Seperti halnya dikerumun kupu-kupu, disambut kerumunan anak-anak adalah salah satu hal yang paling membahagiakan dalam hidupku. Ketika dipecat oleh bos, aku mencurahkan semakin banyak tenaga dan pikiran di sana. Kepolosan mereka adalah tolak angin kejamnya dunia. Aku rela mereka sering terjatuh dengan kaki lebam atau berdarah. Lalu, diri ini akan datang dengan zambuk atau betadine dan mengobati rasa sakit mereka. Ucapan terima kasih mereka terasa sangat merdu, bahkan lebih merdu daripada suara Sia-Sia. Di antara mereka yang bersekolah minggu, ada seorang anak perempuan yang diam-diam menarik perhatianku. Coba tebak siapa lagi, bila bukan Wilona. Aku merasa ia berbeda dengan anak-anak lain, dari cara ia menatapku dan cara ia sering melamun.
Ia bahkan masih kelas empat saat itu. Namun, bila kuingat-ingat, sewaktu kelas empat, aku juga sering melamun, terutama ketika tidak ada teman. Ia akan berdiri, terdiam, lalu memandang kekosongan. Melihatnya, aku seperti melihat diriku yang dulu. Itu tidak berarti ia tidak memiliki teman sama sekali. Ia bahkan lebih hebat dariku dengan memiliki satu geng pertemanan yang berisi anak-anak yang hobi menari. Bila dibandingkan dengan diri ini, aku tidak memiliki geng-geng sepertinya. Aku seperti kupu-kupu yang suka terbang sendiri bersama imajinasi. Ketika kuamati, ia adalah anak yang periang bila bersama teman, tetapi pemenung ketika ditinggal sendirian.
Saat pertama kali menyadarinya, aku pikir ia memiliki masalah dengan orang tua. Pernah ketika aku membawakan sebuah materi tentang emosi marah, dengan sendiri ia mencurahkan isi hatinya padaku bahwa ibunya sering mengomelinya karena tidak dapat menjaga adiknya dengan baik. Aku baru tahu saat itu ia ternyata anak sulung. Sebagai sesama anak sulung, aku paham perasaannya. A-ma pernah bilang sebagai anak sulung, aku yang lebih dulu disayang, dicium, dan dipeluk. Setelah itu, kami yang lebih dulu ditelantarkan dengan hadirnya adik-adik yang baru. Tiada yang lebih menyakitkan selain melihat orang lain menerima sesuatu yang seharusnya menjadi milik kita. A-ma dengan tanpa memikirkan perasaanku mengingkari janjinya demi mengirim uang pada Valdy. A-pa dengan tanpa memikirkan perasaanku menyumpahiku menjadi orang tidak berguna karena tidak memberikan uang pada adik bungsuku untuk membayar SPP bulanan. Perasaan itu yang membuatku terhubung langsung dengan Wilona.
Setiap minggu aku akan mengamatinya diam-diam. Bila dibandingkan dengan kedua putri ketua tempat ibadah kami dan putra-putra ibu wakil ketua yang juga bersekolah minggu. Ia jauh lebih aktif dan cerdas. Sayangnya, ia tidak mendapat perhatian yang setara. Istri ketua dan ibu wakil ketua yang juga menjadi guru di sana lebih condong pada anak mereka sendiri. Tentu itu hal yang wajar mengingat naluri keibuan. Bila ibu Wilona juga menjadi guru di sekolah minggu aku yakin ia juga akan condong pada anaknya sendiri. Aku memiliki anak, tetapi tidak bisa mereka lihat. Yen-Yen sebenarnya sangat ingin berteman dengan mereka, tetapi sayangnya takdir terlalu kejam membuat ia tidak bisa dilihat anak-anak yang lain. Kong-Kong sedikit berbeda. Ia lebih suka berada di samping A-ni, alih-alih turun dan berkeliaran sana-sini. Meskipun begitu, karena tiada yang bisa melihat anak-anakku, aku selalu dianggap sebatang kara. Berkat itu, aku bebas dan mereka tidak bisa menemukan celah dari setiap tindakan yang kuambil.
Bila kubandingkan dengan ibu Alifah yang pernah menjadi wali kelas kami, mereka masih kalah jauh. Sentimen bahwa orang cina lebih baik daripada orang melayu yang sering digaung diam-diam oleh orang-orang di tempat ibadah kami, menurutku tidak sepenuhnya benar. Ibu Alifah rela memberikan juara kelas padaku meskipun nilaiku dan anaknya sama. Aku menanyakan alasannya pada saat itu, tetapi ia hanya tersenyum dan bilang tidak apa-apa. Ia pasti tidak mau orang lain meragukan kenetralannya sebagai seorang guru. Hal itu yang membuatku salut. Pernah terpikir olehku untuk mengundang ibu Alifah saja untuk mengajar di sekolah minggu tentang keadilan. Di sana akan aku ceritakan beliau guru hebat yang tidak memandang bulu. Sayangnya, posisiku saat itu di tempat ibadah tidaklah besar. Suaraku dengan mudah tenggelam.
Namun sebagai guru di sekolah minggu, aku bisa melakukan sesuatu. Setiap kali ada perlombaan aku akan menjadi juri dan dengan begitu aku bisa memastikan tidak ada praktik kecondongan yang terjadi. Yang layak menang yang akan menang. Salah satu perlombaan yang sering diadakan adalah lomba mewarnai. Bagiku, mewarnai adalah murni imajinasi dan aku tidak mau ternoda oleh bercak nepotisme. Sempat aku bimbang karena ketua tempat ibadah kamilah yang membawaku masuk ke dalam kepengurusan. Aku merasa diriku seperti seekor anjing yang menggigit tuannya sendiri. Seekor anjing, bila kupikir-pikir, tidak memiliki akal sehat. Ia tentu tidak akan tahu bila si tuan mengajaknya untuk membunuh. Jika ia tahu dan memiliki akal sehat, tentu ia akan berbalik dan bertanya pada tuannya kenapa harus membunuh. Dalam hal itu aku juga bukanlah anjing. Aku adalah manusia dan tahu mana yang benar. Aku juga tidak membenci istrinya atau pun ibu wakil ketua dan lain-lain. Aku hanya tidak suka dengan sifat kecondongan yang mereka tunjukkan. Beberapa di antara mereka sering menatapku dengan berbeda. Mungkin mereka tidak mengira sama sekali aku akan menjadi “kejam” dalam bayangan mereka. Kejam terhadap ketidakadilan.
Sebulan lebih setelah dipecat oleh bos, tanpa kusangka sebuah kabar beredar. Aku mendengarnya dari guru-guru lain, telah geger sebuah kasus penipuan saham yang di dalamnya terlibat bos, pak camat, dan beberapa orang. Bos mengalami kerugian setengah miliar, sedangkan pak camat hampir satu miliar. Yang benar-benar menggegerkan banyak orang adalah uang satu miliar yang dipakai pak camat adalah dana bantuan dari pemerintah. Tiada yang menyangka sama sekali. Baru kusadari itulah yang mereka bicarakan sehari sebelum aku dipecat. Bos ingin membawa masalah tersebut ke polisi, tetapi pak camat menolak karena takut polisi mengendus uang gelap yang ia pakai. Berita tersebut langsung mencocokkan semua kepingan puzzle yang kudengar waktu itu. Kerugian setengah miliar adalah angka yang sangat besar. Mungkin karena itulah bos sempat bertanya padaku bagaimana cara meningkatkan penjualan.
Di momen itu anak-anak telah pulang dan aku sedang menilai hasil lomba mewarnai yang mereka selesaikan. Istri ketua menghampiriku dan bertanya apakah aku sudah mendengarnya atau belum. Jawabku belum dan dari sana kabarnya mengalir. Pak camat ditangkap dan bos ikut terseret. Pelakunya melarikan diri. Menurut desas-desus, ke Kalimantan. Aku benar-benar mematung di tempat. Pikirku, mungkin semua itu hanya desas-desus. Bos bukanlah orang bodoh yang dengan mudah dikibuli. Ia ibaratkan seekor serigala yang rela berpura-pura menjadi domba malang demi melihat siapa serigala sesungguhnya. Jujur, setiap kali ia meminta ideku, selalu terlintas apakah ia hanya sekadar memanfaatkanku atau bukan. Ide adalah sesuatu yang mahal. Melaluiku, bos bisa mendapatkannya dengan murah. Ia pernah memintaku merancang sebuah denah sederhana dari tanah yang baru ia beli. Isi denah yang ia mau adalah kawasan usaha yang berencana ia bangun. Aku menyukai konsepnya, transmart tetapi dalam bentuk kompleks perumahan. Sayangnya, bahkan belum selesai, aku telah dipecat.
Setelah mengantar Wilona pulang ke rumah, aku mampir ke toko. Mata Yuri yang melihatku langsung membelalak. Memang sejak aku dipecat, aku tidak pernah mampir ke toko. Sambil ia melayani pembeli, kami berbicara.
“Jadi, benar ya, Ce?”
“Benar,” jawabnya. “Polisinya datang dan menyeret a-ko. A-ce sampai mencak-mencak. Baru kemarinlah. Benar-benar stres!”