Memori Sonata

🕯Koo Marko✨
Chapter #21

Bab 9: Wi (Bagian I)

Selain A-ni dan Wilona, diam-diam aku telah jatuh cinta pada banyak perempuan. Setiap perempuan yang sanggup menimbulkan gelembung jiwa dari dada ini selalu menjadi fokus perhatianku. Mereka tidak datang secara bersamaan layaknya gelembung napas di dasar air, tetapi perlahan-lahan ... satu per satu ... seperti belaian daun. Rasanya seperti terjebak dalam labirin yang panjang dan membuatku bimbang karena mereka terlihat indah dan memesona. Kuakui diri ini saat itu masih belum stabil. Jelas-jelas diri ini tidak bisa berpisah dengan A-ni karena ia selalu ada di sisi. Namun, masih saja tertarik pada perempuan lain. Benar-benar tidak bisa dibayangkan bagaimana jadinya bila ia melihatku bermesraan dengan perempuan lain. Bila ia sendiri melihatnya, rasa sakit yang terasa tidak begitu besar. Akan tetapi, bila ia terlalu marah sampai-sampai mengajak Yen-Yen dan Kong-Kong melihat ketidaksetiaan papa mereka, hal itu akan lebih menyakitkan dan memalukan. Itulah kenapa ia selalu membawa anak-anak setiap kali aku keluar, untuk berjaga-jaga bila aku menjadi gila. Aku tidak menyalahkannya karena kami adalah keluarga.

A-pak, kakak a-pa yang kaya, pernah mengutarakan pendapatnya tentang keluarga, terutama anak, sewaktu pho-pho masih hidup. Aku ke sana untuk mengunjungi pho-pho yang kesehatannya semakin menurun. Ia menjadi lebih sering terbaring di kasur. Jarang makan sehingga tubuh kurus seperti tengkorak. Rambutnya yang putih telah menipis, menjadi seperti bayi botak yang dibuang ibu sendiri. Para a-pak sering cerita pho-pho suka mengigau memanggil a-thai, thaiji-pho, dan orang lain yang sebenarnya telah lama tiada. Mereka percaya orang-orang yang dipanggil pho-pho saat itu sungguh datang dari alam baka dan menjenguk pho-pho. Menurutku, itu hanya semacam perasaan kangen seorang anak kecil yang telah terpendam sejak lama pada orang tua dan orang-orang terdekat. Mereka telah lama meninggalkan pho-pho seorang diri. Tentu pho-pho tidak sadar dengan rasa rindu tersebut karena ia memiliki anak dan cucu. Jika ia sadar pun tentu aku tidak tahu karena ia tidak pernah menceritakannya pada siapa pun. Akan tetapi, pasti ia akan menunjukkannya dengan sendiri seperti mengajak cucu atau anaknya berbicara. Dari semua anaknya ia lebih suka mengobrol dengan a-pa karena memang a-pa sering melawak, di luar watak pemarahnya yang membuatku kecewa. Di antara para a-pak dan ku-ku yang tinggal di dekatnya, pho-pho paling jarang berbicara dengan a-pak yang kaya. Hal itu karena terkadang a-pak sering membentaknya.

Aku tidak tahu apakah a-pak telah sadar atau tidak semenjak kesehatan pho-pho menurun. Akan tetapi, dari mulutnya yang sering membentak pho-pho itu ia berkata, “Itulah alasan kenapa kita berkeluarga. Harapannya ada di anak-anak kita pada kemudian hari. Kita berharap mereka bisa menjadi orang sukses dan menaikkan derajat hidup kita sebagai orang tua.”

Apa yang ia ajarkan padaku adalah bila kemudian hari aku menjadi orang gagal, maka menikahlah. Sekolahkan anak tinggi-tinggi. Jadikan investasi agar hari tua nanti kita tidak perlu pusing ke mana harus mencari sesuap nasi. Itu juga yang diharapkan oleh a-pa. Ia selalu mengeluh secara terang-terangan kapan ia bisa menikmati uang ketiga anaknya. Ibarat mendengar nyanyian sumbang, beban pikiranku selalu bertambah parah seakan-akan mau pecah setiap kali mendengar keluhannya. Aku bahkan menjadi muak bila melihat wajahnya. Yang terlintas selalu keluhan tersebut. Itu juga yang menjadi alasan perang dingin di antara kami.

Agamaku berbeda dengan Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Kong Hu Cu, dan Hindu, tetapi masih sejalan dengan Buddha dan Kong Hu Cu, serta berada di bawah naungan Majelis Tridharma Indonesia. Setiap agama dan kepercayaan pasti memiliki nama yang dihormati, bahkan agama orang Yahudi yang dipandang tercela sekalipun. Nama agama kami adalah agama Tao. Ada perbedaan besar pastinya antara pandangan agama kami dengan Islam dan agama lain. Islam adalah agama yang besar dengan pedoman Alquran yang telah beberapa kali dibuktikan para peneliti. Sementara itu, agama kami terlalu luas dan susah untuk dipahami. Tidak jarang ada yang menyeleweng ke agama lain, seperti Kristen dan Katolik. Hal itu disebabkan dasar pembelajarannya terlalu bergantung pada kesadaran masing-masing. Dalam Alquran jelas dimaksudkan tidak boleh begini, harus begitu, tetapi tidak dengan kami. Semuanya bergantung pada kata sadar. Bila itu bagus, maka jalankan. Bila tidak, tinggalkan. Revisi diri adalah kunci.

Namun, aku tetap yakin dengan agamaku tanpa perlu alasan lebih karena itulah keyakinan. Bila keyakinanmu dapat ditakar seperti kopi, maka itu bukan keyakinan karena bisa habis. Selain keajaibannya dalam hal kegaiban, agama kami secara halus mengharuskan kami untuk selalu berefleksi seperti bercermin di atas air. Bila melakukan suatu kesalahan, cari penyebab dan jalan keluarnya, bukan dengan mengeluh. Setiap tahun akan diselenggarakan ujian kenaikan tingkat bagi para pemeluk yang minimal telah memeluk agama selama tiga tahun. Terdapat empat jenis tingkatan, yaitu 1, 2, 2+, dan 3. Tingkat 2+ dibagi lagi menjadi 2A, 2B, dan 2C. Tolak ukurnya adalah sebuah pertanyaan dari dewa/dewi pembimbing yang merupakan salah satu keajaiban dunia gaib dan jawaban yang menurutku mencerminkan pola pikir dari si penjawab. Gambaran sederhananya mungkin bisa disebut sebuah pencerahan, tetapi sesungguhnya lebih dari itu. Untuk bisa lulus, sangatlah susah. Hebatnya, a-pa dan a-ma berhasil naik tingkat 1 dalam sekali coba. Di momen-momen itulah aku merasakan suatu puncak paling bahagia dalam hidup ini, yaitu melihat mereka bercanda dan saling mendukung satu sama lain, berbeda dengan dulu yang sering bertengkar. Sayangnya, puncak tersebut terlalu runcing. Tidak bertahan lama dan setelah a-ma meninggal, watak a-pa mengalami penurunan derajat. Ia menjadi lebih sering mencaci-maki dan mengeluh seperti gonggongan. Biar pun statusnya tingkat 1, bagiku ia bahkan lebih rendah dari umat biasa.

Sebenarnya, diri ini juga menyandang tingkat 1 setahun setelah a-ma meninggal. Aku tidak bermaksud menyombongkan diri seperti diriku sewaktu SMA. Aku juga benar-benar tidak menyangka, mengingat diriku seorang pendosa, terutama terhadap Alifah. Aku sempat mempertanyakan kenaikan tersebut pada diriku sendiri dan A-ni.

Ia memberiku sebuah pertanyaan yang terasa seperti cermin, “Apakah seorang pendosa menyadari dosanya?”

Lemparan pertanyaan tersebut juga layaknya sebuah granat yang meledak dalam hati. “Jadi, siapa yang layak disebut pendosa?”

“Orang yang masih melakukan dosa,” jawabnya.

Aku telah menghabiskan seumur hidupku untuk menjaga janji pada Alifah. Meskipun telah banyak wanita yang kucintai diam-diam, bahkan kurahasiakan dari A-ni, aku selalu menganggap mereka sebatas teman atau yang paling dekat, kakak adik. Ketika memutuskan untuk aktif di tempat ibadah selama masa pengangguran, aku bertemu kembali seorang perempuan manis dengan wajah telur puyuh. Kami terpaut tujuh tahun dan ia baru SMP kelas akhir. Kami memanggilnya Sia-Sia. Suaranya unik, tidak seperti Yuri yang cempreng, lembut dan nge-bass. Dari penampilan ia lebih cantik daripada Alifah.

Sia-Sia mirip dengan ibunya. Ia memiliki seorang kakak perempuan yang terpaut satu tahun. Dengan kakaknya pun aku memiliki cerita tersendiri. Tidaklah mudah untuk menarik perhatian mereka karena di awal-awal kami sangat asing. Mereka tahu siapa diri ini dulunya yang pernah berjaya di SMA sehingga dijuluki “otak mesin”. Karena itu, mereka seperti sangat segan. Hal itu yang tidak kuharapkan. Namun, di satu sisi, aku bisa lebih sering menghabiskan waktu dengan diri ini dan A-ni.

Lihat selengkapnya