“Seberapa unik cara kalian saling kenalan? Comblang?” candaku.
“Dasar tua!” ketusnya, tetapi terdengar pelan.
Aku tidak merasakan niat dalam kata-kata barusan. Ia seperti sekadar mengatakannya saja. Lain dari itu, tiada kerikil atau pecahan kaca jiwa yang membekas. Mungkin kalian akan mengira aku baik-baik saja dengan bercanda dan bertanya sebijak tadi. Namun, sesungguhnya sangatlah sulit.
Apa yang kunanti sekarang adalah kata-kata pertamanya. Jujur rasanya lebih mudah mendengar ia berbicara lebih dulu, lalu dari sana baru merespons. Dengan ia berbicara lebih dulu, rasanya juga lebih mudah membongkar isi kepalanya yang berbelit-belit. Namun, ia bukanlah perempuan bodoh. Dalam kondisi ini ia pasti akan memilih diam dan menilai bagaimana cara aku memperlakukannya. Sungguh rasanya seperti bermain catur saja. Menebak langkah dan maksud dari tindakan lawan.
“Apa yang terlintas saat kubilang gaun kemarin?” tanya Wilona tiba-tiba yang membuatku bingung dan senang di saat bersamaan. Aku bingung karena tidak tahu harus menjawab apa, tetapi rasanya senang karena ia yang memulai lebih dulu.
“Eh ....” Namun, ingatkah kalian ia pernah menyinggung tentang gaun kemarin? Aku sungguh lupa.
“Gaun yang mana?” tanyaku.
Ia tidak mengatakan apa-apa dan membunuh percakapan kami begitu saja.
“Aku sungguh lupa. Maaf. Tapi, gaun apa yang kau maksud? Apakah gaun pernikahan?”
“Sudah kuduga,” balasnya lagi yang mungkin kurang dari sedetik.
“Apa yang kau duga?”
“Aku yakin kau pasti tidak menangkap maksudku kemarin.”
“Oh, jadi kau ingin memberitahuku kemarin?”
Ia mengangguk di dada, lalu berkata, “Kau jangan salah paham. Aku tidak bermaksud menutupinya darimu. Aku hanya terlalu takut, tapi tidak tahu apa yang kutakuti sesungguhnya. Di satu sisi aku paham kau tidak akan pernah mau bersamaku. Maka dari itu, aku terima lamarannya. Rasanya takut hidup sendirian. Di sisi lain, jika aku menikah, kau yang akan sendirian. Selain itu, aku juga takut ia tidak bisa mencapai perhatianmu. Jujur, rasanya lebih senang di sampingmu. Kau selalu sabar dan tidak pernah memperlakukanku dengan kasar. Timbul dalam benak segala hal yang kau bilang tentang laki-laki. Kita tidak pernah tahu maksud mereka dari sepuluh percakapan pertama. Karena itu, lebih baik berhati-hati. Sayangnya, aku terlanjur menerima lamarannya. Bila kubatalkan, wajah mama akan tercoreng. Rasanya juga tidak enak. Dirimu bahkan terlintas berulang kali dalam benakku. Kuakui yang kulakukan kemarin dan tadi memang bodoh. Namun, membayangkan kita mati bersama, tidak terasa menakutkan sama sekali, bahkan hanya seperti tidur.”
Mendengar perkataannya, ternyata serumit itu yang ia pikirkan. Keraguan yang ia rasakan beresonansi dengan hati ini. Jika seperti itu, maka aku hanya perlu berkata, “Pilihanmu tidak salah. Sekarang apa kau menyukainya?”
Ia mengangguk sekali dengan pelan. Kesannya ia pasti terlalu malu atau tidak enak hati padaku. Tidak masalah jika memang begitu. Karena yang terpenting, ia mau terbuka. Kubilang padanya, “Kalau suka, maka selesai. Langkah selanjutnya adalah berusaha menerima kekurangan masing-masing dan saling terbuka. Mungkin di awal sedikit kurang halus, tetapi perlahan-lahan akan membaur tanpa bekas. Nanti jika masalah menghadang, dibicarakan baik-baik seperti biasa empat mata. Terus, kau tidak perlu takut diri ini akan sendirian. Ke mana-mana aku memiliki A-ni. Ia selalu ada untukku, sama sepertimu. Atau bila kau masih takut, rumah ini terbuka untukmu dan anak-anakmu nanti. Berkunjunglah kapan pun. Kau kan tahu diri yang tua ini senang melihat anak-anak karena kepolosan mereka. Nanti mau panggil apa, terserah. Entah kakek atau paman, apa pun boleh.”
“Ko ...,” panggilnya yang kemudian terdiam dan membuatku berpikir apa yang terjadi. Apa karena aku salah omong atau karena hal lain?
“Ada apa?” tanyaku cepat.
“Kau yakin A-ni sungguh nyata?”
“Tentu,” jawabku langsung. “A-ni adalah alasan kenapa aku masih bahagia sampai sekarang. Berat rasanya kehilangan alasan itu.”
“Jangan bohong, Ko. Sekarang aku bisa dengan mudah menebak kau sedang bohong atau tidak.”
“Bagaimana?”
“Buk ... buk ... buk .... Jantungmu.”
“Na, sepertinya kau belum tahu apa hal yang paling menyakitkan di dunia ini, mengalahkan kesendirian.”
“Yakin? Ada hal yang lebih menakutkan dari berakhir sendiri?”
“Yakin,” jawabku.
Pelukannya terasa lebih kencang. Dadaku semakin terasa panas. Dari kepalanya yang mendekap semakin rapat, aku yakin ia berusaha mendengar suara jantungku. Seketika ia menjadi mesin untuk mendeteksi kebohongan. Bila maksudnya lain, mungkin aku tidak akan bisa menebaknya dengan mudah. Beda untuk kali ini.
“Lalu, apa?” tanyanya. Aku yakin ia sedang memasang telinga.
“Hal yang paling menyakitkan di dunia ini sesungguhnya adalah berbohong pada orang yang paling menyayangimu. Kebohongan itu telah seperti noda yang mengotori ikatan suci yang terjalin. Jadi, percuma, Na. Sangat sulit dan berat berbohong di depanmu. Aku yakin kau juga sedang tidak berbohong di depanku.”
Ia meragu dengan mempertanyakan bukti dari ucapanku
“Dulu aku pernah berbohong pada jiji. Tubuh ini saat itu penuh dengan bintik-bintik jamur yang merah dan menjijikkan. Aku terlalu malu dan takut. Maka, alasanku adalah digigit nyamuk.”