Memori Sonata

🕯Koo Marko✨
Chapter #11

Bab 5: Na (Bagian I)

Pho-pho bilang setiap kali melahirkan, seutas urat di kepalanya putus. Itu artinya ia telah kehilangan sembilan urat gara-gara melahirkan. Jadi, ketika Wilona bilang ia tidak sabar lagi menjadi seorang ibu dengan penuh semangat, aku langsung teringat dengan perkataan pho-pho.

“Niat yang luar biasa,” kataku.

“Tentu saja!” jawabnya.

Sebenarnya, perkataan pho-pho tidaklah benar. Memang melahirkan adalah hal yang paling menyakitkan di dunia bagi setiap perempuan. A-ma pun berkata melahirkan kami tidaklah mudah jika memakai cara normal. Demi lahirnya sang buah hati, setiap ibu dituntut untuk mengerang semaksimal mungkin. Erangan yang begitu kuat tersebut terkadang sampai membuat mata gelap. Bayangkan saja kamu sedang mengangkat sesuatu yang sangat berat. Rasanya urat kepala kita, terutama di sekitar pelipis dan dahi, menegang seperti tali yang seakan-akan hendak putus. Mungkin itulah yang dirasakan pho-pho sampai ia mengatakan hal demikian.

A-pa adalah anak kelima dari sembilan guci investasi yang pho-pho lahirkan. Menganggap anak sebagai investasi adalah penganut paham banyak anak banyak rezeki. Suami pho-pho, kung-kung, jago dalam nge-biang atau tatung. Nge-biang sendiri bermakna membiarkan dirinya dirasuki sosok dewa atau dewi dalam kepercayaan Kong Hu Cu. Mantra cina akan dinyanyikan, lalu aksi pun dimulai. Bagi yang melihat dengan mata telanjang, mereka terlihat seperti manusia gila yang berlakon sana-sini. Bagi yang bermata batin, mungkin akan bisa melihat sosok dewa atau dewi tersebut. Tumbuh di lingkungan biang secara tidak langsung mendoktrin diriku untuk percaya dengan semua itu. Pikirkan saja, bagaimana bisa seorang kakek-kakek memanjat tiang kalau bukan dirasuki oleh dewa monyet, Sun Go Kong. Aku pernah cari tahu lebih dalam tentang Sun Go Kong sendiri. Ternyata, Sun Go Kong pertama kali muncul sebagai karakter dalam novel legendaris, Perjalanan ke Barat. Bila Sun Go Kong sungguh dewa, itu artinya sang penulis novel adalah Tuhan. Tradisi adalah hal yang patut dilestarikan, tetapi bila tradisi itu justru membuat pikiran kita terbelenggu, aku pikir tidak perlu dilanjutkan lagi. Aku tidak bisa membuktikan nge-biang itu benar-benar ada atau tidak. Hanya saja, bila aku tidak bisa membuktikannya, bagaimana bisa meyakinkan orang lain? Hal-hal yang tidak terlihat semacam itu memang sulit dibahas.

Kembali pada kung-kung, berkat nge-biang, ia dikenal sebagai tokoh masyarakat yang terpandang karena kemampuannya dalam meramal togel sampai tembus tujuh angka. Bayangkan saja, tujuh angka. Dulu 100 ribu untuk empat angka saja setara dengan 200 juta, apalagi tujuh angka. Daripada kung-kung membocorkan nomor tersebut pada orang lain, kenapa ia tidak membocorkannya saja pada istri, anak, atau keluarganya yang lain, atau bahkan dirinya sendiri. Dengan begitu a-pa akan menerima wasiat yang besar, bahkan bisa untuk membuka SPBU. Tiada yang tahu jawabannya karena kung-kung telah meninggal, dan bila menceritakan tentang orang yang meninggal, jauh lebih mudah karena tidak perlu pertanggungjawaban. Cukup sedikit dikarang saja, semua orang pasti akan percaya. Bila tidak, kepada siapa harus mencari kebenarannya, sedangkan yang dibicarakan saja telah berpulang pada Yang Maha Tahu. Dulu aku sangat bangga dengan reputasi bahwa kung-kung adalah peramal togel. Sekarang aku harap reputasi kung-kung dikenal sebagai juragan sembako saja.

Memiliki reputasi, kelihatannya tidak cukup bagi kung-kung untuk membesarkan anaknya dengan baik. Satu anak lebih dulu meninggal karena kecerobohan dua putranya yang kupanggil a-pak gara-gara rebutan mengayun sarung goyang. Tersisa delapan yang ketika dewasa sangat mudah tercerai-berai. Aku punya seorang a-pak, namanya Pak A-kun. Di malam tahun baru imlek saat kelas dua, ia menjadi donatur utama yang menyumbang puluhan kardus petasan mahal yang sekali ledak, selesai. Bila aku menjadi a-pa dan memiliki kakak sepertinya, hidupku pasti akan bahagia. Dulu orang pernah bertanya kenapa ia rela memubazir uang demi petasan mahal daripada membangun rumah untuk a-pa. Dijawabnya, begitu pulang dari Parit Lima, ia bisa menghasilkan lebih banyak uang lagi. Ia pernah berjanji untuk membangun rumah a-pa dari atap nipah, tetapi aku masih besar di rumah orang lain. Alasannya adalah dilarang oleh istri sendiri.

Dari cerita a-ma, a-pa tidak pernah meminta demikian. Namun, pada akhirnya mereka justru menghina a-pa. A-ma yang menikahi a-pa mau tidak mau juga harus menanggung penghinaan tersebut. Mereka harus terima dipandang sebelah mata dan dianggap seperti lintah.

Lihat selengkapnya