Gue pulang ke rumah tepat pukul 23:00, membuat Justin yang berada di ruang keluarga langsung berlari ketika mendengar suara pintu yang di buka.
"Baru balik, Kak? Kok malem bener baliknya?"
Gue tak menggubris ucapan Justin lebih memilih langsung masuk kamar.
Mungkin karena melihat ada yang tidak beres dengan gue, Justin pun langsung mengekori gue.
"Kakak kenapa?" tanyanya begitu melihat gue yang langsung berbaring begitu saja di atas ranjang.
Gue berdeham. "Lo keluar aja. Gue mau istirahat."
Justin tak memedulikan ucapan gue, dia langsung membalik tubuh gue agar berubah posisi jadi berhadapan dengannya.
"Kok mata Kakak bengkak? Kakak habis nangis?"
Gue menyingkirkan tangan Justin yang masih memegang tangan gue, dan langsung berbaring menyamping kembali.
"Gue gak papa. Lo keluar aja."
"Kakak diapain sama Kak Bani sampai nangis gini?" tanya Justin tegas.
Gue menarik napas panjang. "Tolong, Justin. Gue mau sendiri." Gue memohon, membuat Justin langsung menarik napas panjang dam memilih keluar dari kamar.
Sepeninggal Justin, gue hanya bisa memejamkan mata, takut kalau gue membuka mata sedikit saja air mata ini akan turun kembali.
Kenapa rasanya harus se-sakit ini ditinggal Bani? Apa karena gue sudah terlanjur menaruh rasa berlebihan pada dia?
Ternyata begini rasanya sakit hati. Rasanya terlalu menyakitkan walaupun tidak ada bentuk fisiknya. Ingin dikeluarkan pun rasanya susah.
Gue bangkit dan meraih tas untuk mengambil ponsel, gue mulai mengaktifkan ponsel karena sedari tadi sudah di non-aktifkan. Terlihat beberapa panggilan tak terjawab dan beberapa pesan dari Bani.
Gue menarik napas panjang dan langsung melempar ponsel itu sembarangan di atas kasur.
Gue kembali merebahkan diri.
Gue lelah? Gue benar-benar merasa lelah hari ini. Mungkin yang gue butuhkan saat ini hanyalah sendiri.
***
Hari ini gue berangkat ke kampus dengan membawa mobil sendiri. Gue sengaja membawa mobil agar punya alasan untuk tidak pulang dengan Bani. Karena saat ini yang gue inginkan hanya menghindari Bani, untuk beberapa hari.
"Tumben nih bawa mobil!" seru Mahesa yang berdiri tak jauh dari mobil gue.
Gue mengangkat kedua bahu. "Lagi pengen bawa mobil aja."
Dan ketika Mahesa melihat wajah gue, dia langsung menatap gue dengan menyelidik. "Mata lo bengkak, ya? Abis nangis lo?" Dia bertanya sambil menatap mata gue dengan jarak dekat.
Gue pun langsung menoyor kepalanya. "Ih! Ngapain sih!"
"Mata lo tuh bengkak."
"Si Kun mana?" tanya gue mengalihkan pembicaraan.
"Udah di kelas kali."
"Ya udah. Buru ke kelas, panas nih!" seru gue sambil mempercepat langkah, membuat Mahesa langsung ikut berlarian kecil.
Kelas sudah mulai ramai ketika gue baru masuk. Memang kebetulan hari ini gue berangkat agak siang. Makanya yang lain sudah berada di kelas semua.
"Tumben lo berangkat siang bener," seru Sebastian yang sudah berada di dalam.
"Kesiangan." Gue menjawab dengan malas.
"Eh, tunggu dulu." Sebastian langsung bangkit dari duduk dan sedikit berjongkok di hadapan gue. "Lo abis nangis, ya?"
Gue otomatis langsung memalingkan wajah. "Nggak dih."
"Ngaku aja lo! Diapain lo sama Bani? Sampai nangis gini," cecar Sebastian lagi.
Gue memutar bola mata malas. "Lo berdua apaan sih! Kepo banget sama urusan gue!"
Mahesa berdecak pelan. "Kita berdua ini, gini-gini juga masih temen lo, Yoona. Wajar kalo kita pengen tau apa penyebab temen kita nangis."
Gue mencibir. "Temen? Temen lo bilang? Di mana-mana juga temen itu hanya sekedar ingin tahu apa masalah kita, bukannya mau memberi solusi."
Mahesa mengembuskan napas lelah. "Serah lo dah! Serah lo! Kembangin aja tuh pemikiran lo tentang arti teman! Percuma gue ngomong panjang lebar juga, gak bakal lo denger!" Mahesa langsung memandang ke arah lain, seolah lelah menghadapi gue.
Sebastian jadi ikut mencibir, lalu menunjuk tepat ke wajah gue. "Mulai sekarang, lo bukan temen gue, ya. Awas lo kalo main ke rumah gue lagi."
Gue mencibir dan langsung membuka tas dengan asal. Rasanya menyebalkan ketika gue terlalu ditanyai berlebihan tentang masalah pribadi oleh orang lain. Walaupun yang bertanya statusnya adalah teman gue, tapi tetap saja gue merasa sebal. Karena gue tak pernah terbiasa bercerita pada orang lain.
"Yoona?"