Memoria

Fiha Ainun
Chapter #22

Tentang Mimpi Buruk

Setelah kejadian itu, Bani jadi semakin pengertian, Bani sering datang lagi ke rumah seperti tak pernah terjadi apa-apa. Seperti sekarang ini, Bani tengah asyiknya membuat roti panggang untuk sarapan gue dan juga Justin.

Gue menatap dia yang tengah sibuk mengolesi roti dengan selai kacang, lalu pandangan gue beralih pada Justin yang sibuk dengan bukunya padahal dia sedang sarapan. Tapi gue dapat memaklumi karena sebentar lagi dia mulai ujian.

Namun yang gue takutkan yaitu tentang Justin yang tahu segalanya. Gue takut dengan ketahuannya dia tentang masalah keluarga ini dapat memengaruhi konsentrasi belajarnya.

Bani memberikan sepiring roti yang sudah ia olesi selai tadi pada gue sambil tersenyum, lalu dia segera menyantap roti yang lainnya.

Gue juga jadi semakin bingung kenapa Bani tak pernah membahas tentang ucapan gue yang memberinya pilihan itu, bahkan sampai saat ini dia belum memberi jawaban juga.

"Aku berangkat dulu, Kak," pamit Justin membuyarkan lamunan gue.

Dia menyalami gue dan Bani bergantian, lalu bergegas pergi.

Setelah Justin pergi, barulah Bani mulai bicara.

"Aku tambah rotinya, ya?"

Gue menggeleng. "Nggak usah."

"Kamu harus makan yang banyak, Yoona," keluh Bani. "Kamu udah makin kurusan sekarang."

Dari raut wajahnya saja, dapat terlihat kalau Bani sangat khawatir.

Bani meraih tangan gue untuk digenggamnya. "Kamu kenapa?"

Gue menggeleng sambil tersenyum samar. "Aku gak papa, cuma kecapean karena tugas aja."

"Kamu masih mikirin masalah sama Mama Papa, kan?"

Gue mendongak, lalu menggeleng pelan. "Aku cuma mikirin Justin. Aku takut masalah itu memengaruhi konsentrasi belajarnya."

Terdengar embusan napas Bani yang panjang. "Justin pasti mengerti, Yoona. Dia udah dewasa. Tapi kamu juga harus lebih mengerti diri kamu sendiri. Jangan karena masalah itu, kamu jadi kayak gini. Kamu melamun terus, kamu jarang makan." Bani memejamkan mata lelah. "Justin juga gak akan suka kalau kamu kayak gini."

"Tapi wajar, kan kalau aku mikirin Justin? Dia adik aku, Bani."

"Aku tahu." Bani semakin menggenggam tangan gue. "Memang seharusnya kamu peduli sama Justin. Tapi aku mohon kamu juga harus bisa peduli sama diri kamu sendiri. Aku gak mau kamu nyiksa diri kayak gini."

Bani tiba-tiba langsung bangkit dan berjalan ke samping gue, dan dia langsung setengah berjongkok untuk memeluk gue.

"Kamu tahu betul aku sayang kamu. Aku gak mau lihat kamu tersiksa kayak gini."

Entah kenapa setelah mendengar ucapannya itu, air mata ini tiba-tiba menetes. Dan tetesan itu semakin lama semakin banyak hingga membuat gue terisak.

Bani yang mulai mendengar isakan-isakan kecil itu semakin mempererat pelukan. Terasa dia mengecup puncak kepala gue berkali-kali sambil berusaha menenangkan gue.

Dan dia mulai berbisik pelan di telinga gue. "Hari ini Mama keluar dari rumah sakit. Kemungkinan Papa ada di sana. Kamu ke sana meluruskan semuanya, aku bakal selalu menemani kamu. Aku sayang kamu, Yoona."

***

Dan ketika gue selesai kelas di sore hari, Bani sudah menunggu di parkiran dengan motornya.

"Udah baikan, nih?" seru Mahesa setengah berbisik.

Lihat selengkapnya