Langkah kakinya terhenti bersamaan dengan mata yang memandang lekat pada pintu kamar di hadapan.
Tangannya terjulur membelai papan nama yang menggantung dengan apik di sana. "Cakrawala," ucapnya lirih.
Nafasnya memberat sejak nama itu terucap dari belah bibirnya yang mungil. Genangan air mata mulai memupuk dan siap untuk jatuh dalam sekali kedipan mata.
Tapi Senja menolak. Perempuan mungil itu berusaha menahan gejolak dalam dada untuk tak menangis meraung seperti sebelumnya.
Ditariknya nafas panjang dan kemudian dihembus secara perlahan. Senja kembali menguatkan hati meski gemetar di tangan tak bisa ia hindari.
Ceklek
Pintu kamar itu Senja buka dengan pelan. Sepoi angin yang berhembus dari jendela yang terbuka membawa aroma khas sang empu.
Senja diam termenung di tempatnya. Matanya kembali memanas dengan deru nafas yang mulai tersengal sesak.
Genggaman tangannya pada gagang pintu mengerat seiring dengan bulir air mata yang terus mendesak ingin keluar.
Tapi lagi, perempuan mungil itu harus kuat untuk tak menangis lagi seperti janjinya kemarin.
Setelah menarik nafas dan menenangkan diri sejenak, Senja melangkah lebih jauh ke dalam kamar.
Matanya bergerak melirik setiap sudut serta barang-barang yang sudah ia hafal letaknya. Tak ada yang berubah, sedari dulu tetap saja sama.
Mungkin hanya beberapa furniture yang diganti karena sudah lapuk termakan usia. Itu pun Senja sangat tahu karena dengannya, Cakrawala mengubah bentuk kamarnya.
Puas memandangi sekitar, Senja memilih beralih pada meja kerja di sudut kamar. Meja itu kini sudah rapi tanpa ada tumpukan berkas yang sering kali tercecer.
Sekarang yang tersisa hanya poto diri sang empu bersama ibunda, juga beberapa foto tentang dirinya.