Senja yang terasa lebih berat dari biasanya. Senyum memudar dan diri menjadi pendiam. Aku berjalan mengelilingi kebun bunga yang banyak mengundang kupu-kupu. Sebuah kiriman Yang Maha Mengerti untuk menambah warna pada senja yang suram ini. Lusa kemarin pulang dari penginapan, aku masih tidur sampai siang. Tubuhku terlalu lelah karena berjalan malam-malam. Niatku pada awalnya ingin menyiram, tetapi tidak pernah kusangka bunga yang mekar terlalu harum sampai mengundang tamu elegan. A-ma dan a-pa percaya kupu-kupu adalah tamu dari dunia gaib. Mungkin saja di antara mereka terdapat jiwa a-ma, a-pa, kung-kung, pho-pho, yang datang untuk menemani diri ini. Gembor yang kubawa saja tertinggal di dekat teras. Biasa kalau ada Wilona, ia yang akan mengajakku berbicara. Kini ia hanya tersisa kenangan. Dari kemarin-kemarin tiada kabar tentangnya, bahkan dari TV sekalipun. Aku juga tidak bertanya, karena untuk apa? Aku tidak ingin merusak masa depan mereka.
Berkeliling kebun sendiri membuat selembar kertas memori terbuka kembali. Segala bayang di kepala terasa hidup seketika. Jika kau penasaran kenapa aku selalu terbayang dengan semua kertas memori tersebut, mungkin jawabanku akan sedikit mengecewakanmu. Tiada hal yang luar biasa di balik semua itu. Aku hanya merasa nyaman saat semua itu muncul kembali seperti teman lama. Seperti Wilona, memoriku sendiri sungguh hal yang tidak bisa ditebak. Terkadang ia membawa kenangan buruk kembali hidup. Terkadang ia membawa kenangan indah memaniskan hidup ini. Mungkin dalam memori ini tidak terdapat kenangan Wilona kecil yang jelas tidak akan terulang lagi. Namun, kejadiannya juga sama berarti. Ini berkaitan dengan bos yang tiba-tiba menjadi tertutup. Mungkin ingatan ini muncul karena aku masih tidak tahu kenapa Wilona merahasiakan hal sebesar itu dariku.
Kejadiannya tidak lama setelah aku dicurigai mencuri uang kasir, padahal setelah dicek, kesalahan sistem. Suasananya persis seperti sekarang. Kebun bunga terasa seperti rak. Bunga-bunga adalah pajangan yang masih penuh sehingga tiada yang bisa kususun. Yuri sedang berdiri di belakang meja kasir sambil bermain ponsel. Malam sebelumnya diri ini marah terhadapnya, tetapi dalam hati. Ia seperti menambah boroknya hari setelah tuduhan dari bos. Ia mengomel dengan cerewet karena rak botol lemineral, nestle, dan aqua banyak berongga, tetapi bukannya disusun, aku malah memajukan beberapa botol yang tersisa, menutup bagian berongga tersebut. Caraku murni cara yang diajarkannya ketika pertama kali bekerja. Saat itu, ia bilang, jangan langsung membuka kardus baru apabila masih bisa dimajukan. Karena kupikir masih bisa dimajukan agar terlihat penuh, jadi kumajukan saja.
Dengan ringan hati, aku bercanda padanya agar jangan marah, tetapi ia membalasku dengan tatapan tajam. Sepasang mata yang langsung mengingatkanku dengan mata a-pak, kakak a-pa yang telah sangat tua dan masih kaya. Aku pernah melakukan suatu kesalahan sederhana, yaitu menumpahkan sekarung gulungan kertas yang hendak dibakar di penghujung ceng beng. Orang cina percaya, setiap kertas emas yang dibakar akan menjadi selembar uang yang masuk ke rekening neraka. Semakin banyak yang kita bakar, maka semakin kaya jiwa di bawah sana. Hal ini sangat kasihan mengingat tidak semua orang mampu membeli kertas emas bergunung-gunung. Rasanya menyedihkan sekali bila yang tidak mampu membeli kertas emas di dunia akan melarat di neraka. Lantas, apa gunanya pahala? Tidak semua orang mengumpulkan uang dengan cara yang benar. Jika uang sekotor itu dipakai untuk membeli kertas emas, lalu dibakar menjadi uang neraka, alangkah tidak adilnya dunia neraka. Apakah mereka juga sekumpulan koruptor yang mewarisi ilmu Firaun? Ke mana fungsi pahala dan perbuatan baik? Guru agama Budha kami sewaktu SMP mengajak kami berpikir sederhana. Kita perhatikan saja semua kertas yang dibakar. Jika memang sampai ke sana, maka seharusnya yang di sana juga bisa mengirim kode untuk mengabari kita, seperti halnya transfer uang dari Indonesia kirim ke Amerika. Yang di Amerika langsung mengabari kita bahwa uangnya telah sampai. Lalu, jika memang uang tersebut adalah penghubung dua dunia, seharusnya memerlukan teknik istimewa yang diciptakan langit dan direstui pertiwi. Proses pembuatannya juga tidak mudah dan bahan-bahannya perlu dicari di atas gunung atau berasal dari meteorit. Namun, jika kalian pernah melihat proses pembuatannya, aku yakin kalian akan berpikiran sama denganku. Semua kertas itu adalah hasil pabrik semata, dipotong dan dicetak oleh manusia dan robot. Hanya saja, kita sebagai manusia terlalu mengutamakan tradisi daripada logika. Faktor keuntungan juga menjadi penutup mata. Aku yakin banyak orang cina akan marah bila mendengar alasanku. Mereka akan menuduh diri ini telah menistakan tradisi sendiri. Sungguh itulah namanya kepercayaan. Akar yang mati masih bisa dicabut, tetapi kepercayaan tidak semudah itu mati dan dicabut. Namun, aku juga yakin sebagian dari mereka akan bertanya-tanya sebenarnya masuk akal atau tidak yang mereka lakukan, terutama anak-anak. Dalam agama kami, tiada lagi bakar membakar kertas. Dalam Islam pasti juga tidak ada. Dalam Budha juga tidak ada. Penghubung kami bukan lagi kertas, tetapi doa dan amal jariah.
Kembali pada momen yang memalukan tersebut. Gulungan kertas tercecer di atas tanah, di samping tungku api. Aku masih SD. Tanganku tidak sepanjang sekarang, sedangkan karung tersebut setinggi kepalaku. Untuk mencapai ujung atas dan bawah, aku harus merentangkan tangan. Tiada yang membantuku sama sekali. Sementara itu, lidah api menjulur tinggi. Berbagai pikiran berkecamuk pada saat bersamaan. Apa api panas itu hendak menangkap tanganku? Bagaimana kalau tanganku terbakar? Apa akan sakit? Jadi, aku berhenti sedikit kejauhan. Aku tidak menyangka sedikit kejauhan saja benar-benar berpengaruh. Isinya tidak sampai dan tumpah setanah-tanah. A-pak wajah langsung mengatai dan menyamakanku dengan A-den, orang idiot di Parit Lima yang sering memakai sandal terbalik.
Hal pertama yang kulihat saat itu terjadi, bukanlah a-pak yang mengataiku, melainkan wajah a-pa yang berdiri di sampingnya sambil memegang kertas emas. Kuperhatikan wajahnya sejenak yang dingin, tiada menunjukkan rasa peduli. Sekarang bila kupikir-pikir mungkin ia malu melihat anaknya melakukan kesalahan, apalagi anak pertama. Yang terlintas dalam benakku di momen itu adalah bagaimana bisa menjadi orang yang berguna bila menuangkan sekarung gulungan kertas saja tidak becus? Kutebalkan wajah dan menahan gejolak perasaan di dada sambil memungut kembali gulungan kertas yang telah kotor oleh tanah.
Seorang anak kecil sekecil diriku saat itu, apakah layak dimaki, dicerca, dengan kata-kata serendah sampah? Sangat mudah mendidik seorang anak dengan rasa takut, ibarat anjing yang tidak menurut langsung dipukul dengan rotan. Mereka mungkin akan beralasan hal itu bagus untuk menguatkan mental. Sekarang bila seorang bayi dikasih makan bakso, bisakah ia memakannya seperti orang dewasa? Jawabannya sangat jelas. Itulah kenapa di toko menjual SGM, vidorant, dancow, chil-kid, milna, dan asupan bayi lainnya. Bila masih dipaksa, bayi akan tersedak karena tidak bisa mengunyah, lalu meninggal. Sama halnya dengan bayi malang tersebut, mereka memaksaku untuk menerima asupan batin yang belum layak kuterima, seperti cacian dan seks. Bukannya menguatkan, justru mematikan mental dan hampir menjerumuskanku. Sekarang bila aku mengadukan semua tadi di depan mereka, aku jamin mereka hanya akan bersembunyi di balik pepatah, jangan jadikan masa lalu sebagai patokan. Aku memang tidak menjadikannya sebagai patokan, melainkan landasan. Landasan untuk menyadarkan mereka. Sayangnya, aku tidak pernah memiliki kesempatan seperti itu. Hanya pernah terjadi dalam lamunan.
Terbuka kembali kertas memori ini, membuat senja hari terasa semakin berat. Rasanya hampir sama dengan waktu itu. Dengan serbet di tangan aku mengelap kaleng susu beruang nestle, kaleng sprite, coca-cola, sampai lasegar yang telah berdebu. Sungguh jorok, pikirku. Bayangkan saja para pembeli yang langsung meminumnya tanpa mengelap, berapa banyak partikel debu yang membawa kuman dan bakteri yang bersarang di dalam perut mereka. Meskipun semua makanan dan minuman yang masuk ke lambung akan diurai oleh asam sulfat yang kalau di dunia luar kena kulit langsung melepuh, tidak semua bakteri dapat dimatikan. Usus adalah terminal selanjutnya dari lambung dan tempat bersarangnya ratusan ribu bakteri jahat dan baik yang lolos dari jaringan asam sulfat. Ibarat kata, surganya para koruptor yang lolos dari KPK.
Sambil mengelap, aku perhatikan Yuri terus bermain ponsel. Angka di layar komputer masih saja nol. Kulihat sekelilingku yang dibatasi oleh rak tiada orang satu pun. Mungkin ada orang di rak belakang yang tidak terjangkau oleh mataku. Terus menanti sambil diam-diam memperhatikan Yuri, tetap tiada orang yang muncul. Sesepinya pekuburan Cina di Belinyu, dulu banyak pasangan yang berpacaran di sana. Sekarang mungkin ada satu atau dua karena telah ada penjaganya. Sementara itu, toko kami bahkan seorang pengunjung pun tidak ada. Sungguh jauh lebih sepi dari pekuburan tersebut.