Tiga tahun kemudian.
Langit mendung di kota Tokyo menandakan cuaca sedang tidak mau bersahabat baik hari ini.
Tadi pagi cuaca di kota itu masih biasa saja. Bahkan prakira cuaca mengatakan bahwa kota Tokyo hari ini akan terlihat cerah. Tapi lihat lah, sekarang hujan malah turun dengan derasnya.
Gue mengerang dalam hati. Gue sedikit menyesali keputusan untuk keluar rumah hari ini.
Kenapa gue malah gampang percaya dengan siaran prakira cuaca di Televisi itu!
Gue menoleh sedikit ke arah beberapa manusia malang yang kini terjebak di salah satu Kafe di Harajuku.
Ah, sial!
Gue kembali mengumpat. Entah itu sudah umpatan ke-berapa kalinya yang gue lontarkan.
Gue memegangi kedua sisi cangkir yang berisi kopi, berusaha mengalirkan sensasi hangat lewat kopi itu.
Gue memejamkan mata, lalu mulai mengangkat gelasnya dan meneguk sambil tersenyum, berusaha untuk tetap fokus pada kopi. Karena demi apapun, kopi adalah penyelamat hidup gue. Hanya kopi yang bisa menstabilkan emosi tubuh gue.
Namun sebelum gue benar-benar meneguknya, gue sedikit dikejutkan dengan suara berat seorang pria di sebelah gue.
"Yoona?"
Tubuh gue menegang. Napas gue tercekat. Gue yakin tidak salah dengar.
Suara pria itu... Gue mengenal suara pria itu...
Gue mendongak sambil meletakkan cangkir kopi. Tubuh gue benar-benar dibuat kaku setelah melihat pria disebelah gue yang memang gue kenali.
Pria itu tersenyum simpul, lalu menjulurkan tangannya. "Hai, Yoona. Senang bertemu denganmu lagi."
Kali ini gue tak bisa apa-apa, gue hanya menatap pria di hadapan gue dengan wajah sedikit muram, lalu pandangan ini beralih ke arah tangan pria itu yang masih terulur ke arah gue.
Hanya satu hal. Gue yakin gue benar-benar tidak mau mengakui ini.
Rasanya gue akan terlalu hina jika menangis lagi. Tapi gue terlalu benci untuk menahan air mata ini.
Hanya hari ini. Hari ini segala bentuk penyangkalan pun tak akan menang.
Untuk hari ini, sebuah kejujuran adalah hal yang paling gue junjung.
Iya. Gue akan mengakui.
Gue sangat merindukan pria itu.