Memori Sonata

🕯Koo Marko✨
Chapter #19

Bab 8: Ri, Kembali (Bagian III)

Begitu melihatku mengajak Yuri berbicara, A-ni tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya berbicara dengan Yen-Yen seperti biasa. “Papimu mulai lagi.”

Wajahku menjadi kaku, padahal biasanya sesudah Yuri mencubit, aku akan tertawa kecil dan membalas dengan ejekan. Aku bahkan pernah berpikir ingin meminta nomor WA-nya. Beruntung, tidak pernah kesampaian. Aku tidak ingin memberi harapan palsu lagi.

Belum selesai dengan urusan makanan beku, kami kembali memilah nugget yang baru masuk. Di momen itulah sesuatu yang tidak pernah kubayangkan terjadi. Kami mendengar suara gebrakan keras yang sama kerasnya dengan dua kursi kayu yang saling beradu. Begitu kutoleh, bukannya kayu, tetapi sepasang motor telah saling beradu dan tergeletak. Jalanan di sekitar simpang tersebut memang gelap. Beberapa orang sampai berseru kaget. Kuperhatikan samar-samar korban berjumlah dua orang. Lalu, muncul suara isak tangis anak kecil yang sontak membuatku berlari ke tengah jalan, diikuti beberapa pria. Di antara sela-sela salah satu motor yang tertutup bayangan, samar-samar kami melihat seorang anak kecil terjepit di bawah setang. Si ibu terbaring di belakang dengan kaki juga terjepit. Mereka langsung membantu ibu anak yang malang itu, sedangkan aku menghampiri korban yang satunya bersama beberapa pria. Mereka mengangkut motor, sedangkan aku memapah si korban ke depan toko. Di sana Yuri berseru kaget melihat pria yang kupapah dan langsung membantu. Aku yang lebih kaget karena pria tersebut adalah bos. Wajahnya beret. Kacamatanya hilang. Napasnya tersengal-sengal. Aku benar-benar tidak tahu saat itu karena ia tidak memanggilku sama sekali padahal aku berada di dekatnya.

Ia terduduk melamun di depan toko sambil ditemani Yuri, sedangkan aku memeriksa kondisi ibu anak tersebut yang telah dikerumuni banyak orang. A-ji pemilik toko sebelah memberikan secangkir air yang kuyakin pasti air gula pada si anak. Orang-orang cina percaya air gula dapat menenangkan jantung yang kaget. Perlahan-lahan tangisan si anak mereda. Matanya yang membesar membuatku teringat kembali dengan kejadian dulu sewaktu masih TK di mana motor alfa a-pa roboh tanpa kusadari dan betis kananku melepuh karena knalpot panas. Di saat itu aku menangis sendirian, sedangkan anak itu menangis di pelukan sang ibu.

Awalnya aku tidak tahu siapa yang salah dalam kecelakaan tersebut. Antara bos yang berbelok keluar dari simpang atau ibu anak yang langsung menyelonong meski tahu ada tikungan. Setelah mendengar cerita a-khiu pemilik toko sebelah, bos yang salah karena berbelok dengan sangat cepat, padahal ibu anak tersebut telah menyeberang setengah jalan. Jelas bersyukur karena hanya motor yang rusak. Roda depan motor mereka telah menjadi seperti roda sepedaku yang tidak rata.

Yuri terus mengajak bos berbicara, tetapi bos tetap melamun seperti orang linglung. Keesokan ibu-anak kemarin kembali datang ke toko bersama rombongan dan meminta bos ganti rugi atas motor mereka yang rusak. Bos sedang keluar saat itu sehingga aku dan Win-Win yang kewalahan. Ia pusing, aku lebih kali. Mereka sangat tidak sabaran seperti mengantre sembako. Yang lebih apesnya lagi mereka datang saat aku kebagian sif pagi, padahal biasanya aku sif sore sampai malam.

Berkat bantuan khiu A-tung yang telah merantau ke mana-mana, mereka berhasil ditenangkan dan dikumpulkan di halaman belakang, tempat biasa bos bersantai. Pikirku, itu baru namanya orang yang merantau. Tidak mudah emosi dan selalu tenang dalam mencari solusi, tidak seperti a-pa yang gampang emosi dan suka mencaci-maki. Senyuman khiu A-tung juga berperan penting. Adem dan bijaksana. Memang sedikit berbeda dengan bos yang terkadang kekanak-kanakan dan lucu, terkadang serius dan menakutkan. Aku paling takut dengan orang yang tidak bisa diprediksi. Ketidaktentuannya yang membuatku berpikir berulang kali.

Aku dan Win-Win kembali bekerja, sedangkan khiu A-tung menemani mereka sambil menyeduh beberapa cangkir kopi. Ketika bos pulang dan kuceritakan padanya apa yang terjadi, wajahnya langsung masam dan jidatnya menghitam. Saking masamnya, tiga jarum tidak tertembus. Ia bahkan menggaruk-garuk kepala dan uring-uring di hadapan kami berdua. Kami saling bertatapan dalam diam. Sejenak kemudian, bos masuk ke dalam. Di saat itulah kami mendengar rombongan tadi berseru, “Nah, ini orangnya!”

Diam-diam aku dan Win-Win berdiri di depan rak plastik, menguping pembicaraan mereka. Kami dengar bos meminta maaf berulang kali, mengalahkan orang-orang yang meminta maaf sewaktu lebaran. Mendengar itu, membawaku kembali pada setiap dosa yang telah kuperbuat pada Alifah. Sampai saat itu, aku tidak pernah meminta maaf secara langsung seperti yang bos lakukan. Mental tempeku terlalu ciut dan hanya muat di balik layar ponsel. Itu pun kulakukan dengan maksud agar kami saling jaga rahasia.

Win-Win yang tidak tahu apa yang sedang kupikir bertanya dengan polos kenapa aku melamun. “Nanti kesurupan baru tahu,” ujarnya dengan lirih dari samping.

Win-Win pertama kali masuk kerja tanggal dua. Maka itu berarti, ia menerima gaji lebih dulu dariku karena aku tanggal tujuh. Teringat dengan hal itu, langsung membuatku menarik tangannya tanpa kusadari. Gara-gara ketidaksengajaan tersebut, ia sampai salah tingkah setiap kali aku menatapnya. Kami berbicara di depan kasir. Lalu, ia membenarkan yang kuingat.

“Terus, ada yang aneh dengan gajimu?”

“Aneh bagaimana?”

“Begini, Win. Gajiku bulan ini tidak tahu kenapa turun 200 ribu dari biasanya—

“Ah, iya,” serunya dengan besar yang membuatku salah sigap.

“Jangan besar-besar!” bisikku.

“Memangnya kenapa?” tanyanya dengan heran.

“Aku tidak ingin a-khiu dengar.”

Lihat selengkapnya