ia yang pikirku pasti sangat senang melihat seseorang bersedia menolongnya langsung mendekati perempuan tersebut dengan buru-buru. Cara jalannya bukan seperti orang biasa, atau kakek nenek yang lamban. Ia melompat, membuat pikiranku terdiam sejenak. Si perempuan yang hendak memberi tumpangan bahkan langsung menambah gas dan meninggalkannya sendiri. Ekspresinya setelah itu benar-benar membuat sisi kemanusiaanku bangkit. Ia menatap kekurangannya sendiri, lalu melihat ke arah motor tersebut pergi, dengan kepala sedikit teleng.

Belinyu adalah kota kecil yang seingatku tidak banyak berubah dari aku berumur lima atau enam tahun sampai sekarang, berbeda dengan Jakarta. A-pa pernah bilang di Jakarta beragam manusia dapat ditemukan. Jangan pernah percaya dengan apa yang kita lihat. Hanya karena kakinya buntung, bukan berarti ia pantas dikasihani. Aku paham a-pa telah banyak memakan asam garam dan memang ada benar juga perkataannya. Sayangnya, tidak mungkin semua orang sama. Ibarat pepatah, jangan hanya karena nila setitik rusak susu sebelanga. Hanya karena kita sering melihat kepalsuan, bukan berarti mematikan sisi kemanusiaan kita? Ekspresi wanita itu benar-benar murni dan aku yakin. Kemurniannya sama seperti seseorang yang diberi kejutan ulang tahun dan juga seseorang yang tiba-tiba mendengar kabar duka tentang kematian anaknya sendiri. Ia pasti bertanya-tanya apakah perempuan tadi pergi karena kaki dan tangannya yang cacat atau karena cara ia melompat. Perempuan yang telaah menghilang itu juga keterlaluan. Aku tidak tahu hatinya terbuat dari apa. Memang mengejutkan melihat manusia yang telah biasa berjalan tahu-tahu melompat seperti pocong. Akan tetapi, kenapa seorang perwira yang melompat-lompat karena kakinya tertembak peluru justru dianggap biasa. Bila jawabanmu adalah karena peluru tadi, maka hatimu sama dingin dengan perempuan tersebut. Ingatlah, peluru adalah ciptaan manusia, sedangkan manusia adalah ciptaan Tuhan. Biarpun agama kita berbeda, derajat kita sama di mata-Nya.

Aku berjalan kembali ke samping kasir karena tidak sanggup melihat pemandangan yang menyayat hati. Berulang kali ia berteriak meminta dengan susah payah, tetapi setiap motor dan mobil yang coba ia hentikan berlalu dengan begitu mudah. Takdir memang tidak adil, membuat ia hidup dalam kondisi menyedihkan, sama seperti aku yang terlahir dalam kondisi susah.

Aku bertanya pada Yuri dalam bahasa ibu, “Ce, memang benar ia selalu seperti itu?” Dengan panggilan “ce” yang berarti kakak perempuan.

Yuri mengangguk sambil memperbaiki posisi masker. Ia terlihat seakan-akan telah terbiasa dengan keabnormalan wanita tersebut. “Beberapa kali aku sering melihatnya.”

Lihat selengkapnya