Setelah terjadi pertengkaran dengan Mama, gue tak langsung pulang ke rumah, tapi gue langsung menuju ke kantor Papa.
Semenjak kejadian Papa memukuli Mama yang terjadi lagi dan lagi, Papa lebih sering tidur di kantor. Seperti saat ini, saat gue masuk ke ruangannya, dia sudah tertidur di atas sofa.
Gue langsung masuk begitu saja dan menggebrak meja kerjanya, membuat dia langsung terbangun.
Papa terlihat gelapagan begitu melihat gue yang ada di ruangannya.
Dan dia semakin dibuat bingung begitu melihat raut wajah gue yang penuh emosi. Gue mengepalkan tangan sambil melotot tajam ke arahnya, tanpa peduli kalau air mata sejak tadi tak berhenti turun.
"Yoona. Kamu kenapa?" Papa mulai bertanya sambil pelan-pelan berjalan mendekat.
Gue tak menjawab, namun mata gue tak teralihkan sedikitpun untuk menatapnya.
"Yoona..." Papa semakin mendekat dan kini mulai menyentuh bahu gue.
Gue langsung menepis tangannya, membuat dia jadi semakin menatap gue dengan bingung.
"Jangan sentuh aku!" seru gue dengan penekanan.
"Kamu kenapa? Bilang sama Papa kamu kenapa?" tanya Papa bingung.
Gue menyeringai, dan tanpa sadar malah tertawa. Gue tertawa sambil berbalik badan lalu berjongkok, menimbulkan tanda tanya besar bagi Papa.
Dan tawa gue makin lama makin berubah menjadi tangisan. Gue makin terisak dan langsung menyembunyikan wajah dengan telapak tangan.
Papa yang semakin bingung langsung ikut berjongkok dan menyentuh bahu gue. Tapi lagi-lagi sentuhannya langsung gue tepis dengan kasar.
Gue bangkit sambil mengusap sisa-sisa air mata.
"Yoona. Kamu--"
"Sampai kapan kalian berdua buat aku menderita kayak gini?" tanya gue menyela ucapannya.
"Apa maksud kamu?" tanya Papa tak mengerti.
Gue memejamkan mata. "Sampai Kapan kalian egois kayak gini?!" Dan gue semakin meninggikan suara, membuat Papa jadi semakin terkejut.
"Yoona. Kamu ngomong apa? Jangan buat Papa bingung."
Gue menangis lagi, namun kali ini gue hanya membiarkan air mata ini mengalir begitu saja di pipi.
"Sampai kapan Papa sama Mama mau kayak gini? Sampai kapan kalian berhenti nyakitin aku sama Justin? Sampai kapan?" Kali ini gue mulai memelankan suara, karena suara gue sudah berlomba dengan isak tangis.
Dan pertanyaan gue kali ini sepertinya langsung membuat Papa mengerti ke mana arah pembicaraan ini.
Dia langsung mengusap wajahnya sambil menarik napas panjang, lalu menatap gue. "Papa minta maaf."
"Maaf aja gak cukup, Pa." Gue langsung menanggapi ucapannya. "Kenapa sih kalian harus nggak baik-baik aja kayak orang tua yang lain? Kenapa Mama harus selingkuh? Kenapa Papa harus melukai Mama secara fisik?"