Mungkin sudah terhitung seminggu sejak kepergian Kia, dan semenjak hari itu gue belum pernah sekali pun bertemu Bani. Mungkin karena Bani memang masih sibuk mengurus acara tahlil di rumah Kia.
Dan gue tahu Bani juga sudah lama tak masuk kuliah, padahal sebentar lagi dia memasuki semester akhir.
Gue memasuki kelas dengan lesu, membuat beberapa orang memandang gue dengan aneh, termasuk Sebastian dan Mahesa yang lebih dulu berada di kelas.
"Lo kenapa?" tanya Mahesa langsung menghampiri gue.
Gue menggeleng lemah. "Gak papa."
"Lo sakit, ya?" Sebastian langsung duduk di sebelah gue. "Mukanya kusut abis, sih."
Gue menghela napas sambil mengeluarkan beberapa buku. "Gue sehat kok."
Gue hari ini hanya merasa tidak semangat ke kampus saja, itu semua karena pagi ini gue baru mendengar kabar kalau orang tua gue sudah mulai mengurus perceraian mereka.
Kenapa orang dewasa harus seegois ini?
Justin juga sudah tahu tentang ini, dan responnya sudah jauh lebih baik dibanding ketika awal dia mengetahui kalau orang tua kami akan bercerai.
Gue tak tahu kami nantinya akan tinggal dengan siapa. Yang pasti gue tak akan mau kalau harus tinggal terpisah dengan Justin. Gue hanya akan mau tinggal dengan salah satu di antara mereka kalau ada Justin. Gue hanya butuh Justin di keluarga gue.
"Lo masih mikirin Kia?" tanya Mahesa dengan hati-hati, membuyarkan lamunan gue.
Gue awalnya sedikit terkejut, namun gue segera menormalkan raut wajah ini kembali.
"Gue memang masih belum bisa melupakan Kak Kia, karena rasa bersalah ini."
"Lo nggak salah, Yoona," keluh Mahesa. "Wajar kalo lo ngomong ke Kia tentang lo yang gak nyaman Kia nempel terus sama Bani. Lo punya hak! Lo orang spesialnya Bani."
Mahesa menarik napas. "Lagi pula Kia juga ngerti, kan? Dia ngerti maksud lo? Jadi, stop! Jangan terus-terusan merasa bersalah pada Kia."
Gue ikut menarik napas. "Tapi kalau gue memilih diam saja, kalau gue tak melarang Kia bertemu dengan Bani, mungkin dia masih ada di dunia ini. Karena semangat Kia untuk hidup adalah Bani."
"Ini semua udah takdir, Yoona. Mau lo larang Kia atau enggak, Kia tetep aja gak bakal ada di sini. Umur gak ada yang tau!"
"Tapi seenggaknya--"
"Lo berdua kenapa, sih? Kok malah debat gini," sela Sebastian ikut masuk ke pembicaraan.
Akhirnya gue dan Mahesa hanya bisa menghela napas panjang, merasa sadar kalau kami malah berdebat.