Tawaran dari bos mengingatkanku dengan tawaran kerja di nippon paint yang pernah jiji, adik bungsu a-ma, berikan sewaktu a-ma masih ada. A-ma bahkan saat itu duduk semeja denganku, menghadap langit malam dari halaman terbuka. Ia menerima telepon, lalu sesaat kemudian, bertanya padaku mau tidak bekerja di Jakarta. Kutanya lebih dulu tentang syarat karena pikirku aku hanya seseorang yang tidak lulus kuliah, tidak bertitel, dan juga pengalaman. Kelayakan apa yang membuatku bisa bekerja di sana, apalagi sebesar nippon paint, dan jika aku terima, bagaimana cara kerjanya. Sebenarnya, pekerjaan itu ditawari oleh sepupu ipar jiji yang kupanggil thai-ku. Thai-ku memiliki saudara perempuan yang bekerja di sana. Saat a-ma memberi ponselnya, kudengar dari jiji ada posisi kosong di bagian administrasi karena karyawan lamanya mengundurkan diri. Ia bilang gaji awalnya mungkin sebatas UMR, tetapi lama-lama akan naik. Sekilas terdengar bagus. Hanya saja, aku tetap ragu karena titel tidak lulus yang kumiliki. Jiji bilang itu tidak apa-apa karena saudara thai-ku sangat dekat dengan si direktur. Maka, hal tersebut gampang dibicarakan.
Kulihat wajah a-ma berseri-seri menanti jawabanku. Saat itu Valdy telah bekerja di Jakarta, ia pasti berharap aku juga sama dengan Valdy. Kehidupan ekonomi keluarga kami akan terangkat. Namun, di satu sisi kami tenggelam dalam kawah nepotisme. Jika kubayangkan diri yang sekarang ini sukses karena menerima tawaran tersebut, lalu ada yang bertanya rahasia kesuksesanku, dan kujawab karena nepotisme. Sungguh ironi rasanya mengingat diriku telah berjanji bahwa tidak ingin kesuksesan hidupku ternoda oleh nepotisme. Jika aku lebih condong pada nepotisme, sudah lama aku menjilat anak istri ketua dan wakil ketua tempat ibadah kami dan terus mendukung mereka memenangkan setiap lomba, terlepas dari layak atau tidak. Diriku yang saat itu meminta waktu tiga hari untuk berpikir. Walaupun pada akhirnya, aku membuat mereka kecewa dengan pilihanku, terutama a-pa.
Cerita a-ma, kopi yang dipegang a-pa sampai tumpah karena mendengarku menolak pekerjaan yang telah pasti mendapat gaji daripada animasi yang sedang kutekuni. Sempat kupikir diriku sangat bodoh, terutama ketika melihat a-ma pergi di depan mata. Seharusnya, kuterima saja dan memakai semua gaji haram itu untuk membawa a-ma ke rumah sakit. Namun, sempat juga terbayang bagaimana jika a-ma tidak pernah sembuh dan tetap pergi meski semua gaji haram itu telah kuhabiskan. Maka, pekerjaanku, hidupku, juga tidak berguna sama sekali. Pertama aku telah kalah oleh nepotisme, kedua oleh takdir. Aku tidak bisa melawan takdir. Namun, untuk nepotisme, masih sanggup dilawan, bahkan menjadi sebuah keharusan.
Berbeda dengan tawaran jiji, tawaran bos kali itu adalah murni hasil kerja keras. Aku tidak perlu menjilat siapa pun, bermuka dua di depan siapa pun, atau memanfaatkan sebuah instansi untuk maju. Semua itu murni hasil keringat, darah, dan jiwa yang kelelahan sejak lama. Sehingga tiada aturan yang kunodai dengan menerima tawaranku. Aku sudah sering dipandang sebelah mata, bahkan menganggap diri sendiri bodoh. Kali itu, aku menjadi cerdas dan tidak membiarkan kesempatan kedua tersebut hilang dari dekapan.
Membuat sebuah toko maju dalam waktu yang sangat dekat tidak semudah menonton sulap yang ting langsung keluar sesuatu. Jika ada semacam mantra yang bisa kupakai, maka telah lama kucari dan kusukseskan diriku lebih dulu. Sebenarnya, ada satu kesempatan, yaitu bakat gaib yang dimiliki mendiang kung-kung. Ia pandai meramal togel, bahkan sampai tujuh angka, tetapi sayangnya, kepandaian itu selalu dirasakan orang lain. Yang ia dapat hanya sekaleng koin. Sekali ditendang, langsung berhamburan. Aku yakin kung-kung terlalu marah sehingga menendang kaleng koin pemberian orang begitu saja. Mungkin orang tersebut juga terlalu pelit karena hanya memberi kung-kung sekaleng koin sementara uang yang didapatnya mungkin lebih banyak. Namun, aku yakin di balik tendangan itu kung-kung juga pasti marah pada dirinya dan bertanya-tanya kenapa bukan ia yang memenangkan togel.
Sebenarnya, jika ada orang seperti kung-kung lagi, aku akan mengajak bos menemuinya dan mencoba sedikit peruntungan. Membeli empat angka dalam jumlah besar, lalu ketika menang, toko yang satu akan buka kembali. Sungguh rencana yang bagus dan mungkin itu yang selalu dipikirkan oleh a-pa setiap kali menginvestasikan uangnya di bandar togel. Seharusnya, jika memang investasi tersebut berhasil dan ada jaminan, maka mungkin saat itu a-pa telah kaya dan aku tinggal menerima warisan. Justru karena faktor ketidakpastian dan keacakannya itulah, bos pernah menasihatiku jauh-jauh hari, hal begituan tidak layak dijadikan sandaran, yang ada malah menyia-nyiakan waktu dan usaha, persis seperti ketegaanku terhadap Sia-Sia.
Saat bos meneleponku dan mengajak bertemu di toko istrinya, aku belum datang dengan sebuah ide yang menurutku sangat brilian. Ide yang ada terasa sangat kuno, yaitu menaikkan harga jual. Keuntungan yang didapat semakin berlipat. Risikonya satu, yaitu toko akan dicap sebagai toko sultan, sedangkan kondisi Belinyu saat itu sedang tidak pasti. Jika aku memiliki toko dan barang-barangku dicap mahal, lalu dari mulut ke mulut kabar itu menyebar, pelanggan yang sering datang pelan-pelan juga akan berpindah ke toko yang katanya lebih murah. Aku yakin dengan begitu keuntungan yang seharusnya besar memang berhasil didapat, tetapi hanya dari segelintir orang yang mungkin telah setia pada toko. Toko-toko yang menjual lebih murah mungkin akan untung lebih banyak malahan karena banyak yang membeli. Aku juga yakin istri bos telah memiliki pemikiran seperti itu karena ia adalah pemain lama yang jelas lebih berpengalaman.
Pertemuan pertama kami tidak menghasilkan apa-apa, kecuali waktu tambahan. Di waktu tambahan aku benar-benar berpikir keras. Rasanya seperti sedang mengikuti lomba matematika yang mengembalikanku menjadi manusia berwajah datar. Satu keanehan yang kusadari pada diriku sendiri pada waktu itu. Setiap kali berpikir terlalu keras atau terlalu serius tanpa kusadari anak-anak menjauhi diri ini. Mereka hanya ingin mendekatiku bila yang kupikirkan tidak ada dan murni hanya ingin bermain bersama mereka. Kepolosan kita yang mereka mau. Namun, sebagai orang dewasa rasanya susah untuk kembali polos. Kita telah tahu dan mengalami banyak hal yang membuat kita lebih kompleks dari yang terlihat. Aku bisa saja dengan mudah bercerita diri ini tidak memiliki masalah sedikit pun, tetapi pada kenyataannya, tidak. Kebanyakan bukan masalahku, tetapi masalah mereka.
Rasanya menyakitkan melihat anak-anak menjauh dan mungkin itu yang dirasakan a-pa saat melihat aku menjauhinya. Bukan tanpa alasan aku menjauhi a-pa. Aku hanya ingin ia sadar ia telah gagal menjadi seorang ayah dan harus memperbaiki diri. Tubuhku semakin kurus karena yang kumakan setiap hari hanya nasi putih dan dua potong nugget. A-pa dan A-lia terkadang nasi padang, terkadang nasi uduk, pecel lele, dan menu menggiurkan lain yang tidak mau kubeli. Aku bisa membelinya, tetapi tidak mau. Ia pun terlihat cuek dan tidak menyadari kesalahannya sama sekali. Mungkin ia berpikir, dengan mandirinya diriku ia telah kehilangan satu beban yang paling besar. Memang tidak mudah memiliki a-pa sepertinya. Rasanya ingin sekali mengutuk dengan makian kasar. Terlalu berat bagiku untuk memaafkannya setelah semua ketidakadilan yang ia timpakan padaku. Berat dan terlampau berat, tetapi ada satu sisi yang terus kumusuhi, yaitu sisi yang memintaku tetap berharap ia bisa berubah. Selain itu, ada satu hal lagi yang kutakutkan, yaitu A-lia menjadi seperti a-pa. Beberapa kebiasaan buruk a-pa seperti meludah sembarangan perlahan-lahan diserap oleh adikku tanpa disadarinya, padahal ia adalah perempuan. Biar pun ia bisa memilih pilihannya sendiri layaknya Kartini, tetap saja ia adalah seorang perempuan. Jika ia seperti a-pa yang tidak paham bagaimana cara menangani anak, aku takut keluarganya juga akan hancur seperti kutukan yang a-pa alami. Rasanya memang lebih tepat disebut kutukan karena telah terjadi sejak generasi a-pa. Tidak mudah untuk mengubah diriku, tentu tidak mudah juga untuk mengubah dirinya.