Di sisi lain, animasi yang kukerjakan semakin molor dari target. Pemikiran suram yang telah lama kupendam kembali bebas dan menghantui. Aku merasa dari hari ke hari animasi yang kubuat semakin jauh dari lintasan. Dengan segala waktu yang telah terbuang jelas sangat menyakitkan. Bila saja aku bisa mencurahkan semua fokusku sejak memulai animasi tersebut, tentu hasilnya tidak akan seperti itu. Sayangnya, a-ma justru sakit dan memotong banyak waktu dan membuatku bertanya-tanya, bila berbakti kepada orang tua akan berdampak baik, kenapa yang kurasakan justru sebaliknya?
Saat itu, a-ma bahkan menjadi seperti anak kecil. Setiap malam sekitar jam sepuluh, ia pasti memanggilku ke dalam kamar untuk menggosok punggungnya sampai ia tertidur. Bila tidak, aku harus menemaninya terus. Sangat menyakitkan rasanya melihat animasiku yang terbengkalai. Tangan rasanya gatal, tetapi mulut tidak sanggup mengutarakan maksud paling dalam. Lambat laun aku muak mendengar suara a-ma yang memanggilku. Rasanya terlalu tidak adil mengingat masih ada adik bungsuku. Aku yakin a-ma memilihku karena aku yang paling pendiam. Berbeda dengan kedua adikku yang kalau tidak mau, langsung bilang tidak mau. Aku juga ingin seperti itu, tetapi tidak bisa. Aku tidak bisa berhenti kalau tidak ia minta. Jauh di dalam lubuk hatiku aku masih menganggap hal tersebut sebagai budi seorang anak pada sang ibu.
Sering bergadang membuat fokusku semakin berkurang. Aku menjadi sangat ceroboh. Rasanya seperti menjadi mayat hidup. Setiap kali melakukan kesalahan, aku akan membayarnya dengan sebuah tamparan keras dan memaki diriku tidak berguna dalam hati. Aku dan A-ni menjadi sering bertengkar. Ia memintaku untuk berhenti dan mengancam meninggalkanku, tetapi aku tetap bersikeras dengan prinsipku. Aku percaya disiplin yang keras akan membawa kesuksesan, sedangkan ia justru melihatnya sebagai sesuatu yang terlalu berlebihan dan tidak berhati. Ia menganggapku hanya melukai diri sendiri. Bukannya memperbaiki, justru semakin memperburuk. Animasi yang kuhasilkan semakin buruk dan tidak sesuai bayangan, ibarat mobil yang keluar lintasan.
Menyadari hal itu, membuatku menangis malam-malam di ruang TV. Aku bertanya dalam hati, “Apa yang telah kulakukan, Ni? Kenapa menjadi sejelek ini?”
“Sudah kubilang sejak awal, tetapi kau tidak percaya,” ujarnya sambil menatapku.
Aku merasa seperti gelandangan yang tidak berguna ditatapnya. Ia kembali bilang, “Sekarang kau tidak punya jalan mundur. Banyak waktu telah dihabiskan. Perbaiki apa yang bisa diperbaiki. Lebih baik daripada tidak sama sekali.”
Aku terus mengiakan sarannya sambil menangis dalam pelukannya yang hangat. Berkat dirinya, aku bisa merangkak kembali dengan perlahan dan menyelesaikan animasi tersebut. Pada akhir Desember 2022, animasi telah selesai dan siap diwarnai. Selama itu, badan a-ma semakin kurus, bahkan membuat para a-pak, pak-me, ku-ku, yang berkunjung kaget setengah mati. Benar-benar tidak bisa dibayangkan a-ma yang dulunya gemuk menjadi sedemikian kurus hanya dalam tiga bulan. Sebelah payudaranya telah hancur dan penuh koreng hitam, tetapi kata si pak haji, a-ma mulai sembuh. A-ma pun terlihat yakin dengan hal itu.
Aku bertanya dalam hati, “Ni, apa kau melihat harapan dalam kondisi mama?”
Ia tidak menjawab yang berarti tidak tahu.
Pernah sekali obat yang dibawa pulang dari rumah si pak haji ternyata membusuk. Awalnya, aku pikir masih baik sehingga kutinggalkan di dalam plastik dan kembali lanjut membuat animasi. Akan tetapi, saat kubuka dan dilap dengan tisu, kulit wortel tahu-tahu mengelupas dan mengeluarkan bau busuk. A-ma memintaku membuang bagian yang busuk dan segera menyimpannya di dalam kulkas. Anehnya, bau busuk tersebut sama dengan bau yang keluar dari payudara a-ma.
Hari pertama tahap pewarnaan, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Aku, a-ma, dan adik bungsuku duduk di depan ruang TV. Kami, kakak-adik, masing-masing sibuk dengan ponsel. A-ma duduk terdiam tidak jauh dari kami. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan saat itu dan aku juga tidak terlalu peduli karena bagiku yang terpenting adalah menyelesaikan film pertamaku. Lalu, tanpa kami duga, kami mendengar rentetan suara kayu patah. Menyusul langit-langit rumah yang berada tepat di sebelahku berjatuhan. Atap roboh dan hancur. Genteng-genteng saling mendorong, membuat debu berhamburan. Aku mematung di antara debu-debu yang beterbangan. Sekelilingku menjadi buram seakan-akan berkabut. A-pa yang berjalan masuk dari halaman belakang sampai berseru tidak percaya. Aku juga mendengar teriakan tetangga yang bertanya soal kondisi kami. Kejadian itu benar-benar heboh sampai ketika aku keluar dari rumah, satu per satu orang bertanya dari mana suara menggelegar tersebut berasal.
Di momen-momen tersebut aku sampai lupa bahwa a-ma bersama kami. Aku menyuruhnya masuk ke dalam karena debu-debu beterbangan. Jiji dan ji-chong, suaminya, malam-malam datang dan memeriksa kondisi kami. A-ma sempat kesulitan bernapas. Saat itu, aku tidak terpikir bahwa fungsi jantungnya drop karena melihat kejadian yang benar-benar mengejutkan tersebut. Yang kukira murni karena debu.
Kaki a-ma semakin membengkak dari hari ke hari. Saat dipijit, dagingnya akan tenggelam dengan aneh, lalu menimbul kembali. Ia sambil tersenyum bertanya kenapa itu bisa terjadi. Sungguh ia benar-benar terlihat seperti anak kecil yang penuh rasa penasaran. Ke mana pun ia pasti memanggilku untuk membantunya berjalan dan berdiri. Ia duduk di kursi roda karena sering mengeluh capek kalau berjalan meskipun hanya selangkah dua langkah. Rasanya sangat memusingkan. Sering aku memintanya coba berjalan. Pak haji juga meminta a-ma seperti itu karena kaki a-ma yang terus membengkak tadi. Menurut si pak haji, hal itu karena ginjal a-ma tidak berfungsi dengan baik dan juga dipengaruhi dengan kebiasaan a-ma yang suka duduk. Bandelnya, a-ma tetap tidak mau. Setiap kali ia ke toilet aku mulai pusing. Jarak ruang TV ke toilet lumayan jauh dan terdapat tangga sehingga kursi roda tidak bisa masuk. Setelah dipikir-pikir, akhirnya kami menaruh kursi saja di sepanjang jalan. Jika ia capek, ia hanya perlu duduk. Perkara selesai dan tidak perlu dituntun sejalan-jalan.