Bila kubiarkan bos memendam masalahnya yang kupikir sangat rumit karena sampai melibatkan pak camat dan bu camat, aku takut akibatnya akan lebih buruk. Bos pernah bilang, terkadang istrinya tidak menanggapinya kalau bicara. Ia menganggap itu hal yang wajar karena istrinya memang wanita sibuk. Ia juga pasti berharap memiliki anak sehingga memiliki teman bicara. Aku bisa membayangkan betapa kesepiannya bos, tidak seperti aku yang masih memiliki A-ni, Yen-Yen, dan Kong-Kong yang senantiasa menemani sehingga bila ada beban pikiran pasti dapat diceritakan. Sempat kupikir, mungkin beban pikiran itu yang membuatnya tidak sengaja menabrak ibu anak yang juga sama-sama tidak beruntung. Biasanya ia selalu membawa kacamata karena rabun jauh, tetapi malam sial itu tidak sama sekali. Yuri mungkin bisa dengan gampang bilang hidup yang penting cari aman karena aku yakin ia tidak pernah mengalami masalah yang sama sepertiku, di mana tekanan batin dan pandangan orang benar-benar berpengaruh, mengingat dirinya juga sangat periang dan suka terang-terangan. Ia juga telah memiliki Lukas. Sungguh pelengkap yang membuat ia berpikir hidup adalah tentang kebahagiaan diri sendiri.
Setelah pak camat dan bu camat keluar dari dalam, aku masih tidak tahu apa yang tadi mereka bicarakan sampai membawa-bawa pihak polisi. Yuri tidak tahu apa yang kudengar. Dalam hal itu aku tahu ia dan bos sangat dekat karena ia sudah bekerja enam tahun. Aku takut dengan kedekatan itu Yuri bisa dengan mudah membocorkan pada bos apa yang kudengar. Atau bila ia tidak berniat membocorkan sekali pun, aku tetap takut bos yang akan membujuknya. Tentu bos juga akan khawatir aku telah mendengar banyak hal yang seharusnya tidak kudengar. Oleh karena itu, ia punya alasan kenapa harus membujuk Yuri menceritakan apa yang kudengar atau sekadar apa yang kulakukan. Mungkin bos nanti akan tahu semua yang kulakukan, terlebih lagi telah terekam CCTV yang bisa-bisanya kulupakan.
Saat pak camat dan bu camat pulang, aku dan bos berpapasan di antara rak biskuit. Sekilas kulihat wajahnya telah menghijau, bahkan ungu. Jarak antar rak kurang dari satu meter. Biasanya ia akan memanggil namaku, atau tersenyum, sambil berbagi jalan, tetapi kali itu langsung menerobos dan menabrak bahuku dengan dingin. Ketika keluar dari rak tersebut, Yuri menatapku sambil geleng-geleng. Ia memintaku mendekat, lalu berbisik, “Sudah kubilang, Bong. Lebih baik cari aman tadi. Sekarang semoga a-ko tidak memecatmu.”
“A-ce juga tadi,” balasku berbisik, “Seharusnya, a-ce memanggilku diam-diam, malah berteriak.”
“Aku tidak berteriak. Suaraku memang seperti itu. Terus, kubilang apa tadi. Bila keluar masalah, jangan membawa-bawa namaku. Kau yang mulai dulu dan aku juga baru tahu dari CCTV. Jadi, aku tidak tahu apa-apa.”
Alibi Yuri sangat kuat dan beralasan. Membuatku berpikir bahwa diriku memang terlanjur menggali lubang sendiri. Siapa yang menyangka ia akan muncul dan menegur seolah-olah menangkap seorang maling. Dengan sendiri aku berkeringat dingin saat itu. Baru dua kali menerima gaji, sedangkan aku perlu banyak uang untuk membeli laptop yang telah lama kuperlukan untuk animasi. A-ma pernah berjanji padaku dan mengikuti arisan untuk membelikanku sebuah laptop. Sayangnya, uang tersebut malah diambil dan dikasih pada Valdy. Penuh perjuangan bagiku untuk bekerja di toko itu karena kondisi ekonomi dan daya beli sedang turun. Banyak toko dan usaha tidak membuka lowongan. Beruntung, seorang temanku menawarkan kesempatan. Karena memang sedang membutuhkan karyawan pria untuk mengangkut barang, aku diterima. Mengingat betapa tidak mudahnya mendapat kerja, hal itu yang membuatku keringat dingin. Terlintas dalam benak diri ini akan mengurung diri di dalam kamar lagi selama empat tahun dan dianggap menjadi beban a-pa, melihat dan terus mendengarnya mengeluh tidak jelas, apalagi dihantui pandangan orang serta rasa ingin tahu keluarga dari pihak a-pa yang sangat responsif bila itu berkaitan dengan kegagalanku. Mereka tidak pernah ingin tahu bagaimana aku berhasil, tetapi kenapa aku gagal.