Aku tidak ingin Wilona berakhir seperti a-ma. Jika pak haji masih hidup pun, aku tidak akan mau membawanya ke sana. Tidak akan pernah ... meskipun ada yang memberiku alasan kuat sekali pun. Rasa hormatku pada beliau tidaklah menghilang. Aku menghormatinya sebagai kakek angkat. Beliau hebat seperti kung-kung yang jago nge-biang. Sayangnya, perihal gaib begituan terlalu berisiko bila dipercaya, apalagi dalam hal ini menyangkut nyawa Wilona. Kata dokter, kaca yang menusuk perutnya telah melukai ginjal. Ia mendapat 20 jahitan ditambah operasi ringan.
“Harus mencari donor ginjal?” tanyaku.
“Tidak perlu, Pak,” jawab dokter. “Kondisinya tidak kronis. Kita tunggu beberapa jam lagi sampai ia sadar.”
“Bolehkah aku melihatnya?”
“Tentu saja. Silakan.” Dokter menuntunku memasuki bangsal lain, melewati serangkaian ranjang, lalu berhenti di depan selembar tirai. Di dalamnya Wilona sedang berbaring, memejamkan mata, bagaikan putri tidur. Ritme jantung yang tertangkap elektrokardiogram menjadi satu-satunya suara yang kudengar. Dokter membawakan kursi, lalu membiarkan kami berdua.
Telah kuhubungi ibu Wilona dan keluarga lainnya. Jika mereka datang, aku berencana pulang karena A-ni telah menanti. Aku yakin Wilona lebih bahagia bersama keluarganya. Hal itu kulihat sendiri karena ia lebih sering tertawa bersama mereka daripada denganku.
Pernah aku bertanya pada A-ni sambil menyikat gigi, “Bisakah mencintai tanpa harus memiliki?”
Itu adalah hal yang sangat berat dan menyakitkan. Bisa dibilang adalah penyiksaan yang paling kejam di muka bumi. Dalam agama Buddha, Buddha adalah manusia yang terbiasa dengan siksaan hidup. Ia mencintai semua makhluk tanpa mengharapkan balasan. Benar-benar tidak bisa dibayangkan bila ada seorang wanita yang mencintai-Nya karena cinta yang diterima. Sudah pasti wanita itu menjadi wanita paling tidak beruntung karena mencintai orang yang salah. Cintanya hanya akan hilang tertimbun waktu dan tidak terbalaskan. Aku bukanlah Buddha meskipun dulu bermimpi menjadi biksu.
Pernah sekali aku bertemu dengan biksu sesungguhnya. Wajahnya berseri-seri, terpancar sinar suci, tidak seperti wajahku kadang gelap. Dengan sendiri aku menaruh hormat sambil menundukkan kepala. Ia berjalan melewatiku, mengeluarkan wangi kebenaran. Agamaku sebenarnya bukanlah Buddha, tetapi di bawah naungan majelis yang sama. Kami sejalan dan menjunjung tinggi kebajikan. Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Kong Hu Cu, aku yakin semua agama juga menjunjung tinggi kebajikan. Rasanya, tidak perlu membedakan mana agama yang paling benar. Jika mau, maka harus terlebih dahulu dibuktikan apakah Yang Maha Tahu benar-benar ada atau tidak. Bila ada, Yang Maha Tahu pasti akan tahu mana agama yang benar.
Melihat keagungan biksu itu, membuatku bertanya-tanya sebenarnya orang yang paling bahagia adalah orang yang menikah atau tidak. Tanpa menikah, hidup menjadi lebih bebas. Kesendirian membawa ketenangan sebab tiada tekanan maupun tanggungan. Tiada rasa khawatir juga takut akan ancaman sebab bila celaka, celakanya pasti sendiri. Hanya saja, kesendirian itu juga membawa nestapa sebab tiada yang bisa diajak bicara dari hati ke hati dan berbagi resah dan duka bila umur semakin tua. Memang, orang yang menikah, hidupnya lebih terikat. Istri dan anak menjadi tanggungan, menambah pikiran, dan rasa cemas. Bila celaka, bukan lagi memikirkan diri sendiri, tetapi masa depan keluarga. Indahnya, ketika mendapatkan sesuatu yang bahagia, rasanya dapat dibagi bersama-sama. Kebersamaan itu yang benar-benar menjadi idaman ketika hari tua. Karena itu ada yang berkata pasangan adalah teman saat tua. Bila tidak menikah, hidup akan menyedihkan di hari tua. Aku ingin memiliki keluarga yang bahagia, tetapi aku tidak ingin keluarga yang menderita atau pun menambah beban. Sudah cukup dulu aku mendengar a-pa memarahiku sebagai anak pemalas. Aku juga tidak tega melihat wanita yang bersamaku menderita, juga tidak mau ia membuatku menderita dengan segala tuntutan egois yang serakah.
A-ni adalah perempuan yang berbeda. Bersama-sama kami membangun sebuah keluarga. Aku bisa merasakan perubahan yang besar dari sikapnya setelah melahirkan Yen-Yen dan Kong-Kong. Yen-Yen adalah gadis menggemaskan yang sangat periang dan disenangi, tetapi terkadang menakutkan dan posesif seperti ibunya. Berbeda dengan Yen-Yen, Kong-Kong bisu semenjak lahir. Ia lebih dekat dengan A-ni, sedangkan Yen-Yen lebih dekat denganku. Ke mana pun aku pergi ia selalu ikut. Memilikinya membuat hari-hari selalu berwarna. Ketika aku melakukan suatu kesalahan, ia akan tertawa dan menganggap wajahku yang serius terlihat lucu. Seketika hati ini yang awalnya tertindih menjadi lega. Aku suka caranya memanggilku papi berulang kali.
Ketika berangkat ke Jakarta untuk pertama kali, bukan A-ni yang menemaniku, tetapi Yen-Yen. Ibunya pergi karena sedang bertengkar dengan ayahnya. Ia bahkan sudah pergi sebelum aku berangkat, meninggalkanku dengan Yen-Yen seorang diri selama dua minggu. Wajahnya dengan Yen-Yen sangat mirip. Biasa kalau makan, kami selalu bersama-sama. Hanya saja, kali itu saking rindu pada kehadirannya, aku sampai berhalusinasi mendengarnya mengajakku berbicara, tetapi di lain saat baru teringat bagaimana bisa aku berbicara dengan orang yang tidak ada di sisi. Air mata sekejap mengembang dan aku bertanya pada Yen-Yen, “Mami masih marah?”
Yen-Yen menjawabku dengan cerdas seperti ibunya, “Masih. Kalau tidak, pasti sudah pulang.”
Sebenarnya, alasan kami bertengkar sangat sederhana, yaitu selalu karena perempuan. Sudah sering kami bertengkar karena itu. Salah satunya adalah perempuan pembeli buah. Kejadiannya bermula saat kami membeli buah bersama untuk keperluan sembahyang nujuh kelima kematian a-ma. Membayangkan seorang laki-laki muda sepertiku dulu membeli buah memang lucu dan terlalu rajin. Rasanya aku menjadi perempuan dadakan. Sesekali A-ni membantu. Ia tahu mana buah yang bagus dan yang jelek dalam sekali lihat.
“Hebatnya,” candaku dalam hati. “Sudah cocok jadi mama, Ni.”
“Memangnya sudah mau jadi papa?” balas A-ni.
Yen-Yen masih belum lahir, bahkan mungkin masih jauh di dunia lain. Mungkin bila ia bisa melihat, ia akan tertawa melihat kami berdua, seperti halnya aku yang tertawa saat mendengar a-pa dan a-ma saling bercanda.
Asyik memilih buah, aku tidak tahu ada seorang perempuan yang terus mengamatiku. Posisi timbangan tepat di sebelah kanan dari rak apel yang berusaha kujangkau. Perempuan itu berdiri di sebelah timbangan. Keadaan toko sedang ramai dan si pemilik yang kurang se-ons sibuk sana-sini. Ketika aku selesai memilih apel dan menaruhnya di samping timbangan, saat itulah aku melihat seorang perempuan berhijab dan bermasker menatapku dengan dalam. Alisnya benar-benar tajam, rasanya perempuan itu pasti sangat judes dan menakutkan, mungkin lebih menakutkan daripada A-ni dan Yen-Yen kalau lagi marah. Kami bertatapan untuk sejenak.
Pikirku, apa kami saling kenal? Apa ia juga alumni SMAN 1 Belinyu? Aku berusaha mencocokkan semua wajah yang pernah kulihat sewaktu SMA, tetapi tidak menemukan satu yang cocok dengan bentuk wajahnya. Alangkah bagus bila ia tidak bermasker. Aku bisa melihat wajahnya indah atau tidak. Pertemuan yang singkat itu berhasil membuatku penasaran.
Pulang dari sana, A-ni langsung menanyakan hal yang sama denganku, siapa dirinya dan mengapa menatapku seperti tadi?
“Kau benar-benar tidak tahu atau tidak mau memberitahuku?
“Percayalah. Aku benar-benar tidak tahu,” jawabku dalam hati.