Di saat semua orang berlomba-lomba untuk melupakan masa lalu, tapi gue mendapati diri justru terus mengingat masa bersama seseorang yang dulu.
Ketika semua orang punya tekad yang kuat untuk buka lembaran baru, justru gue seakan terkunci dengan beribu kenangan yang dibangun satu tahun yang lalu.
Kenangan dengan seorang pria yang pernah berkata;
"Aku kan udah bilang kalau pacaran itu bisa aja putus. Makanya yang aku mau itu bangun komitmen sama kamu, bukan pacaran. Biar bisa selamanya. Biar nggak pernah putus sama kamu."
Tapi sekarang ucapan itu hanya sebatas masa lalu. Masa lalu yang tak bisa diulang lagi.
Coba rasakan, segimana sakitnya ketika ditinggal seseorang yang dulu pernah berkata kalau dia tak mau kehilangan kita?
Pasti rasanya sakit, kan? Iya, sakit sekali.
Apa orang itu dulu tak pernah berpikir dampak dari ucapannya? Apa dia tak pernah mencerna sebuah arti yang begitu dalam dari ucapannya itu?
Tak pelak, dia sebenarnya sudah ingkar janji. Ingkar janji untuk tak meninggalkan, tapi nyatanya dia malah pergi.
***
"Sayang, kamu kok diem aja sih!"
Gue hanya memutar bola mata malas, dan lebih fokus untuk membaca buku.
"Kamu dari tadi dengerin aku ngomong, nggak? Masa aku dikacangin terus!"
Gue semakin fokus membaca buku, tak sedikitpun memerhatikan keadaan sekitar.
"Nanti malem aku ke rumah loh, ya? Sayang! Denger nggak ih!"
"Brisik!!" Gue langsung melempar buku ke arah Mahesa, membuat pria yang sedari tadi tengah asyik bercengkrama di telepon itu berjingkat kaget.
Sebastian yang sedari tadi asyik berkaca sambil membetulkan model rambut barunya langsung tertawa.
"Julid amat sih lo!" Mahesa mendengus, lalu mulai fokus menelepon pacar barunya lagi.
Lagi pula Mahesa ketemu di mana, sih sama ceweknya? Ceweknya tuli apa? Masa dari tadi Mahesa ngomong dia nggak kedengeran!
Karena buku yang tadi dibaca sudah gue lempar ke Mahesa, akhirnya gue lebih memilih memainkan ponsel saja.
"Keren kan, ya model rambut gue?" tanya Sebastian sambil duduk di sebelah gue.
Dia memang baru saja memotong rambut panjangnya, makanya sekarang potongan rambutnya sudah sama seperti pria pada umumnya.
Gue langsung menyentuh rambutnya dan sedikit mengelusnya. "Nah! Dari dulu kek kayak gini. Kan baru keliatan cowoknya."
"Emang dari dulu gue cewek!" seru Sebastian membuat gue berhasil ketawa.
"Lagian lo ada angin apa nih tiba-tiba cukur rambut?"
Dan ketika mendengar pertanyaan gue, raut wajah Sebastian langsung berubah sumringah.
"Gue mau ngincer maba cewek di teknik!" serunya antusias. "Lo tau, kan kalau ada dua maba cewek teknik tahun ini?"
Gue mendelik. "Lah? Bukannya dua cewek itu lagi gencar dideketin senior semester 5, ya?"
Sebastian mengembuskan napas. "Selagi janur kuning belum melengkung, apa sih yang nggak buat gue."
Mendengarnya refleks membuat gue tertawa. "Iyain aja dah buat yang ngebet pengen punya pacar mah!"