Gue hanya duduk termenung sambil mengaduk segelas teh poci dengan sedotan. Sebentar lagi sidang perceraian Mama dan Papa, dan gue bingung apakah harus datang atau tidak. Mana mungkin gue sanggup melihat mereka yang akan berpisah? Gue tak akan sanggup.
"Yoona," panggil Mahesa.
Gue balas menatapnya dengan lesu.
"Udah hampir dua minggu lo kayak gini terus. Lo masih mikirin apa lagi?" tanya Mahesa, menatap gue dengan menyelidik.
"Btw, si Kun mana?" tanya gue mengalihkan pembicaraan.
"Gak usah ngalihin pembicaraan," desis Mahesa.
Gue berdecak. "Terus, mau lo gimana?"
"Gue kan tadi lagi nanya, Yoona."
Gue mengembuskan napas bosan. "Ya lo tau sendiri kan gue lagi banyak masalah, jadi wajar dong kalau gue sering melamun gini."
"Tapi itu juga gak baik buat lo, Yoona," timpal Mahesa. "Gue kayak gini karena gue khawatir sama lo."
"Masa?" tanya gue malas. "Udah lah, males gue ngomonginnya."
Mahesa langsung memutar bola mata, dan memilih untuk minum tehnya.
"Kun mana?" Gue bertanya lagi.
"Ada. Bentar lagi dia nyusul ke kantin." Mahesa berdeham. "Lo udah ketemu Bani?"
Gue menggeleng. "Belum. Bani belum ada hubungi gue."
"Mungkin dia masih berduka," seru Mahesa.
Gue memilih diam enggan menjawab. Dan kami berdua hanya duduk di dalam keheningan, sebelum sebuah suara menginterupsi gue jadi menatapnya.
"Yoona."
Gue langsung berjingkat kaget begitu menyadari suara itu. Dan gue semakin terkejut begitu melihatnya yang sudah berdiri tak jauh dari gue.
Akhirnya, setelah sekian lama gue menunggu, Bani kembali lagi. Bani kembali datang untuk menemui gue.
Tanpa sadar gue tersenyum karena saking bahagianya kembali bertemu Bani.
"Kamu ada kelas lagi gak? Aku mau ajak kamu jalan."
***
Gue yang masih setengah tak percaya kalau Bani saat ini berada di sebelah gue akhirnya hanya bisa memandang Bani lekat, takut kalau menoleh sedikit saja Bani akan hilang. Gue terus menatapnya bahkan sampai kami tiba di tempat tujuan.
"Ini di mana?" tanya gue membuka pembicaraan.
"Di penangkaran buaya," jawab Bani. "Aku pernah janji mau bawa kamu ke sini."
Gue tersenyum samar, ternyata Bani masih mengingat janjinya itu.
Akhirnya gue dan Bani turun dari mobil, lalu bergegas memasuki area wisata. Dan ternyata gue datang tepat sewaktu pawang buaya itu tengah memberi makan buayanya.
Sebenarnya gue agak takut melihat buaya, tapi berhubung di sini ditemani Bani, makanya gue hanya menghiraukan rasa takut itu.
Bani pamit sebentar untuk membeli minum yang gue jawab dengan anggukan. Dan ketika Bani pergi, gue mendapat telepon dari Justin.
"Halo?"
"Iya, Justin. Kenapa?" tanya gue langsung.