Memori Sonata

🕯Koo Marko✨
Chapter #13

Bab 6: Ta (Bagian I)

Ketika a-ma sedang sakit, aku merelakan kamarku untuknya sebagai tempat istirahat. Ia tidak bisa tidur di kamar lain bersama a-pa karena kasur mereka yang berbahan kapuk tidak rata, berbeda dengan kasurku yang berbahan busa. Malam-malam aku dan A-ni, setiap kali a-ma masuk kamar, akan keluar dan menghabiskan waktu di depan TV sampai larut malam. Jam dinding di seberang kursi yang telah panas dan di atas gambar Dewa Tertinggi dalam agama kami tidak berdetak seperti jarum pada umumnya. Gerakannya halus dan tidak bersuara. Rasanya sangat tenang memiliki jam yang tidak berdetak sehingga tidak sering mengingatkan kita dengan waktu yang terus terbuang. Aku bisa mengulur waktu selama mungkin yang kumau, tetapi akibatnya tidak akan setenang yang kukira, apalagi saat itu aku sedang dikejar-kejar deadline sebuah lomba animasi yang kuikuti. Jadi, sesekali agar tidak kehilangan waktu, aku terus melihatnya.

Aku telah mencapai target dalam mengasah kemampuan animasi. Satu tahun telah berlalu dari 2021 menjadi 2022. Saking cepat datangnya 2022, membuatnya terasa sangat menakutkan, apalagi melihat diriku masih terjebak di kondisi yang sama. Diriku yang sekarang dan diriku yang dulu telah paham bahwa semua proses membutuhkan kesabaran. Mungkin ada yang berbuah dalam seminggu, tetapi juga ada yang sampai bertahun-tahun. Seperti bos yang sampai sekarang belum memiliki anak. Ia selalu bilang “belum” karena ia yakin pasti ada masanya meskipun lama.

Namun, tetap saja terkadang bayangan mengerikan bahwa dirimu tidak akan menjadi apa-apa terus menghantui. Rasanya seperti terbawa kembali pada masa SMP di mana aku merasa semua orang melihatku dengan tatapan beda. Aku seperti makhluk lain yang kalau tidak kuliah dicap sebuah kegagalan. So-So, putri ku-ku, adik a-pa, adalah teman seangkatan satu SMA. Kami sama-sama lanjut kuliah, tetapi hanya ia yang berhasil lulus. A-pa beberapa kali memintaku kembali melanjutkan kuliah. Sungguh ia sangat peduli dengan masa depan anaknya. Hanya saja, bisakah ia membiayainya? Aku tidak bisa terus terang seperti itu meskipun aku sangat mau. Aku juga ingin mengecapnya sebagai ayah gagal yang lebih mementingkan kesenangan sendiri, yaitu rokok dan togel alih-alih masa depan anaknya. Sayang seribu sayang, aku tidak bisa, tetapi aku juga tidak bisa menjawabnya. Aku hanya diam dan mengabaikan perkataan itu. Kuanggap yang ia katakan hanyalah basa-basi yang telah lama basi.

Sambil menghadapi tekanan batin tersebut, aku memberanikan diri mengikuti lomba animasi. Hadiahnya besar, yaitu tablet gambar merek Huawei yang dilengkapi sistem operasi Windows. Tenggatnya sepuluh bulan. Memang waktu yang lama untuk durasi minimal satu menit. Sayangnya, perangkat yang kupakai hanya ponsel usang yang hampir penuh memori layaknya kepalaku. Aku tidak memiliki laptop atau tablet seperti teman-teman yang lain. Aku tidak pernah meminta untuk dibelikan semua itu meskipun aku sangat membutuhkannya. Aku lebih rela mengorbankan semua keinginan tersebut demi sebungkus rokok agar a-ma dan a-pa tidak bertengkar. Semua tabunganku memang habisnya di sana, demi menjaga kerukunan dalam keluarga sebagai pelaksanaan sila kelima Pancasila—kemanusiaan yang adil dan beradab.

Aku perlu hadiah tersebut untuk memulai freelance animasi. Bila hanya berbekal ponsel usang yang ujung-ujungnya digadai oleh adikku, mungkin aku tidak akan bernapas sama sekali. Saat memulai, aku langsung dihadapkan dengan rintangan pertama, yaitu tanda air atau markah aplikasi yang kupakai. Aku tidak memiliki modal untuk berlangganan. Akan tetapi, bila tanda air atau markah tersebut tetap ada akan terlihat sangat jelek dan merusak suasana. Rasanya seperti menemukan setumpuk kotoran yang menjijikkan di taman bunga.

Namun, dengan cara apa aku menghilangkannya? Aku mencari situs yang bisa menghilangkan tanda air di google dan yang pasti bisa beroperasi di ponsel. Dapat, tetapi hasil uji coba tidak memuaskan, bahkan terlihat jelek. Bila tetap tidak menemukannya, pikirku, aku tidak akan pernah bisa memulai. Sambil memegang pensil dan berpikir, aku berbaring di atas pangku A-ni dan memperhatikan wajahnya dari bawah.

“Ni, kau punya ide untuk menghilangkannya?” tanyaku dalam hati sambil menatap matanya yang menyipit.

“Coba pikir lagi,” jawabnya. “Barangkali ada yang kau lewatkan.”

“Barangkali ada yang kulewatkan,” renungku dalam hati.

Sejenak kemudian, ia kembali bertanya, “Ketemu apa yang kau lewatkan?”

“Apa yang kulewatkan? Maksudmu situs-situs atau yang mana?”

Lihat selengkapnya