Apa yang kuharapkan sebenarnya sederhana, yaitu a-pa dapat sadar bahwa tidak semua yang terjadi selalu menjadi salahku. Ia sebagai a-pa juga telah gagal mendidik anak-anaknya. Bila dibandingkan dengan a-ma, jelas a-ma lebih baik. Ia hanya tahu bekerja dan menghidupi anaknya, tetapi tidak tahu cara membesarkan hati anaknya. A-pa selalu beranggapan bahwa membesarkan seorang anak adalah melulu kebutuhan fisik. Kebutuhan mental dan kasih sayang justru yang paling penting. Banyak anak-anak di sekolah minggu yang kurus-kurus, tetapi kulihat mereka sangat bahagia, bahkan lebih bahagia dari diriku yang dulu gemuk. Memang kupikir lagi mana ada ayah di dunia ini yang pernah mengajari anak mereka merokok dan membiarkan anak mereka melihat ketelanjangan. Ia juga tidak segan-segan mengeluh sambil memaki di depan anak-anaknya, sesuatu yang sering ia lakukan di depan a-ma ketika a-ma masih ada. Mungkin hanya a-pa yang seperti itu. Ia benar-benar tidak paham bagaimana menjadi seorang ayah. Bila bukan karena a-ma, mungkin aku telah membencinya sejak lama.
Aku dengannya memakan nasi yang berbeda. Memang tegang kondisi saat itu. Tiada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, begitupun mulutku. Penanak nasi di rumah hanya satu. Aku berencana membeli yang baru, tetapi tidak kesampaian semenjak masalah bos keluar. Maka, setiap kali A-lia selesai menanak nasi, aku akan memindahkan semua nasi tersebut ke mangkok lain, mencuci kembali wadah penanak nasi, dan memasak nasiku sendiri yang kucampur dengan nugget, sosis, tempe, jagung, dan menu lain yang bisa kubeli dengan murah. Di momen itu bila tidak sengaja berpapasan denganku, rasanya seperti terdapat energi yang saling bertolak menolak membuatnya dengan sendiri membalik badan. Ia tidak membalik badan begitu saja. Biasanya ia akan berjalan melewatiku, mengambil sesuatu yang tidak pernah jadi diambilnya, lalu berjalan keluar dan merokok. Aku menjadi lebih sering melihat punggung daripada wajahnya. Jika ia kehabisan rokok, maka ia akan meludah.
A-lia denganku menjadi asing. Biasanya setiap kali ada masalah sepele apa pun, ia akan menceritakannya padaku. Sayangnya, ia memilih pihak a-pa, pihak yang aku yakin tidak akan pernah bisa diajak curhat dengan mudah. Memang aku tidak tahu apa yang terjadi saat aku tidak ada karena aku tidak bisa melihat mereka di belakangku. A-pa pernah bilang seperti ini padaku, “Dari tiga anak, harapanku sekarang hanya A-lia. Tahun depan ia lulus dan kerja di Jakarta. Aku sudah bilang padanya jika ia masih sama seperti kedua kakaknya, aku tidak bisa bilang apa-apa.”
A-pa suka mengatakan sesuatu seolah-olah dirinya yang menderita, padahal ia telah lupa berapa banyak rokok kenikmatan yang ia isap dan berapa juta investasi togel yang telah ia investasikan. Bila rokok kenikmatan habis, a-ma yang menjadi sasaran, lalu ketika a-ma pergi, giliranku. Jika investasinya tidak berjalan sesuai keinginannya, ia tidak akan ragu-ragu mencaci-maki di depanku, bahkan A-lia. Mungkin A-lia terlalu muda sehingga tidak bisa melihat lebih jelas sifat a-pa yang sesungguhnya. Mungkin juga ia tahu, tetapi terlalu takut untuk membangkang.
Ia benar-benar memilih untuk tetap berada di samping a-pa. Namun, aku paham perasaannya. Tidak mudah menjadi patung yang berdiri di samping a-pa dan mendengar semua ocehannya yang benar-benar di luar nalar. Kelamin perempuan dan laki-laki digabung menjadi satu, belum kata-kata sial, nasib buruk, yang benar-benar lebih buruk daripada baygon sekalipun, sampai-sampai aku rasa bunuh diri meminum baygon pun tidak akan sesakit mendengar semua ocehan a-pa. Sering aku berharap bos adalah a-pa. Paling parah jika ia marah, ia hanya akan uring-uring tidak jelas. Jika bertengkar dengan istrinya pun tidak pernah sampai memakai kata-kata kasar. Selain itu, aku juga berharap a-pa seperti ji-chong, suami adik bungsu a-ma. Biar pun ia pendiam dan jarang disukai orang, ia paham bagaimana menjadi seorang ayah. Hal itu aku rasakan sendiri. Perbedaan sangat kentara yang membuatku sampai memanggil papa dengan sebutan ji-chong, padahal baru dua minggu menginap di sana. Ji-chong tidak seperti a-pa yang tidak pernah menemani anak-anaknya bermain. Ia tidak seperti a-pa yang suka mengoceh dan menganggap anak-anaknya sebagai pelampiasan dari semua ketidakadilan yang ia alami. Ia juga tidak seperti a-pa yang jika menghadapi suatu masalah langsung emosi dan menganggap nasib benar-benar jahat. Tidak heran pikirku, keluarga kami tidak banyak berubah, kecuali usia yang makin tua.
A-pa tidak tahu sama sekali aku meminjam uang jiji saat itu demi menggaji Yuri. Jika ia tahu, masalah akan runyam. Lagi pula, tidak ada alasan bagiku untuk memberitahunya. Ia hanya akan membuat masalahku semakin rumit dan tidak selesai-selesai. Namun, ia tahu masalah bos karena saking geger satu Belinyu. Terkadang ia memakai hal tersebut untuk menyindirku. Yuri tidak tahu sama sesekali pertikaianku dengan a-pa, bahkan Sia-Sia pun tidak tahu saat itu. Maka, ketika Sia-Sia mengambek gara-gara Yuri, hal tersebut sungguh menambah beban pikiranku.
Berulang kali aku menghubunginya selama sebulan lebih, tetapi ia tidak mau menemuiku. Ia bahkan tidak pernah aktif di tempat ibadah semenjak melihat Yuri. Aku memiliki sebuah ide untuk mengajak Yuri dan Lukas menemuinya. Hal itu akan menjadi bukti bahwa aku dan Yuri tidak memiliki hubungan apa-apa. Ia sebenarnya pernah melihat foto Yuri dan Lukas yang sebenarnya terasa menyakitkan saat kulihat terus-menerus. Akan tetapi, ia tetap tidak percaya dan mengira semua itu rekayasa.
Memang tiada cara lain, selain membuat mereka bertemu langsung. Sempat rasanya aku ingin mengajak mereka ke rumah Sia-Sia dan aku sudah yakin saat itu. Namun, baru hendak meminta bantuan Yuri, aku terbayang dengan apa yang akan dipikirkan oleh ayah dan a-ma Sia-Sia. Aku membawa pasangan lain untuk meyakinkan putri mereka bahwa aku tidak berselingkuh, sementara itu hubungan kami bahkan tidak jelas. Aku bahkan tidak tahu perasaanku seperti apa saat itu. Rasanya benar-benar campur aduk. Di satu sisi aku tidak tega melihatnya terbelenggu perasaan marah dan iri yang membuatnya mengambek. Aku tidak ingin sekolahnya hancur atau pertemanannya renggang. Salah satu buktinya, ia menjadi jarang aktif di tempat ibadah. Di sisi lain posisinya dalam hidupku belum jelas. Ibarat eksperimen, ia seperti sebuah variabel yang terlanjur kutelusuri.
Di momen-momen yang memusingkan seperti labirin tersebut, istri bos mencariku sampai ke sekolah minggu. Ia bilang a-pa memintanya ke sana. Di sana pula ia bertemu dengan Yuri. Sebenarnya, hubungannya dengan Yuri tidak begitu akrab mengingat Yuri adalah karyawan kesayangan bos. Apalagi saat itu hubungannya dengan bos belum dikaruniai anak, tentu ia takut bos akan melakukan hal-hal di luar nalar. Aku yang sedang menemani anak-anak bermain sepakbola terpaksa menyerahkan tugas itu pada Yuri. Kami berbicara di gazebo yang terletak samping kolam ikan yang ikannya telah hilang. Pada awalnya, ia tidak langsung berterus terang apa maksudnya mencariku. Ia menanyakan kondisi diri ini sambil sesekali perhatiannya tertuju keluar pada anak-anak yang bermain dengan riang. Di momen itu ia tersenyum samar. Yang terlintas dalam benak, jika saat itu keluarganya sedang tidak bermasalah, aku yakin ia akan turun dan bermain dengan anak-anak.
“Sungguh tempat yang indah,” ujarnya sambil terus memerhatikan mereka bermain. Kata-kata itu selalu kuingat karena bagiku tidak mungkin ia akan mengucapkannya ketika suaminya sendiri terkena masalah. Aku sendiri ketika bermasalah dengan a-pa, seluruh dunia menjadi gelap, bahkan Sia-Sia terkadang hampir memicu emosiku.
“Memang indah, Ce. Melihat mereka tertawa, aku juga ikut tertawa.”
“Jadi, ini alasanmu selalu menolak masuk pagi kalau hari minggu. Coba bilang dari awal. A-ce juga bisa tahu ada tempat seperti ini.”
“A-ce mau coba bermain dengan mereka?”
Ia mengangguk yang membuatku semakin tidak percaya sebesar itu ternyata rasa cinta dan pengharapannya pada seorang anak. Kulihat ia turun dari gazebo, lalu perlahan-lahan ikut bermain. Dari yang kulihat ia memang tidak pandai bermain bola, tetapi anak-anak itu juga tidak begitu pandai. Aku yakin juga bukan itu yang ia harapkan. Ia tertawa, menggendong seorang anak, lalu membawanya berlari mengejar bola yang menggelinding seperti nasib bos yang masih belum jelas. Di momen yang singkat itu aku sadar ia lebih cantik dari yang terlihat.
Setelah kelas berakhir, ia kembali ke gazebo dan berterima kasih padaku atas sesuatu yang tidak kulakukan. Ia bilang, “Terima kasih sudah meringankan beban pikiranku.”
Sampai saat itu, tidak pernah sekalipun seseorang berkata demikian di depanku bahwa pikirannya meringan seperti kertas.
Ia tersenyum dengan lesung pipit sebelah, lalu berkata, “Kalau bukan karena ingin mencarimu, a-ce tidak akan kemari.”
“Memangnya ada apa, Ce? Urusan a-khiu?” simpulku.