Pada awal-awal ketika memutuskan untuk belajar animasi, aku sempat kesulitan mengasah kembali kemampuan gambar yang kumiliki sejak kecil. Otakku telah terbiasa dengan angka selama delapan tahun dari SD kelas empat sampai lulus SMA. Seni, seperti gambar dan lukisan, sangat bertolak belakang dengan angka. Angka itu pasti, sedangkan seni adalah interpretasi. Letak keindahannya bukan pada jawaban akhir atau solusi, tetapi pada emosi.
Namun, di momen-momen sulit tersebut A-ni selalu hadir. Tidak mudah menjadiku yang melalui hari tanpa bantuan seorang pun, dan menghadapi tekanan batin luar dalam. Kamarku bahkan terasa seperti penjara. Aku selalu berkeringat bila tidak mampu menghasilkan gambar yang indah seperti dalam bayangan. Yang terlintas selalu anggapan bahwa aku tidak cukup baik, bahkan tidak layak lagi untuk menggambar. Kehadirannya benar-benar mengubah semua pandangan tersebut. Karena hobinya yang hadir tiba-tiba, aku sempat mengira ia adalah arwah yang mungkin kebetulan melihat penderitaanku. Ia juga sering muncul dalam mimpiku. Di mimpi-mimpi itu kami berjalan-jalan ke beberapa tempat. Senyumannya selalu sukses menawan hatiku yang sebatang kara ini. Bila bisa, aku rela hidup selamanya dalam mimpi-mimpi tersebut asalkan ia ada di sana.
Ia pernah membisikkan sesuatu di samping telingaku dan membuatku menitikkan air mata. Semua orang pasti pernah berbuat dosa. Tiada yang sempurna bahkan hal tersebut adalah hasil cetakan robot yang paling presisi sekali pun. Akan tetapi, bagi A-ni, ia percaya bila seseorang melakukan dosa dan orang itu sadar dengan dosa tersebut, maka ia bisa berubah. Hal itu yang ia bisikkan padaku. Setelah momen pencerahan tersebut, aku mulai meyakinkan diri saya sendiri, bahwa apa pun hasilnya, terima dengan lapang dada karena itu adalah bagian dari proses. Animasi bukan hanya tentang hasil, tetapi juga proses. Gambar yang bagus, lukisan yang brilian, patung yang terasa hidup, film yang menyentuh, semua itu memerlukan proses yang panjang dan tidak mudah. Jadi, nikmati prosesnya dan percaya semakin sering aku mencoba, aku akan semakin bisa.
Meskipun gambar yang kuhasilkan semakin lama semakin bagus, tiada yang tahu, kecuali kami berdua. Aku masih belum mau menunjukkan pada dunia saat itu. Pikirku, meskipun gambar telah membaik adalah hal yang patut diapresiasi, tetapi tujuanku adalah animasi. Aku beri target pada diriku dalam setahun kemudian semua orang, termasuk keluarga a-pa, harus melihat kebangkitanku. Di momen-momen tersebut yang sebenarnya adalah awal dari lembah terjal yang akan segera kujumpai, mereka selalu bertanya kenapa aku memutuskan untuk berhenti kuliah. Jika mereka benar-benar peduli, mereka pasti akan memberiku solusi. Sayangnya, setelah kuceritakan alasanku, mereka hanya menyayangkannya. Dari sana aku melihat mereka murni sekadar ingin tahu mengapa anak sepintar diriku tidak lanjut kuliah. Rasa ingin tahu yang seharusnya hal baik malah terasa menyakitkan. Beruntung, aku tidak menceritakan alasan yang sesungguhnya. Kubilang pada mereka, bahwa alasanku tidak melanjutkan adalah karena ingin merawat a-ma yang sakit. Dengan sendiri diriku menjadi tertutup karena menganggap mereka bukanlah tempat yang layak untuk mencari jalan keluar. Bagiku, mereka terlalu mementingkan diri mereka sendiri. Sungguh tidak bisa kubayangkan rumah bagi masa kecilku yang penuh dengan hura-hura akan menjadi garis depan dari perang pamor dan keegoisan.
Menjelang ulang tahun pho-pho yang ke-85, kedua thai-ku dari Malaysia pulang bersama keluarga. Mereka pasti mendengar a-ma sedang sakit dan memutuskan untuk berkunjung. Aku sendiri tidak mendapat kabar apa-apa sebab kunjungan tersebut sangat mendadak. Sambil menggambar bersama A-ni, kudengar suara mereka. A-ma memanggilku keluar untuk menyapa. Setelah keluar, aku duduk di samping a-ma dan menyaksikan mereka berbicara. Mau tidak mau, aku harus melakukannya karena mereka adalah kakak a-pa.
Satu hal yang kusuka dari menggambar adalah membawaku kembali pada masa kanak-kanak yang menyenangkan, masa di mana aku tidak pernah mengkhawatirkan ke depannya akan menjadi seperti apa. Cukup jalani seperti air dan nikmati bagaimana sapuan angin, kelokan sungai, membawa sampai ke lautan. Setiap goresan pensil yang dihasilkan dengan perasaan tersebut pasti akan sangat stabil, indah dan penuh imajinasi. Alasan kenapa aku menjadi mudah berkeringat saat gambarku tidak sesuai dengan bayangan juga karena kurangnya perasaan tersebut. Maka dari itu, kusimpulkan, bahwa untuk bisa menggambar dengan baik, aku perlu menjadi seperti anak-anak yang tidak takut apa-apa dan suka bereksplorasi.
Sayangnya, umur semakin bertambah dan menuntutku menjadi dewasa. Aku mulai sadar, bahwa untuk menjadi dewasa, kita harus belajar berpura-pura. Ada kalanya di mana semua hal sedang tidak baik-baik saja, tetapi kita harus tersenyum. Ada kalanya di mana kita tidak peduli sama sekali, tetapi harus menangis. Menjadi dewasa adalah tentang berpura-pura dan hal itu yang membuatku tidak terlalu percaya dengan perkataan para thai-ku yang sedang mengunjungi a-ma kala itu.
Mereka juga bertanya kenapa aku tidak melanjutkan kuliah. Bila kujawab alasan yang sesungguhnya, aku juga bertanya-tanya apakah mereka akan menyekolahkanku? Mungkin saja kepedulian mereka hanya sekadar pura-pura untuk terlihat sebagai manusia dewasa dan kakak ipar yang baik. Kudengar dari a-ma, mereka juga bertanya kenapa a-ma tidak mau berobat di Malaysia? A-ma tidak mau. Alasannya, mereka hanya mengajak, tetapi tidak menawarkan bantuan. Memang kita tidak bisa menerka maksud orang secara benar karena keterbatasan yang kita miliki sebagai manusia. Menurutku, bila memang seseorang itu peduli, maka ia akan peduli kapan pun waktunya. Bila mereka sungguh peduli dengan a-ma, maka seharusnya mereka peduli sejak awal dan tidak menganggap a-ma sekadar pembantu atau adik ipar yang tidak ber-ada. Sekarang mereka pasti telah belajar dari kebangkrutan kakak mereka, Pak A-Kun, dan mulai menghargai orang-orang di sekeliling yang tidak memiliki apa-apa. Pasti mengerikan rasanya saat semua kebahagiaanmu direnggut satu per satu di depan mata. Hal itu yang mereka hindari.
Namun, tetap saja sebagai anak, aku berterima kasih atas kedewasaan mereka. Sayangnya, mereka dewasa terlalu lambat. Kalau tidak, mungkin kondisi a-pa dan a-ma akan membaik dengan bantuan mereka dan a-ma tidak akan berakhir seperti sekarang, menjadi segunduk tanah yang tidak akan bisa melihat masa depan anaknya lagi. A-ma memilih untuk mengalah pada nasib yang ia tulis sendiri, alih-alih menulis ulang, seperti mengajak cerai a-pa atau pergi membawa anak-anaknya. Menurutku, itu adalah hal yang heroik meninggalkan seseorang yang tidak cocok, bahkan beracun bagi diri sendiri. Jangan buta hanya karena kesetiaan sebab orang yang merusak dan meracuni hati kita juga setia pada keegoisannya.
Sebenarnya, saat mereka bertanya a-ma sedang sakit apa, a-ma juga berbohong bahwa ia menderita penyakit jantung, sama sepertiku yang berbohong demi merawatnya. Bila a-pa dan a-ma bercerai, aku akan memilih a-ma, meskipun a-pa adalah pabrik uang. Alasanku sederhana yaitu a-ma lebih sering “ada” daripada a-pa di segala kondisi. Agak memalukan, bila mengakui aku anak mami karena ke mana-mana lebih suka ditemani a-ma. Pernah sekali ketika a-ma mengantarku gunting rambut, si tante salon langgananku bercanda bahwa aku anak mami. A-ma tersenyum dan meladeni candaan si tante. Memang lucu, pikirku saat itu. Kenapa kejadian itu tidak berulang-ulang saja. Aku rela diledek anak mami lagi asal bisa melihat a-ma kembali.
A-ma memang pernah kembali setelah ia meninggal. Aku sempat tidak percaya bahwa arwah seorang yang telah meninggal akan kembali mengunjungi keluarga yang ia tinggalkan. Menurutku, semua itu hanya proyeksi atau pancaran rasa duka keluarga yang terbawa-bawa sampai ke mimpi. Mungkin juga itu yang terjadi padaku. Ketika a-ma meninggal, hanya aku dan Valdy yang pulang dari Jakarta menjadi saksi. A-pa sedang keluar mencari bantuan. Saat ia kembali, yang tersisa hanyalah air mata. A-pa berlari ke halaman tengah rumah kami dan berteriak-teriak seperti orang gila meminta Dewa Tertinggi dalam agama kami membawa a-ma kembali. Sayangnya, Dewa Tertinggi terlalu sayang pada a-ma dan membenci kami, sekumpulan binatang yang tidak memahami penderitaan a-ma yang telah terpendam selama puluhan tahun. Aku berada tepat di samping a-ma dan merangkulnya. Meskipun telah kupanggil berkali-kali, ia tetap tidak merespons. Bibirnya terbuka dan gigi palsunya menyangkut di rongga mulut. Kepalanya sudah tidak bertenaga lagi. Adik dan a-pa menangis terisak-isak di hadapan kaki a-ma, tetapi aku tidak tahu harus merasa apa. Dadaku murni hampa karena itulah pertama kalinya aku melihat seseorang meninggal. Rasanya tidak menakutkan seperti dalam film horor, juga tidak se-melodramatis film korea. Aku masih bisa berbicara dengan orang lain saat mereka mulai berdatangan satu per satu ke dalam kamar. Kulihat wajah mereka murung, terutama khiu-kung penjual sayur yang memang sangat dekat dengan a-ma. Dulu mereka sering bercanda, bahkan di kemudian hari saat memperingati hari keseratus a-ma meninggal pun, ia tetap mengajak a-ma bercanda, pada gundukan tanah. Jiji, sepupu a-ma, sampai menangis terisak-isak. Belum lagi adik bungsuku yang baru dijemput dari sekolah. Semua orang terdiam, melihatnya yang terus menangis di hadapan a-ma yang tetap diam. Aku sendiri saat itu masih belum sadar bahwa aku juga menangis jauh, jauh di dalam lubuk hati yang terpencil dan tergembok. Segelas air gula sampai kusebut air teh. Bayangkan saja, segelas air gula dengan air teh yang warnanya as berbeda, tetapi masih salah kukenali. Saat semua orang berangkat ke rumah duka, aku kembali untuk mengambil beberapa pakaian ganti. Begitu pintu kamar dibuka kembali, saat itulah aku melihat a-ma sedang duduk di pojok ranjang seperti biasa dengan kaki kanan terlipat di atas ranjang dan kaki kiri terjuntai ke bawah. Sambil mengangkat kepalanya, ia tersenyum. Lalu, untuk terakhir kali berbicara padaku, “Kau akhirnya datang.”
Sungguh tiada niat bagiku untuk membayangkan sosok a-ma waktu itu. Memang kata Nabi Muhammad SAW, kita harus berlapang dada menerima setiap kehilangan. Aku telah berusaha keras untuk selapang mungkin. Sayangnya, gembok kecil yang mengunci palung hatiku hancur dan membuat semua air mata yang telah kutahan tanpa kusadari membludak dan membanjiri mata. Di satu saat aku menangis. Di lain saat aku tertawa. Kegilaanku memuncak dan kuluapkan dalam satu teriakan tanpa suara yang masih kutahan-tahan. Pada momen itu, A-ni hadir dan mengobatiku dengan sebuah pelukan. Ia memintaku untuk berhenti menangis.
“Aku tidak bisa,” ujarku dalam hati dengan putus asa.
“Kuatkan dirimu!” ujarnya. “Kau tidak bisa menangis karena adikmu membutuhkanmu.”