Memori Sonata

🕯Koo Marko✨
Chapter #26

Bab 11: Na, Kembali (Bagian II)

Dari hari ke hari aku merasa ke mana pun aku pergi selalu ada hujan masalah. Ku-pho yang dulu sangat membantu a-ma ketika a-ma sakit bahkan mencariku. Dulu ia memiliki mobil dan sopir harian yang sekali antar bisa sampai 500 ribu. Mendengar namanya, tiada yang tidak kenal, bahkan tukang parkir di depan rumah pun tahu ia siapa. Mereka memanggilnya sultan. Bos saja yang dulu pernah membuka toko aluminium dan memiliki enam tukang saja tidak pernah disebut sultan, bahkan aku sendiri tidak mengenal bos sebelum bekerja untuknya. Semua kekayaan itu datang dari bisnisnya yang lain daripada yang lain, yaitu gali lubang tutup lubang. Para pemegang saham dalam perusahaan fiktifnya adalah rentenir-rentenir haus darah yang ditakuti oleh a-pa dan a-ma. Cukup sudah dulu a-pa dan a-ma bermasalah dengan rentenir. Mungkin karena itu mereka tidak pernah berani mengkredit sebuah laptop atau komputer untukku. Ketakutan yang dimiliki oleh a-pa dan a-ma tidak dimiliki oleh ku-pho. Sepertinya pepatah lama sungguh benar, untuk menjadi sukses harus berani. Keberanian juga ibarat air yang sanggup menahan kapal, sanggup juga menenggelamkan. Bisnis penuh risiko tersebut akhirnya memakan ku-pho hidup-hidup. Tiada yang tersisa, kecuali raut wajah yang membuat hatiku bergetar ketakutan. Tua seperti penyihir.

Kedatangannya seperti Valdy yang sedikit-sedikit merogoh saku. Ia selalu bertanya dengan maksud tersembunyi, apakah aku masih ingat dengan apa yang telah ia perbuat demi a-ma, demi kami, ketika kami sulit. Ia sebenarnya pernah menawari a-ma untuk membiayai kuliahku, tetapi jiji menolak dengan keras. Jiji seperti seorang peramal. Jika waktu itu a-ma menerima tawarannya, memang aku akan bergelar sarjana arsitek, tetapi leherku telah terpasung dan jiwaku hanyalah seekor anjing yang bisa disuruh dengan mudah olehnya, persis seperti maksud pertanyaannya. Aku yakin ia pasti berpikir budi yang dulu ia tanam sudah layak dipanen. Sayangnya, ia tidak tahu aku orang tidak berbudi yang telah dipandang durhaka terhadap ayah sendiri. Karena itulah kenaikan tingkat duaku banyak diperdebatkan.

Sejak kecil aku selalu mengira jika seseorang menolongku dengan beberapa lembar uang, itu berarti aku menerima budi. Sampai kapan pun, budi orang tersebut tidak akan pernah bisa terbalaskan, tidak peduli seberapa banyak uang tersebut. Seiring berjalannya waktu dan aku yang mulai bekerja sendiri, pikirku, hal tersebut sangat konyol. Jika uang yang diberikan saat itu hanya seribu yang mana hanya setara dengan satu vitacimin ia telah mendapat pelayananku seumur hidup, alangkah murahnya budi tersebut. Aku bukanlah seorang budak layaknya orang Afrika yang dibawa ke Amerika zaman dulu. Dirantai, dipasung, dan dipaksa bekerja, terus mendapat upah sepiring nasi mirip nasi anjing. Bahkan, dari waktu ke waktu orang Afrika mulai menunjukkan bahwa mereka adalah manusia, bukanlah makhluk aneh yang berwajah hitam. Jadi, yang kulakukan saat itu adalah mengambil kalkulator dan menghitung semua uang yang pernah kuingat. Berapa hasilnya itu yang kuberikan. Budi uang yang ia tanamkan telah ia panen, tetapi tidak dengan budi kasih sayang. Dua hal itu sangat berbeda bagiku. Di dunia ini mungkin hanya jiji dan ji-chong yang layak menjadi nyonya dan tuanku. Budi kasih sayang yang mereka tanamkan sampai aku menjadi tanah pun tidak akan sanggup dibayar. Memang a-pa dan a-ma yang membawaku ke dunia. Akan tetapi, membawa saja tidak cukup. Seperti halnya berkebun, harus dipupuk dan disiram dengan kasih sayang yang murni dan tulus tanpa mengharapkan imbalan. Itu baru orang tua bagiku.

Sungguh pohon yang kutinggali telah sangat tinggi sampai sering diguncang angin. Namun, berkat dukungan keajaiban dunia gaib, aku berhasil melewatinya satu per satu. Masalah yang sebenarnya bukan masalahku juga berdatangan. Mungkin itulah sifat manusiawi. Rumah kecil untuk hari kini yang berhasil kubangun dari uang tanpa nepotisme selalu ramai dengan masalah, tetapi jika tidak ada masalah, sepi bagaikan kuburan. Telah kuceritakan pada kalian posisi rumah ini jauh di dalam dan tersembunyi. Tanpa arahan, jelas akan tersesat seperti dalam labirin.

Namun, kabar adalah burung yang tidak terlihat. Ia bisa menembus dinding baja sekalipun. Kudengar Win-Win telah memiliki anak. Alifah sendiri sudah menikah untuk yang kedua kali setelah suami pertamanya meninggal karena kecelakaan. Sia-Sia, yang sebenarnya masih sangat menyakitkan ketika mendengar kabarnya, juga telah melahirkan anak ketiga di usianya yang ke-35 tahun. Semua itu telah kudengar, tetapi kabar Wilona tidak kunjung datang. Senja ini hampir berakhir. Kelihatannya benar. Ia pasti akan menikah.

Jika kalian bertanya sebenarnya apa yang ia perhatikan dariku, aku hanya bisa menghela napas. Kebiasaan hidup super irit sewaktu bekerja dengan bos menyebabkan fungsi ginjalku bermasalah. Awalnya tidak terasa apa-apa, kecuali mudah merasa lelah dan warna urine yang berubah. Setelah diperiksa, ternyata gagal ginjal kronis. Efeknya memang sangat lambat dan berjangka. Tiada yang bisa kukatakan saat tahu semua ini telah terjadi. Rasanya diri ini telah sangat tua dan rentan. Bila bukan karenanya dan juga A-ni, aku tidak akan bertahan sampai sekarang. Semenjak jiji meninggal karena kanker tulang, ia menjadi satu-satunya perempuan yang membuatku merasa dekat, selain A-ni. Sempat posisi ketua tempat ibadah kosong, ia mendapat tawaran, tetapi ditolaknya mentah-mentah. Ia tidak terlihat seperti diriku yang selalu berpikir sanggup melakukan segala hal. Namun, ia sama denganku yang setiap kali ditanya kenapa selalu memberikan jawaban yang mendua. Memang tiada yang bisa menerka apa maksudku, begitu juga aku yang tidak bisa menerka apa maksudnya. Tangan yang hina ini tidak bisa menyentuhnya dengan bebas seperti aku menyentuh Alifah, atau bercanda dengan Yuri, Win-Win, dan perempuan lain. Di mata yang kotor ini kemurniannya sungguh terang, persis seperti senyum bulan yang hanya ia miliki. Sempat kupikir kenapa waktu sangat kejam membuatku terlahir lebih awal. Jawabannya, jika aku terlahir lebih lama, mungkin ia akan berakhir seperti Alifah.

Sungguh yang namanya waktu, tiada yang bisa melawan, bahkan Einstein membenarkan hal ini. Tiada yang sanggup melebihi kecepatan cahaya, maka dengan begitu tiada yang sanggup melawan waktu. Waktu akan terus maju. Bila pintar memanfaatkan, akan menjadi emas. Bila tidak, terbuang begitu saja seperti aliran air di mesin cuci yang tergenang keluar melewati saluran pembuangan. Usia Wilona kini telah 30 tahun. Jadi, ada baik dan bagusnya ia menikah, daripada menghabiskan masa matang dengan diri yang kotor dan hina ini. Sebenarnya, telah ada beberapa pria yang secara terang-terangan menyukainya. Sungguh hatinya yang terlalu keras tidak luluh sedikit pun. Jika sekarang ia luluh, itu berarti pria kemarin memang pria yang benar, yang dapat diandalkan dan dijadikan sandaran. Pemimpin, sekaligus nakhoda.

Di penghujung senja ini, aku hanya ingin membayangkan masa depan yang indah seakan-akan telah hidup di sana. Valdy yang sampai kini belum memiliki anak jika ia menghentikan kebiasaan merokoknya yang sehari tiga bungkus, ia akan memiliki seorang anak. Wajah anak mereka akan mirip ibunya, daripada Valdy. A-lia yang putrinya telah SMA tidak lama lagi akan bekerja dan mungkin membuatnya menimang cucu. Anak-anak jiji dan ji-chong telah berkeluarga dan memiliki hidup yang bahagia. Kesehatan bos dan istri bos yang semakin rentan tidak akan menurunkan semangat mereka untuk menimang cucu ponakan. Yuri, Win-Win, dan Alifah, mereka telah memiliki hidup yang bahagia sehingga tidak perlu dibayangkan. Teruntuk Sia-Sia, aku tidak tahu kehidupan apa yang bisa kubayangkan. Aku yakin keinginannya semenjak ia melahirkan anak pertama untuk berlibur ke Korea dapat terwujud. Lalu, untuk Wilona, aku yakin masa depannya akan menjadi momen yang selalu kuingat. Mungkin kertas memori yang berlabel intan, bukan emas lagi.

Ia akan datang dan membuat rumah ini terasa ramai dengan tawa wilona-wilona kecil Ia tidak sendirian. Ada Valdy, A-lia, Yuri, Win-Win, sampai Sia-Sia, juga datang meramaikan rumah ini. Setelah mereka pulang, Wilona akan meminta izin suaminya untuk menemaniku beberapa saat. Anak-anaknya menunggu di motor bersama ayah mereka.

Ia mengatakan sesuatu yang membuatku langsung teringat dengan jiji. “Jaga kesehatanmu, Ko. Aku tidak bisa sering menjengukmu seperti dulu lagi.”

“Aku paham,” jawabku, yang kemudian akan melihat ke luar jendela. Di halaman yang penuh kebun bunga hasil karya Wilona sendiri, anak-anaknya menunggu bersama ayah mereka. “Aku bisa menjaga diriku sendiri mulai sekarang.”

“Ko, lihat aku,” ujarnya yang membuat wajahnya yang selalu terasa indah kembali ke mata.

“Iya?” Rasanya tidak mudah untuk tetap tersenyum melihat wajahnya yang mulai mendung.

Alih-alih melanjutkan perkataannya, ia berpamitan padaku. Ia pasti akan seperti itu. Mungkin ingin meminta maaf atau berterima kasih.

Kepergiannya akan menyisakan bayangan A-ni, Yen-Yen, dan Kong-Kong yang telah menua dan dewasa. Melihat A-ni menua, Yen-Yen dan Kong-Kong dewasa, rasanya sangat menyakitkan, membuatku teringat kembali dengan masa-masa mereka menemaniku dulu, saat aku dan A-ni bertengkar, saat-saat kami bercanda yang benar-benar membuatku berharap bisa kembali. Semua kertas memori ini seakan-akan berserakan di dalam benak. Sebenarnya, pernah kupikirkan pada akhirnya merekalah yang selalu ada di sampingku. Namun, kini A-ni sendiri seperti masih menghilang. Pernah rasanya aku ingin kejam dan melupakan mereka, serta menjalani hidup seperti biasa. Namun, semua itu hanya semakin membawaku mencari mereka bagaikan magnet dan kutub utara. Aku tidak tahu apakah mereka akan tetap setia menanti suami dan ayah yang hina ini. Di bayanganku mereka akan tetap seperti itu.

Sekarang senja di luar biarkan tetap di luar. Tubuh yang rentan ini membutuhkan sandaran. Bersama denganku sepanjang hari memang seperti inilah rasanya. Mendengarku bercerita, membayangkanku melamun, sesungguhnya tiada yang istimewa, kecuali imajinasi. Begitu duduk di sofa, rasanya ada yang kurang bila tidak membawamu kembali pada diriku yang sedang duduk di ruang TV rumah lama, dengan lukisan Dewa Tertinggi dan jam yang terus berdampingan di depan dinding, A-ni yang masih muda, Yen-Yen yang masih kecil, dan Kong-Kong yang masih sering digendong A-ni. Mereka mendengarku bercerita tentang masa lalu dan masa depan yang sejujurnya lebih indah begitu terwujud, sama sepertimu.

“Sungguh inikah keajaiban yang kau maksud, Ni?”

Dulu ia pernah bilang padaku akan terjadi suatu keajaiban dan di saat itulah, kami akan pergi. Ia bukan malaikat pencabut nyawa. Kami akan pergi layaknya pindah rumah. Sempat kukira keajaiban yang dimaksud adalah saat semua usahaku membuahkan hasil dan hidup bertengger di pohon nan tinggi. Sayangnya, ia tidak pernah menjemputku. Yang berarti itu bukan keajaiban sesungguhnya.

Keajaiban yang ia maksud sesungguhnya adalah mimpiku sendiri. Valdy dan A-lia telah memiliki keluarga yang baik, yang awalnya kukira akan berakhir seperti a-pa dan a-ma. Di sanalah letak keajaiban yang sesungguhnya. Setelah keajaiban tersebut, yang kurang hanyalah waktu. Sebelum akhirnya, segala hal akan menjadi milik kami.

Lihat selengkapnya