Sebenarnya, setiap orang prinsipnya berbeda. Jika aku menjadi khiu-kung, tidak masalah bagiku mau berapa kali khiu-pho menikah lagi. Alasanku sederhana karena diri sendiri telah meninggal. Jiwaku tidak akan memaki dari alam sana, mengecap istriku durhaka. Urusanku telah berbeda karena dunia kami telah berbeda. Bagiku yang lebih menyakitkan itu adalah saat aku masih hidup, tetapi ia berselingkuh. Rasanya tidak terbayang bagaimana istriku yang telah kukenal luar dalam juga dikenali oleh orang lain, bahkan dinikmati pula rasanya. Hatiku berdarah-darah. Harga diriku tercoreng. Makanya, aku benar-benar tidak sanggup bila mendengar gosip istri orang kabur dengan pria lain. Secara tidak langsung, aku menjadi suami dari betina itu. Berat, bahkan melelahkan. Aku paham jiji bermaksud baik. Ia sangat berharap keponakannya ini memiliki seorang istri yang benar-benar setia dan perhatian, sama sepertinya terhadap ji-chong.
Namun, jiji tidak pernah tahu aku telah menemukan perempuan yang ia maksud. Mungkin mata perempuan ini tidak seindah bulan purnama. Mungkin senyumnya tidak semanis gula. Namun, perhatiannya bagaikan tanaman yang telah mengakar dan berserabut di dalam hati ini. Aku bisa hidup tanpa a-pa. Aku bisa hidup tanpa a-ma. Aku bisa hidup tanpa jiji. Aku bisa hidup meskipun semua orang membenciku, menganggapku berbeda layaknya alien. Akan tetapi, aku tidak bisa hidup tanpa dirinya. Memang terkadang aku membutuhkan waktu untuk sendiri. Tetap saja, setelah itu, mencarinya lagi. Ia sungguh seperti napas yang terkadang kita lupakan, tetapi sebenarnya selalu ada.
Sekarang jika gara-gara kecelakaan tadi, Wilona sungguh pergi, aku tetap akan mencarinya seperti mencari A-ni. Dua-duanya adalah sosok penting dalam hambarnya hidup ini. Yang dikatakannya tadi saja masih terngiang-ngiang di kepalaku. Semangat dan niat demi menjadi ibu. Sungguh brutal takdir menggores luka di wajahnya. Sebutir mutiara kini tidak sebening dulu lagi. Biarpun diri ini tidak bisa menebak maksud terdalam dari setiap perkataannya, tetapi sesungguhnya ia adalah perempuan yang kurang percaya diri. Tadi saat ia dengan penuh semangat berniat menjadi ibu, aku sempat tertegun. Tidak tahu dari mana ladang semangat tersebut berasal. Dulu ketika memintanya bergabung dalam kepengurusan tempat ibadah, ia sempat tidak mau dengan beralasan terlalu muda. Padahal, kulihat dirinya jauh lebih layak daripada orang lain. Perlu waktu dan usaha bagiku demi membujuknya. Namun, untuk tadi, ia seperti bayam yang tidak perlu pupuk, tetapi tumbuh dengan sendiri.
Ia juga tidak mau pulang bila tidak diajak. Pulang tadi pun ia masih berniat membawaku ke tempat lain sebelum akhirnya celaka. Aku tahu dari rute yang diambil. Seharusnya, kami berbelok ke kanan, tetapi ia ke kiri. Jalan ke arah kiri terlalu banyak opsi. Bisa ke Pelabuhan Mantung, Pantai Putat, Batu Dinding, bahkan bisa ke Air Jukung, lalu kembali ke pusat Belinyu. Selain itu, apa ia hanya ingin menghabiskan waktu denganku atau jangan-jangan menyiapkan sebuah kejutan mengingat ulang tahunku semakin dekat? Tanggal 10 Maret. Zodiak mina. Jika sungguh demi kejutan, takutnya aku tidak akan bisa memaafkan diri ini. A-lia pernah diam-diam menyiapkan kejutan untuk a-ma menjelang hari valentine di tahun 2023. Tidak pernah sekalipun ia menyangka ketika kado tersebut datang, bukannya tangan a-ma, tetapi justru sampai di tanganku. Rasanya sangat pilu membuka sendiri isi kado yang seharusnya dibuka oleh a-ma. Bagaimana senyum dan betapa bahagianya a-ma, itulah yang ingin dilihat oleh A-lia. Aku benar-benar berharap itu bukan alasan Wilona. Jika benar, ia sungguh bodoh! Tidak pernahkah ia merasa kehadirannya dalam hidup ini sesungguhnya adalah kejutan bagiku? Tidak pernahkah ia berpikir cukup ia ada semuanya telah lengkap? Percuma saja aku bertanya karena kalian pasti tidak tahu jawabannya. Aku sendiri juga tidak tahu karena tidak bisa menembus batinnya yang berlapis. Namun, tetap saja, jika benar-benar itu alasannya, ia terlampau dungu dan mengecewakan!
Kini ibunya telah hadir bersama beberapa orang yang kukenal. Kehadiran mereka dengan cepat merebut kursi dan Wilona dari pandanganku. Dokter yang tadi berbicara denganku sedang berbicara dengan seorang pria yang baru kali ini kulihat. Tampangnya sangat santai dengan celana jeans selutut. Kurus, dengan rambut tersisir rapi tanpa poni. Bajunya yang berwarna krim benar-benar pas dan memancarkan jiwa muda. Sekilas membuatku yakin ia pria yang modis dan peka terhadap fashion. Ia juga seperti sangat paham dengan penjelasan dokter.
Di sisi lain, ibu Wilona membombardirku dengan pertanyaan-pertanyaan ketus. Sungguh rasa khawatirnya terhadap keselamatan Wilona membuatnya lupa aku telah berjanji memastikan hidup Wilona baik-baik saja. Dokter pun yakin putrinya akan sadar dalam beberapa jam. Aku tidak sanggup melihat tatapan Renata, adik Wilona. Aku tahu mereka sedang menyalahkan diri ini. Memang aku pantas salah. Tidak seharusnya kuterima ajakan Wilona tadi pagi. Namun, siapa yang bisa menyangka? Jika ibu Wilona menjadiku, ia juga pasti tidak menyangka. Sungguh perkataan lawas terbukti benar. Orang kalau sial, pasti ada jalan.
Renata menarik tanganku dan membuat kami terpisah. Pada saat yang bersamaan, tindakannya mengundang mata pria tersebut melirik ke arah kami. Pembicaraannya terlihat semakin serius dari raut wajahnya. Ia mengangguk sejenak, sebelum akhirnya pandanganku dikacaukan suara Renata. Ia terus menarikku keluar bangsal, melewati lorong panjang. Lalu, kami berhenti di teras tepi yang tidak terbagi sinar yang merata. Di bawah siraman lampu yang seperti makanan sisa penuh dengan pot usang yang telah tandus. Siluet bangunan di seberang halaman mengingatkanku dengan rumah Belanda yang tidak beratap, juga tidak berpintu. Banyak pecahan bata yang tidak bisa dilekatkan lagi, menggunung dan berserakan bersama kerikil di sekeliling pot. Ini adalah sisi lain dari rumah sakit Medika Stania. Pemandangannya benar-benar berbeda dari yang kelihatan. Ampas-ampas pembangunan. Aku yakin tidak pernah ada yang kemari sehingga dibiarkan tidak terawat dan termakan entropi. Pasti ada maksud tertentu Renata mengajakku kemari.
Ia menggenggam kuat tangannya dengan telunjuk mengarah ke wajah ini. Seperti hendak memakanku hidup-hidup, ia memintaku menjauhi kakaknya.
“Tidakkah kau malu dengan dirimu sendiri?” irisnya lagi. “Ia selalu mendapat banyak masalah setiap kali dekat denganmu.”
“Benarkah?”
“Lihat sendiri. Kau saja tidak paham. Bagaimana bisa kau berjanji membuat hidupnya baik-baik saja? Ibu mungkin tidak berani melarang kalian karena ia sangat sayang pada kakak. Tapi aku juga sayang padanya dan aku tidak ingin ia terkena masalah.”
Perkataan Renata membuatku berpikir terlalu banyak dalam waktu bersamaan. Jujur, harus kuakui, aku tidak pernah memahami Wilona dengan baik. Ia terlalu sukar ditebak karena setiap perkataannya mendua. Terkadang aku berharap bisa membuka kepalanya dan menukarnya dengan kepalaku agar setiap hal yang kami pikirkan adalah sama.
“Janjiku adalah membuat hidupnya baik-baik saja, bukan memilikinya,” kelitku.