Memori Sonata

🕯Koo Marko✨
Chapter #10

Bab 4: So (Bagian II)

“Ce, kau terus memintaku ke sana, ke mari, ujung-ujungnya jam 5. Barang bisa diambil nanti malam dengan motor a-khiu, sedangkan bila ia pulang kemalaman, aku takut ia terkena masalah.”

“Biasa memang ada yang mengantarnya,” jawab Yuri. “Kau tidak perlu khawatir.”

“Coba A-ce jadinya. Orang lain melihat A-ce seakan-akan sangat takut dan menjauhi A-ce. Perasaan A-ce bagaimana? Ini bukan hanya masalah asing atau tidak asing. Bagiku, ini adalah masalah hati dan aku benar-benar tidak sanggup melihatnya, Ce. Nanti bila a-khiu atau a-ce mencariku, bilang saja aku yang paksa A-ce. Kumohon, Ce. Kali ini saja. Lain kali, bila aku melihatnya lagi, aku akan pakai vario-ku.”

Sewaktu memelas, aku mencari beragam alasan demi meluluhkan hati Yuri. Namun, semakin berkata, aku merasa seperti berkaca. Hal itu mengingatkanku kembali dengan diriku sewaktu SMP. Pada masa-masa itu aku menjadi sangat tertutup. Setiap kali melihat kerumunan orang, aku merasa semua mata mereka tertuju padaku. Rasanya sangat mengintimidasi, seakan-akan aku terlihat berbeda dari mereka. Dulu aku gemuk dan memiliki pantat yang besar, sehingga terlihat bohay untuk seorang laki-laki. Rasanya seperti banci saja dan aku merasa malu dengan hal itu.

Kalau kubandingkan dengan si wanita abnormal yang sedang berteriak meminta tumpangan, jelas aku kalah total. Dalam dunia sepakbola mungkin kekalahan paling memalukan, yaitu 149:0. Kekurangannya jauh lebih besar dan menyayat hati dari yang hanya sekadar obesitas biasa. Aku yang saat itu bahkan telah kurus dan tidak perlu khawatir dengan tubuh sendiri, tetapi kertas memori yang tercatat tetap terpampang seolah-olah dipeniti dan terus mendorongku untuk menolongnya. Hal yang sama juga terjadi sewaktu ia ditinggal pergi hanya karena cara jalannya yang melompat-lompat, padahal saat itu ia telah bersiap-siap naik. Rasanya sama terpukul seperti diriku yang merasa hidupku akan sukses dengan segala piala yang kudapatkan, tetapi dengan kejam semua itu direnggut gara-garaku dan lingkunganku sendiri. Ia sama sepertiku yang tidak bisa memilih mau dilahirkan di keluarga seperti apa dan dengan kondisi seperti apa. Namun, hebatnya ia telah memilih spidol non-permanen dan mengubah nasibnya sendiri. Bila ia tidak memilih mengubah nasib sendiri, ia pasti akan menjadi diriku yang mengurung diri selama empat tahun, tidak pernah keluar dan melihat dunia yang beragam ini. Maka dari itu, bagaimana pun caranya aku harus mengantarnya pulang.

Yuri terdiam setelah mendengar perkataanku. Ia merogoh saku, lalu membiarkanku memegang tangannya. Saking buru-buru tadi, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih. Kuambil motor, memasukkan kunci, dan saat hendak memutar gas, ia berteriak dari dalam, “Ingat ya! Semua ini salahmu!”

“A-ce tenang saja!”

Saat sampai di hadapan si wanita abnormal, ia tampak terkejut. Badannya tersentak sambil ia menunjuk dirinya sendiri. “Um-pang?” tanyanya yang terlihat seakan-akan tidak percaya. Matanya yang berkaca-kaca memendar cahaya. Rasanya keputusanku telah benar meskipun nanti istri bos mungkin memarahiku. Sampai sekarang ingatan tentang reaksinya masih sangat hidup dalam benak. Aku tidak pernah melihatnya lagi. Pasti ia telah menjadi lansia sama seperti khiu-khiu dan lainnnya. Melihatnya untuk terakhir kali saat itu, benar-benar membuatku teringat kembali dengan kejutan tas spiderman yang kuterima saat ulang tahun. Di momen tersebut, aku yakin tidak akan ada orang yang menyelamatiku karena kondisi keuangan a-pa dan a-ma tidak cukup untuk mengadakan pesta, apalagi menghadiahkanku sebuah hadiah, bahkan kue ulang tahun saja. Pikirku, semuanya akan berjalan dengan monoton seperti biasa, lalu berlalu begitu saja.

Kami melaju dengan cepat. Ia menunjuk jalan sambil mengatakan sesuatu yang tidak jelas kudengar. Telingaku mendesir karena angin. Aku pikir ada apa. Ia bahkan menepuk-nepuk pundakku. Pikirku saat itu, jangan-jangan ada yang ketinggalan atau benda jatuh. Kulambatkan motor dan mendengar baik-baik ia berkata, “E-lan,” terus berulang-ulang.

“Maaf, Bu, tapi nanti aku ada kerjaan. Jadi, harus cepat.” Sambil berkata, aku memerhatikan wajahnya dari spion.

“Oh,” ujarnya yang tampak paham sambil angguk-angguk. “Ati-ati!”

Sehabis meminta maaf, kami kembali melaju dengan cepat. Kami hanya melambat bila arah yang ditunjuknya adalah belokan. Aku bukanlah Rossi atau Marquez, yang kalau oleng masih bisa berdiri dan tidak terluka sama sekali. Masalahnya ia di belakang. Kalau oleng, diri kami menjadi odeng, sejenis makanan korea, bagi belatung di bawah tanah.

Dengan arah yang ia tunjuk aku menyadari bahwa kami sedang melaju menuju pelabuhan Mantung. Begitu sampai di tugu nakhoda, ia memintaku berbelok ke kiri, ke arah jalan menuju Pantai Batu Dinding. Kondisi jalan penuh dengan lubang dan gundukan tanah kuning, membuatku tidak bisa melesat seperti tadi.

Sambil memutar setang motor, aku menanyakan sesuatu yang telah kupendam sejak awal, yaitu kenapa ia sangat buru-buru ingin pulang. Bila sebelumnya aku tanya, mungkin suaraku hanya akan terbawa angin. Bila ia jawab pun, mungkin yang kudengar juga desiran angin. Dengan kondisi motor yang melaju santai, kudengar ia dengan terbata-bata menjawab pertanyaanku, bahwa ibunya sakit dan karena itu ia pulang. Bila hari biasa, ia tidak akan peduli bila harus pulang malam-malam, tetapi untuk kali itu ia benar-benar harus segera pulang. Tidak lama setelah ia menjawab pertanyaanku dengan kasihan, ia menepuk-nepuk pundakku dan bilang, “Enti!” terus berulang-ulang. Kulihat dari spion seorang perempuan kecil berlari keluar dari teras sambil berteriak histeris, memanggilnya, “Bun!” Rem kugenggam, dan motor berhenti, sedikit lewat. Rumahnya kecil dan bertembok semen polos. Halaman depannya berpasir gersang dengan pot-pot lidah buaya.

Dengan bantuan bahuku ia turun. Lalu, saat menoleh ke belakang, ia yang melompat-lompat langsung bertemu, berjongkok, dan berpelukan dengan perempuan kecil yang memanggilnya bunda. Dari wajah dan badan, mereka tidak mirip sama sekali. Jika begitu, mungkin mirip sang ayah atau bisa juga hubungan mereka hanya sebatas keluarga angkat. Aku bukan meremehkan kondisinya yang abnormal sehingga membuatnya kesulitan mendapat jodoh. Kenyataannya, membesarkan anak tidak semudah yang dibayangkan, apalagi dengan kondisinya yang serba kekurangan. Ia bisa hidup bebas tanpa tanggungan asal ia mau bila memang putri tersebut adalah anak angkatnya. Hebatnya, ia memilih anak tersebut. Sungguh jalan yang terjal, tetapi begitu sampai di puncak, alam akan tertawa dan menangis bahagia.

Berbicara tentang keluarga angkat, semua itu berhubungan dengan nasib. Ada sebuah keluarga di lingkungan agamaku yang anak angkatnya terkena kasus menghamili anak orang, bahkan menjadi narko-boy. Ada juga anak angkat dari keluarga maha kaya yang gudang bisnis keluarganya tidak jauh dari rumah kami, sukses meneruskan usaha orang tua angkatnya. Seorang senior tingkat 2+ di tempat ibadah kami bahkan pernah berceramah tentang seorang anak berbakti yang membangun jembatan demi si ibu angkat. Apa yang senior itu maksud adalah terkadang hubungan anak dengan keluarga angkat bisa sama bahkan jauh lebih dekat daripada hubungannya dengan keluarga kandung. Keluarga kandung bahkan terkadang akan terasa asing dan penuh gejolak, seperti yang terjadi pada keluarga a-pa. Dalam cerita super lawas yang berjudul Legenda Pendekar Pemanah Rajawali, diceritakan salah satu toko antagonis Yang Kang, seorang keturunan pejuang, membelot pada negeri sendiri karena terjebak dalam kasih sayang si ayah angkat yang merupakan pangeran Dinasti Jin. Cerita tersebut benar-benar terkenal di China, bahkan telah diadaptasi dalam berbagai drama secara berulang-ulang. Memang begitulah magis cerita. Tidak lekang biarpun oleh waktu. Terlepas dari kandung atau angkat, kedekatan mereka benar-benar membuatku berharap bisa memilikinya sebagai ibu. Terakhir kali a-ma memelukku adalah sewaktu mengambil rapor pertama di SMA dan saat itu mendapat rangking pertama. Setelahnya, aku tidak pernah ingat ia pernah menyentuhku karena hubungan kami sempat perang dingin.

Si wanita abnormal berbalik ke hadapanku sambil menggandeng tangan si anak. Ia mengajakku masuk ke dalam. Bila bukan karena waktu, aku pasti akan masuk dengan senang hati. Sayangnya, tugasku sebagai manusia telah selesai. Saatnya kembali ke rutinitas sebagai makhluk pekerja. Ia menanggapi keputusanku dengan ucapan terima kasih dan meminta anaknya melambai-lambai. Setelah semua yang pernah kualami, pandanganku terhadap anak-anak berubah total. Mereka adalah entitas paling lucu di muka bumi, mengalahkan anak kucing, dan terlalu polos untuk dicemari. Mereka berani di waktu bersamaan dan penuh rasa ingin tahu. Aku berharap bisa melihatnya lagi lain waktu. Maka dari itu, sebelum pergi, aku bilang padanya bila nanti ia tidak memiliki tumpangan, aku selalu ada di toko dan bersedia mengantarnya lagi. Karena terburu-buru, aku sampai lupa bertanya siapa namanya.

Lihat selengkapnya