Aku menelepon jiji dan meminta bantuannya. Ia memintaku tetap tenang dan berpikir dengan kepala dingin. Berkat bantuan jiji yang telah kuanggap seperti ibu, akhirnya masalah tersebut terselesaikan dan badai perlahan menepi.
Pikirku, mungkin hidup bos terlalu serba ada, sehingga ketika suatu masalah besar terjadi dengan tiba-tiba, ia berakhir murung dan tertutup. Namun, aku yakin, ia tidak semudah itu menyerah, mengingat sebuah nasihat yang telah ia ukir dalam hatiku, bahwa setiap pekerjaan, apa pun itu, pasti akan menemui masalah, maka harus bersiap-siap menghadapinya.
Langit malam setelah pulang kerja hari itu sedang gerimis. Sesuatu yang lucu terjadi. Rintik-rintik hujan terasa menggelitik. Ketika melewati simpang tiga, tanpa kusangka-sangka sepadaku tersentak oleh sesuatu di depan. Menyusul cipratan air mengenai wajah. Aku merasa kehilangan keseimbangan, lalu oleng. Kaki kiriku terasa sakit. Suasana jalan yang gelap membuat mataku kesulitan melihat apa yang telah kutabrak. Saat kunaikkan sepedaku, kaki terperosok dan air menciprat. Rupanya, gara-gara lubang aspal. Rasanya sangat sakit, tetapi bila kuingat lagi, entah kenapa terasa konyol. Pikiran ini sedang mumet kala itu. Bila banyak orang yang melihat, mungkin wajah ini telah meleleh, seperti saat kakiku tuba-tiba tersandung lubang ketika mengikuti baris berbaris.
Saat kudorong sepeda, rasanya setang bergerak naik turun seperti ada pegas terpasang di bawah. Pikirku, rodanya pasti tidak sama bulat karena tertabrak tepi lubang aspal. Sambil mendorong, A-ni mengikutiku dari samping sambil menggendong Kong-Kong dan menggandeng Yen-Yen. Suasana jalan sepi karena hujan deras sebelumnya. Pemandangan ruko yang samar-samar menembus siluet kegelapan menjadi teman, selain A-ni dan keluarga kecilku. Semua orang pasti memilih tidur, sedangkan aku baru pulang kerja.
Sesampainya di rumah, dugaanku tadi benar. Roda sepedaku bengkok ke dalam seperti mulut pac-man, permainan piksel lawas tentang bola kuning yang bisa memakan manusia. Beruntung, besoknya aku gajian sehingga bisa kupakai uang tersebut untuk mengganti roda. Atau, pikirku lagi, aku bisa membeli oli agar vario kami tidak meledak bila kupakai terus-menerus. Aku benar-benar sayang dengan motor tersebut karena meninggalkan kertas memori tersendiri dalam benakku. Perlu empat tahun lebih untuk melunasinya dari aku SD sampai lulus SMP. Selama itu si penagih telah beberapa kali mencari a-ma.
Satu momen yang selalu kuingat terjadi ketika a-pa dan kedua adikku pulang ke Parit Lima. Malam-malam bel berbunyi, mengeluarkan nada riang seakan-akan sang pemilik rumah menyambut senang kedatangan si tamu. Nyatanya, bel berbunyi beberapa kali, tetapi a-ma tidak keluar-keluar dan menyambut si tamu dengan riang, seriang nada bel yang dipasang. Duduk di depan TV, aku menoleh pada a-ma. Kulihatnya hanya terdiam, sedangkan bunyi bel terus berulang-ulang. Biasanya, jika bel telah berbunyi, a-ma yang pertama kali keluar dan membawa masuk rezeki untuk a-pa perbaiki. Tiada peduli malam hari, terkadang ada yang membawa radiator untuk diperbaiki karena saking perlunya. Dengan kemungkinan tersebut, a-ma seharusnya telah keluar sejak tadi untuk memastikan apakah yang memencet bel sedang memerlukan jasa a-pa atau bukan. Bila memang terbukti bukan, seharusnya tanya untuk kepentingan apa, sedangkan yang terjadi a-ma tetap diam di kursinya. Karena itu, pikirku pasti ada masalah.
Beberapa saat yang tidak kunanti-nanti, suara seorang pria yang terdengar berat masuk ke ruang TV, padahal jarak dari ruang tamu ke tempat kududuk kira-kira sebelas meter atau hampir dua per tiga lebar rumah. Aku tidak tahu siapa pria tersebut, tetapi a-ma memintaku keluar, tetapi jangan membuka pintu dan bilang ia sedang keluar. Yang terlintas dalam benak adalah sebuah ketidaktahuan mengapa a-ma sampai memintaku berbohong, padahal ia selalu mengajarkan bahwa orang jujur adalah orang yang paling ditakuti. Aku masih belum tahu pria yang datang adalah pria yang menagih kredit motor vario yang kami naiki dengan bangga ke sekolah. Ketika keluar, pria yang awalnya kukira setua para a-pak karena suaranya yang berat ternyata masih muda, semuda a-ma yang baru 30-an.
Raut wajahnya dingin seperti hantu. Biasanya, orang-orang dewasa akan tersenyum ramah atau setidaknya membuang wajah serius ketika berbicara dengan anak-anak. Akan tetapi, untuk pria tersebut tidak sama sekali. Ia dengan wajah datar bertanya di mana a-ma. Dengan gemetar sambil mengingat pesan a-ma, kujawab a-ma sedang keluar. Ketika kupikir telah selesai dan tinggal masuk, ia kembali bertanya di mana a-pa. Kebetulan, a-pa memang sedang keluar. Jadi, kali itu kujawab sejujurnya.
A-ma dan a-pa telah ditanya, pikirku, pasti telah selesai, ia akan percaya, lalu pergi. Namun, yang terjadi ia kembali bertanya ke rumah siapa? Lalu, sekarang kamu sendirian? Lalu, ada menitip sesuatu atau tidak? Apa yang bisa dilakukan seorang anak kecil sepertiku? Ia sendiri seorang rentenir yang telah berpengalaman. Rasanya seperti menghadapi ujian mendadak dan kujawab dengan gemetaran. Ia terdiam dengan wajah yang terlihat ragu, menatapku, lalu ke dalam. Karena ruang TV kami terletak lumayan ujung dan bersebelahan dengan halaman terbuka, tidak bisa dilihat dari pintu depan. Yang bisa dilihat dari pintu depan hanya sebuah meja makan. Di seberang meja makan itulah ruang TV, tempat a-ma bersembunyi dari si penagih.
Pertanyaan terakhir dari si penagih membuatku terdiam sejenak. Seketika aku berpikir apakah yang kulihat saat itu memang manusia atau hantu. Ia seperti dukun bisa menebak warna pakaian a-ma dengan benar, lalu bilang tadi melihat seseorang dengan pakaian pink lewat dari meja makan. Banyak alasan berusaha kucari. “Eh,” ujarku berulang kali sambil memohon sebuah alasan agar ia tidak curiga. Lalu, muncullah sebuah jawaban. “Oh, itu nenek pasti.”
Ia terlihat semakin ragu. Jika saja jawaban itu muncul lebih awal, mungkin ia tidak akan terlihat semakin ragu. Aku bisa tahu dari cara ia menatapku, cara yang terasa sama dengan cara para a-pak menatapku. Alisnya mengerut. Ia pasti tahu kebohongan yang diajarkan a-ma. Namun, diri ini yang kecil dan kurang pengalaman itu tidak menyadarinya sama sekali. Setelah ia mengangguk sekali, lalu berkata, “Besok aku kembali lagi”, hati ini rasanya lega, seperti membawa pulang piala.
Rasanya seperti lolos dari terkaman singa. Bila bukan berkat pintu yang membatasi kami, aku yakin aku tidak akan sanggup berkata-kata. Sejak kejadian tersebut, diam-diam aku menyisihkan banyak uang jajanku agar ketika ia datang lagi, a-ma tidak perlu berdrama seperti itu lagi. Memang tidak banyak aku bisa membantu, hanya dua kali dan itu pun sedikit. Aku juga berjanji pada diriku untuk tidak berutang atau apa pun karena bukan hanya si penagih itu saja yang naik ke rumah, tetapi juga ada penagih-penagih lainnya, termasuk TV berbayar yang sering kutonton.