Setelah menerima pesan dari Mahesa, gue berniat segera pergi. Namun melihat keadaan Justin yang tidak memungkinkan untuk ditinggal, akhirnya gue memilih untuk tetap menemani Justin.
Gue khawatir pada Bani. Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah Bani baik-baik saja? Sudah tentu Bani tak mungkin baik-baik saja, mengingat bagaimana pedulinya Bani pada Kia.
Kenapa Kia harus pergi secepat ini? Bahkan tak pernah terlintas sedikitpun di pikiran gue kalau Bani ditinggalkan Kia dengan cara kematian. Sungguh semuanya diluar nalar gue, diluar keinginan gue.
Gue mondar-mandir tak karuan di ruang tamu, berharap seenggaknya Bani membalas pesan gue, karena gue benar-benar sangat khawatir.
Justin sudah tertidur pulas di kamar, makanya gue buru-buru keluar kamar Justin untuk menelepon Bani. Tapi tentu saja Bani mana sempat mengangkat telepon gue dalam keadaannya yang sekarang.
Getaran di ponsel membuat fokus gue kembali teralih. Gue segera mengangkat telepon dari Mahesa itu.
"Gimana?" tanya gue langsung.
Terdengar helaan napas dari seberang sana. "Gue udah di rumah Kia. Jenazah Kia masih ada di rumah sakit. Sekarang dalam perjalanan pulang ke rumah duka."
Gue masih sangat merasa syok. Semuanya masih terasa seperti mimpi. Siapa yang akan menyangka kalau Kia akan pergi secepat ini? Dan bahkan gue terakhir bertemu Kia pun sudah lama sekali.
"Lo udah ketemu Bani?"
"Belum," jawab Mahesa. "Bani kayaknya ada di mobil jenazah juga deh."
Tanpa terasa mata gue jadi memanas, membayangkan betapa terpukulnya Bani saat ini.
"Lo istirahat aja. Besok aja lo ke sini."
Gue mengangguk, walau Mahesa sudah tentu tak dapat melihat anggukan gue.
"Ya udah. Gue tutup, ya."
Setelah menutup telepon, gue langsung masuk ke kamar, merebahkan diri di atas ranjang, lalu memejamkan mata.
Memejamkan mata bukan karena mengantuk, tapi lebih karena gue ingin menahan air mata.
Kenapa semuanya malah seperti ini?
***
Dan keesokan harinya, gue bergegas ke rumah Kia setelah memastikan Justin berangkat sekolah. Gue ke sana sendiri, karena Mahesa dan Sebastian sudah ada di sana sejak semalam.
Sebastian dan Mahesa memang bukan teman Kia, tapi mereka ke sana untuk menghormati Bani yang sejatinya teman mereka.
Ketika baru saja turun dari mobil, gue melihat banyak sekali deretan karangan bunga ucapan berduka cita.
Ya Tuhan. Bahkan tanpa terpikir sedikitpun untuk menginjakkan kaki di rumah Kia dalam keadaan seperti ini.
Gue langsung berjalan dengan perlahan mencari Mahesa dan Sebastian. Namun keberadaan Mama Nisa justru mencuri perhatian gue. Gue pun memilih untuk menghampirinya terlebih dahulu.
"Mama." Mama Nisa menoleh, dan wajahnya terlihat sumringah ketika melihat gue, walaupun gue tahu wajah sumringahnya dia masih tertutupi oleh wajah berdukanya.
Gue langsung menyalami dan memeluknya sebentar.
"Kamu apa kabar? Udah jarang banget ih main ke rumah."
Gue tersenyum tipis. "Maaf, Ma. Belum sempet aja kalau mau mampir."