Memoria

Fiha Ainun
Chapter #3

Tentang Pertemuan

Ketika Bani pergi dengan Kia, Bani tak pernah bertanya apakah gue mengizinkannya pergi atau tidak.

Ketika Bani pergi dengan Kia, Bani tak pernah mengantar gue pulang dulu atau sekadar basa-basi hanya menawarkan.

Dia tak pernah. Tak pernah sama sekali.

Ketika Kia datang, Bani lupa segalanya.

Bani lupa kalau masih ada gue di sekitarnya. Dia lupa kalau gue bisa merasa sakit hati ditinggal begitu saja olehnya. Dia tak pernah memikirkan hal itu. Tak pernah.

Dan, ya. Gue tak pernah bisa menghentikannya. Gue tak bisa terang-terangan kalau gue melarang dia pergi dengan Kia. Gue tak bisa. Karena apa? Karena hubungan gue dan Bani tanpa dilandasi ikatan.

Walau berkali-kali Bani bilang dia sayang ke gue, dia cinta ke gue, tapi tanpa didasari adanya ikatan, gue tetap tak berhak melarang atau mengaturnya. Dan gue bisa apa?

Komitmen.

Komitmen itu, kata yang paling lucu.

Komitmen bisa selamanya. Tapi tak berhak memiliki sepenuhnya.

***

Kala itu gue masih dapat mengingat dengan jelas, saat masih jadi mahasiswa baru di kampus, dan gue lagi mengikat tali sepatu yang lepas di depan gedung G Teknik Mesin, seseorang mendekati gue.

"Kamu Yoona, kan?"

Gue mendongak menatap gadis yang dengan anggunnya berdiri di hadapan gue. Setelah selesai membetulkan tali sepatu, akhirnya gue berdiri.

"Gak usah kenalan, ya."

Gue pun menatapnya aneh.

Gadis itu tertawa. "Iya, nanti aja kenalannya. Aku cuma mau bilang, sahabatku suka sama kamu."

Gue pun semakin menatapnya dengan aneh.

"Iya. Cukup ingetin nama sahabatku. Namanya Bani. Azfer Hayyan Syabani. Biar besok-besok sahabat aku yang langsung ketemu sama kamu, kamu udah tau namanya."

Sampai setelah gadis itu pergi, gue masih terdiam.

Tahu apa hal pertama yang gue rasakan setelah mendengar pernyataan gadis itu?

Satu kata.

Basi.

Iya, basi.

Basi banget tahu gak dengar seseorang bilang suka seperti itu.

Harusnya dia tahu apa arti suka yang sesungguhnya.

Suka itu berarti dia kagum akan fisik gue. Yah, kagum akan apa yang ia lihat di dalam diri gue.

Dan, ya. Memang pantas bilang suka pada orang yang ia kagumi saat pertama kali melihatnya.

Tapi, tunggu dulu.

Hei! Apakah pria bernama Bani itu pernah bertemu gue hingga ia bisa menyimpulkan kalau dia suka ke gue?

Gue rasa nggak pernah.

Tapi biarlah, mungkun dia hanya segelintir orang yang menyukai gue.

Tapi ternyata gue salah. Waw! Gue salah besar!

Dia berbeda.

Lihat selengkapnya