Memoria

Fiha Ainun
Chapter #14

Tentang Masa Lalu

Yasha Abraham Ahmad.

Mahasiswa semester 6 program studi Manajemen di Institut Teknologi Indonesia. Pria berkulit sawo matang ini merupakan salah satu mentor gue ketika ospek. Dia pria yang ramah dan selalu melempar senyum ke setiap orang yang suka memperhatikannya.

Banyak yang menyangka kalau gue akan jadi pacar dia karena melihat kedekatan kami ketika ospek. Tapi mereka nggak tahu, mereka nggak ada yang tahu.

Mereka nggak tahu kalau gue jauh mengenal Yasha sebelum acara ospek itu. Gue jelas sangat mengenal Yasha, karena Yasha mantan tunangan gue waktu SMA.

Gue pernah bertunangan saat masih di usia belia, saat gue masih duduk di bangku SMA kelas sepuluh, karena sebuah urusan bisnis.

Orang tua gue dan orang tua Yasha berteman baik, dan mereka sudah merencanakan perjodohan ini sejak gue dan Yasha masih kecil. Karena sedari kecil gue dan Yasha sudah terlihat dekat, makanya mereka berpikir tidak ada salahnya untuk menjodohkan kami, toh lambat laun kami pun akan saling jatuh cinta.

Dan benar, itu benar terbukti. Gue dan Yasha memang pernah saling punya perasaan. Gue begitu mencintai Yasha sampai rasanya seperti tak mau kehilangan dia. Yasha selalu melindungi gue ke mana pun gue pergi. Dia yang selalu menjaga gue. Dan itu semua sangat membuat gue merasa nyaman berada di sampingnya.

Sampai akhirnya, gue mulai mengetahui kalau perasaan ini salah. Gue mulai mengetahui kalau Yasha menaruh perasaan ini bukan atas dasar cinta, dia hanya menganggap gue sebagai adik perempuannya.

Waktu itu gue sangat terpukul ketika mengetahui Yasha berpacaran dengan orang lain, sampai-sampai gue tak mau bertemu Yasha dalam jangka waktu yang lama. Karena gue pikir Yasha sudah mengkhianati gue, mengkhianati pertunangan ini.

Namun ketika gue kembali bertemu Yasha, gue seperti tertampar akan ucapannya. Dia bilang, gue seharusnya lebih menjaga perasaan ini, karena hubungan kita hanya atas dasar bisnis, dan Yasha tak bisa memaksakan perasaannya hanya karena kita bertunangan. Makanya dia hanya memperlakukan gue sebaik mungkin, layaknya seorang kakak yang melindungi adiknya.

Hati gue seakan tertusuk ketika mendengar Yasha sedari dulu mencintai gadis lain, dia tak pernah menaruh perasaan lebih ke gue.

Dan sejak saat itu, gue memilih untuk memutuskan pertunangan ini. Awalnya kedua keluarga kami menolak, tapi karena Yasha sangat menyakinkan kedua orang tua kami kalau tanpa bertunangan pun dua keluarga ini tetap akan berhubungan baik, akhirnya mereka menyetujuinya.

Sejak saat itu pula, gue sudah tak pernah bertemu Yasha lagi. Tapi Tuhan selalu berkata lain, kami justru kembali dipertemukan dalam satu kampus. Dia yang merupakan salah satu mentor gue mungkin sangat terkejut begitu melihat gue kembali. Tapi dia langsung merubah ekspresi seolah merasa sangat senang sudah bertemu gue.

Yasha, ya memang seperti itu, selalu ramah pada orang lain.

Sejak saat itu kami mulai dekat lagi, dan entah kenapa perasaan di hati gue kembali muncul. Gue kembali menaruh hati pada pria itu, yang padahal jelas-jelas mungkin dia masih punya rasa yang sama terhadap gue, rasa seorang kakak yang begitu menyayangi adiknya.

Dan gue dengan bodohnya mengatakan ini pada Yasha, mengatakan kalau gue mencintainya, dan itu malah membuat gue kembali sakit hati dengan penolakan dia.

Kenapa? Apa Yasha tak bisa menaruh rasa lebih ke gue? Atau dia masih mencintai gadis lain?

Namun gue justru mendapat jawaban yang lebih menusuk dari itu semua. Karena dia tak bisa mencintai gue.

Dia menolak gue karena sedari dulu dia memang tak bisa mencintai gue, tak bisa menaruh rasa lebih ke gue.

Dan semenjak saat itu, gue memutuskan untuk tak mau dekat lagi dengannya. Bukan karena gue membencinya, ini semua hanya karena gue ingin lebih menjaga perasaan ini. Gue tak mau mengulang lagi kesalahan yang sama dengan menaruh hati pada pria itu. Dan yang gue tahu, Yasha sangat menerima semua keputusan gue.

***

"Yoona? Hai. Apa kabar?"

Sampai akhirnya, gue tak pernah menyangka akan kembali dipertemukan dengan pria itu, dengan cara seperti ini.

"Kamu sendirian aja? Boleh aku ikut duduk di sini?"

Lihat selengkapnya